Bab 12 Pertemuan
Bab 12 Pertemuan
Eric memasuki ruang makan, terlihat ayah dan kakaknya yang tengah sarapan di meja makan. Senyum Eric kembali merekah melihat keluarganya utuh seperti itu. Ia hendak menyapa mereka.
"Itu bocah yang ayah banggakan selama ini, eum?" Suara Rafael tiba-tiba terdengar. Ia masih fokus tanpa menoleh ke arah Eric. "Bocah itu pasti keluyuran nggak jelas," sungut Rafael.
Eric membeku di tempatnya. Setelah sekian detik, akhirnya terdengar suara Tuan Reno.
"Eric, makanlah dulu di sini!" Tuan Reno menepuk kursi sebelah kirinya. "Setelah itu ceritakan pada ayah apa yang saja yang kau lakukan semalam," lirih Tuan Reno, masih lrmbut seperti biasanya.
Eric berjalan mendekat. Ia hendak duduk dan bergabung dengan mereka untuk sarapan, tapi Rafael meletakkan dengan keras gelas hingga terdengar bunyi 'Trak!' membuat Eric sedikit tersentak, kaget.
"Akh, kenapa sarapanmu yang lezat ini harus terganggu dengan hawa-hawa menyebalkan seperti ini, ya?" gerutu Rafael. Ia bangkit dan hendak pergi.
Eric cukup tahu diri disindir seperti itu. Ia memutuskan untuk tidak bergabung dengan mereka jika tak ingin membuat kakaknya marah.
"Ayah, aku pamit ke kamar dulu untuk mandi. Lagipula, aku tadi sudah sarapan," bohong Eric. Padahal dari sejak sore kemarin, ia tak makan apapun hingga berakhir pingsan semalaman di bangunan kuno tadi.
Tuan Reno mengangguk. Ia tak bisa menunjukkan perhatiannya yang berlebihan pada Eric di depan mata Rafael. Meski rasa khawatir terus saja mengganggunya melihat bibir Eric yang pucat tadi.
Eric berjalan keluar ruangan. Saat berada di ambang pintu, Eric menoleh sejenak ke arah meja makan. Di sana terlihat Rafael duduk tenang kembali dan menyantap sarapannya. Eric tersenyum lega melihat itu. Meski ia harus menahan lapar beberapa saat sampai mereka semua selesai makan.
Eric berjalan santai menuju ke kamarnya yang berada di lantai bawah. Saat pertama kali datang ke rumah ini, Eric diberi kamar di lantai dua. Namun, beberapa tahun lalu, ia minta untuk berpindah ke kamar di lantai bawah saja. Bolak-balik naik turun anak tangga, membuat Eric yang malas gerak itu merasa bosan. Lagipula, itu begitu melelahkan baginya.
Eric membuka kenop pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Siapapun yang masuk ke kamar Eric, akan di sambut dengan foto besar Gaida berukuran 4x6 meter yang terpasang di dinding kamarnya. Foto itu sebesar baliho yang biasanya berada di pinggir jalan. Memang, leven S sebagai penggemar dari Gaida sudah sepatutnya disandang oleh Eric.
Eric membersihkan diri dahulu. Tidur di kasur yang penuh debu tadi membuat tubuh dan bajunya kotor. Saat tercenung di bawah air yang mengalir deras dari shower. Rasanya begitu segar mengingat ia belum mandi dari kemarin, pikirnya.
Namun, tiba-tiba ingatan Eric kembali menggambarkan kejadian semalam. Ia benar-benar mengingat jelas bahwa ia tak sadarkan diri setelah terkejut melihat bayangan putih di dekat pintu. Namun, tiba-tiba ia tadi pagi terbangun di atas kasur empuk meski penuh debu. Ah iya, tubuhnya juga terbungkus selimut tebal yang berdebu juga. Eric masih menebak-nebak kemungkinan yang terjadi. Ia memijit dagunya.
"Mungkinkah aku benar-benar bisa berteleportasi?" gumamnya setengah melantur. Eric yang biasanya sangat suka game dan suka menonton film fantasi itu benar-benar terobsesi menjadi seorang hero yang mempunyai kekuatan supranatural. Ia bahkan saat kecil pernah berharap untuk masuk ke dunia game seperti novel-novel fantasi yang ia baca. Ah entahlah, Eric punya caranya sendiri untuk menghibur diri. Ia begitu lelah dengan takdir yang sangat suka mempermainkannya ini.
Seusai mandi sambil berkhayal mempunyai kekuatan super, Eric kembali ke dunia nyata dan langsung ditampar oleh kenyataan pahit. Ia membuka dompetnya yang hanya tinggal beberapa lembar uang kertas warna ungu, pecahan sepuluh ribuan. Padahal akhir bulan kurang satu minggu lagi, tapi uang jajan Eric sudah akan habis.
Eric membanting dompetnya di kasur, diikuti tubuhnya yang berbaring. Merilekskan otot-ototnya yang terasa begitu kaku. Eric memandang ke langit-langit ruangan. Ia terlihat begitu sedih. Bukan sedih karena perlakuan Rafael padanya, itu sudah biasa bagi Eric mendapat perlakuan seperti itu dari kakaknya. Namun, yang lebih menyedihkan lagi, ia harus menunggu awal bulan untuk membeli album Gaida yang akan rilis akhir bulan ini.
"Huu, ini gara-gara admin sialan yang menjual info palsu itu. Uang jajanku sebulan habis hanya untuk itu," gerutu Eric. Ia mengacak-acak rambutnya, kesal. Ia tak tahu lagi harus mencari uang ke mana. Ia tidak mungkin meminta ayahnya lagi. Eric sudah bersyukur diberi uang jajan tiap bulan, ia tak punya keberanian untuk meminta uang jajan lebih.
Kenyataannya, meski Eric memanggil Tuan Reno sebagai 'ayah' tapi ia tetap memasang pembatas di antara mereka. Eric bersumpah tidak akan pernah melewati batasan itu.
Di dalam hatinya yang terdalam, ia masih menganggap Tuan Reno itu adalah orang asing. Orang asing yang begitu baik terhadapnya dan membawanya ke rumah mewah ini. Sejak awal, ia tidak diinginkan berada di rumah ini. Maka dari itu, Eric cukup tahu diri posisinya. Ia tidak mungkin meminta uang jajan tambahan seperti kebanyakan anak meminta pada ayahnya.
Eric bangun denga cepat, membuat dunianya berputar sesaat. Ia menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha mengembalikan fokus penglihatannya. Eric jatuh terduduk di kasur kembali. Ia memijit pelipisnya.
"Sial! Kenapa jadi pusing sekali? Apa gara-gara belum makan?" lirihnya.
"Tidur saja lagi ah," putus Eric pada akhirnya. Selain malas gerak, ia juga lebih sering menghabiskan waktunya di tempat tidur. Entah hanya rebahan, atau sambil mengagumi artis idolanya itu, Gaida Larasati.
**
Eric keluar dari toserba untuk berbelanja keperluan dapur. Ia tadi menawarkan jasa pada bibi pelayan untuk membantu beliau membelikan roti, selai, minyak, garam, bumbu vetsin dan sejenisnya. Tentu saja tidak gratis atas jasa Eric itu. Ia meminta upah pada si bibi yang merawatnya sejak ia masuk ke keluarga Yudhistira. Dan Bibi Rukmini pun seolah menganggap Eric sebagai putranya sendiri. Makanya, Eric lebih nyaman meminta uang jajan ke bibi pelayan daripada ke ayahnya sendiri.
Eric menenteng barang belanjaannya di tas kresek merah besar. Bibi tadi sebenarnya juga memberi Eric untuk biaya transport, tapi malah masuk kantung Eric untuk tambahan uang jajannya. Eric memilih jalan kaki meski sebenarnya itu hanya alasan untuk dapat menilep uang kembalian saja.
Saat melewati sebuah gang sepi menuju rumahnya, Eric melihat kucing oranye yang tertidur di sebelah tong sampah. Perut kucing itu terlihat kembang kempis, menandakan napasnya yang menderu. Kepala, kaki, dan beberapa area tubuh yang lain terdapat lecet dengan darah yang sudah mengering. Eric yang memang pecinta kucing merasa iba. Ia berjalan mendekat dan mengusap lembut bulu-bulu halus kucing oranye itu.
"Puss! Siapa yang melukaimu seperti ini, eum?" tanya Eric dengan suara begitu lembut.
'Tuyul-tuyul sialan itu melempari tubuhku dengan kerikil. Untung aku bisa lari sebelum tubuhku disate oleh tuyul-tuyup itu.' Kucing oranye yang ternyata adalah Gaida menyahut dalam hati. Ia menyebut balita-balita yang menganiayanya sebagai tuyul.
"Wah, luka ini pasti sakit ya, Puss?" tanya Eric kembali sambil memegang lecet di kaki Gaida.
"Ngaong!" Gaida memekik marah dan mencakar lengan putih Eric. 'Sudah tahu sakit kenapa malah kau pegang-pegang, Bodoh?!' Gaida marah-marah dalam hati.
Meski kesal karena telah dicakar kucing oranye itu, Eric juga merasa iba melihat kondisi kucing yang terluka itu. Ia mengambil snack rasa ikan di dalam tas kreseknya. Membuka dan mengambil beberapa lalu mendekatkan ke mulut si kucing tadi.
"Ini makanlah! Kau terlihat begitu lemas seolah tak punya gairah hidup," ucap Eric, masih mengulurkan tangan yang ada snack rasa ikannya.
Meski kesal disebut seperti tidak punya gairah hidup, pada akhirnya Gaida yang berwujud kucing memakan makanan pemberian Eric.
'Bayangkan kau tiba-tiba jadi kucing, Bodoh! Apa kau masih semangat menjalani hidup, hah?!' bentak Gaida dalam hati. Namun, meski begitu ia masih terus memakan snack yang berada di telapak tangan Eric.
**
Rafael mendorong Eric begitu keras hingga jatuh terjerembab.
"Lancang sekali kau, hah?! Kau sudah merasa menjadi tuan muda di tempat ini?"
Bersambung ....