Bab 11 Keanehan yang Dialami Eric
Bab 11 Keanehan yang Dialami Eric
Rafael turun dari mobil mewahnya. Ia berdiri di depan pintu gerbang kediaman Yudhistira. Ia memandang sejenak gerbang besi bercat hitam yang menjulang tinggi itu. Rasanya sudah lama sekali ia tak pulang ke kediamannya sendiri ini.
Rafael membuka pintu gerbang dan memasuki halaman luas kediamaan Yudhistira. Untuk pertama kalinya sejak Rafael kabur dari rumah beberapa bulan lalu, kini ia menginjakkan kaki kembali ke halaman dengan taman di sisi kanan dan sisi kiri jalan menuju teras rumah mewah bercat putih itu.
Saat berjalan menapaki paving menuju rumah, semua ingatan masa kecil bermain bersama ibunya di taman depan rumah, berkelebatan dalam kepala Rafael.
"Aku sangat merindukanmu, Ibu," gumam Rafael, menatap kosong taman indah yang terdapat gazebo di sana. Mata Rafael terasa memanas setiap kali mengingat ibunya. Ia mendongak untuk menahan bulir bening agar tak jatuh menuruni pipinya.
Malam ini, Rafael memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Keputusannya untuk meninggalkan rumah beberapa bulan lalu, rasanya tak akan mengubah pendirian ayahnya untuk tetap menampung anak haramnya di rumah.
Kalau dipikir-pikir, seharusnya bukan Rafael yang kabur, melainkan bocah itu yang seharusnya angkat kaki dari rumah ini. Rafael sebagai putra sah Reno Yudhistira adalah yang paling berhak menikmati kemewahan ini. Bukan malah anak yang asal usulnya tak jelas seperti Eric. Ah, Rafael benar-benar tidak ingin mengalah pada bocah itu mulai sekarang.
Dari dalam pintu utama, Tuan Reno berjalan tergopoh-gopoh menuruni anak tangga. Entah mau pergi ke mana ayahnya itu, Rafael tidak terlalu peduli.
Tuan Reno cukup terkejut melihat keberadaan putra sulungnya. Seingatnya, Rafael bersikeras tidak ingin pulang saat ia mati-matian membujuknya pulang. Senyum Tuan Reno mengembang melihat putra sulungnya, tapi di sisi lain ada raut kekhawatiran tergambar jelas dari wajahnya.
"Syukurlah! Akhirnya kau pulang juga, Nak." Tuan Reno menepuk pelan bahu Rafael. "Ayah sangat bahagia melihatmu di sini. Bahkan di kantor pun kita jarang bertemu meskipun satu gedung."
Rafael menyingkirkan tangan ayahnya dari bahu. Ia belum bisa sepenuhnya memaafkan lelaki yang mengkhianati ibunya itu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, tapi Rafael masih merekam jelas hati ibunya terluka karena lelaki itu. Meski seperti itu, Rafael tetap menghormati Tuan Reno sebagai ayahnya.
"Aku menyesal pergi dari rumah ini, Ayah. Mulai saat ini, aku tidak akan membiarkan dia merasa menguasai istana ini sendiri," lirih Rafael, disertai seringaian yang terlihat licik.
Tuan Reno yang tidak sepenuhnya mengerti ucapan putranya, kini hanya mengangguk. Ah, sepertinya ia melupakan sesuatu.
"El, ayah baru ingat. Kau tahu di mana adikmu berada, eum? Hari sudah malam, tapi dia belum pulang juga. Tidak biasanya dia pulang telat seperti ini." Tuan Reno berucap panik.
Rafael tersenyum sinis di depan ayahnya. Lelaki itu benar-benar membuat moodnya hancur saja.
"Ayah tidak salah orang, kan? Untuk apa Ayah menanyakan bocah itu padaku, eum? Memangnya aku pengasuhnya?" ketus Rafael. Ia melangkahkan kaki jenjangnya, hendak menjauhi lelaki yang ia panggil 'ayah' tadi.
Tuan Reno menahan bahu Rafael. Ia berbalik dan menatap punggung lebar putranya.
"Tapi ayah tidak dapat menghubunginya, El," adu Tuan Reno. "Setidaknya, mungkin kau tahu di mana biasanya seorang remaja akan pergi ketika ia telat pulang," sambung Tuan Reno.
Rafael tersenyum sinis kembali. Setiap kali membicarakan bocah yang merebut kebahagiaannya itu, seolah darahnya tiba-tiba mendidih.
"Memangnya aku peduli walau dia mati sekalipun," ketus Rafael. Senyum mengerikan juga masih terpatri dari bibirnya, meski Tuan Reno tak melihat itu.
Tuan Reno membalik tubuh Rafael untuk menghadap ke arahnya. Detik berikutnya, Plak!
Tuan Reno menampar pipi kiri Rafael dengan tangan kanannya.
"Jaga bicaramu, El! Kau seperti sedang menyumpahi adikmu sendiri!" bentak Tuan Reno.
Rafael menggosok pipinya yang memanas dan kini mulai memerah. "Sekarang ayah hanya menamparku, apa suatu saat ayah akan tega membunuhku demi melindungi bocah itu, eum?" geram Rafael. Setelah berucap itu, ia mundur dari hadapan ayahnya dan berlari menuju pintu utama.
Kaki Tuan Reno melemas. Ia jatuh berlutut. Ia menghantamkan buku jarinya ke tanah. "Maafkan ayah, El! Ayah memang bukan ayah yang baik untukmu bahkan juga untuk Eric," gumamnya.
**
Kicauan burung terdengar begitu merdu di telinga Eric. Bukannya berniat untuk bangun, ia malah semakin mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya. Matanya masih terasa berat, ia enggan untuk membukanya apalagi untuk bangun. Namun, tiba-tiba ia terbangun gelagapan saat mencium bau aneh di sekelilingnya. Bau debu yang membuat hidungnya terasa gatal.
"Ba-bagaimana aku bisa di sini?" lirih Eric setengah takut. Takut jika ada orang lain di ruangan itu. Eric beranjak dari ranjang empuk, tapi penuh debu itu.
Eric keluar dari salah satu kamar. Ia berjalan menuju pintu utama bangunan ini. Eric berusaha mengumpulkan semua ingatannya. Ia memijit dagu, lalu melihat sekeliling. Ia berada di posisi yang sama sebelum kesadarannya menggilang semalam. Eric menghentakkan kakinya di atas ubin.
"Semalam aku pingsan di sini, tapi tadi pagi terbangun di kamar itu." Eric menunjuk ke kamar yang berjarak 7 meter dari posisinya.
"Mungkinkah aku ngelindur dan berjalan sendiri ke kamar? Tapi mana mungkin?”
Eric mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan aneh. Mulai dari ia bisa berteleportasi, ia merangkak sampai kamar, atau berjalan ngelindur hingga kemungkinan ada makhluk yang memindahkan tubuhnya secara misterius. Eric bergidik ngeri saat membayangkan kemungkinan terakhir itu.
"Sumpah, aku nggak ngerti lagi kenapa bisa tiba-tiba bangun di kamar. Sekarang yang terpenting, aku harus keluar dari sini dulu." Eric bermonolog.
Eric mengambil tas yang berada di lantai, setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan bangunan dengan segala keanehannya itu. Eric menstarter motor yang untung saja masih berada di depan gerbang itu. Bisa mati dia kalau motor abang ojol itu hilang, pikirnya.
Tanpa Eric ketahui, ada sepasang mata yang mengawasi kepergiannya dari balik jendela salah satu kamar bangunan itu.
**
Gaida berjalan tertatih menyusuri jalan trotoar. Sudah terhitung dua hari ini ia berubah wujud menjadi kucing. Ia tak tahu penyebabnya, tapi Gaida tidak dapat berbuat apa-apa. Ia memutuskan untuk menjalani kehidupannya sebagai kucing sembari mencari tahu penyebab dan cara agar kembali ke wujud aslinya.
Gaida menyusuri jalan tanpa tujuan. Saat ini, ia berada di sebuah perkampungan. Saat melewati tong sampah yang berada di pinggir jalan, Gaida menggulingkan tong itu. Berharap dapat mengais sisa makanan untuk mengisi perutnya. Ia tak pernah membayangkan kehidupannya akan mengenaskan seperti ini. Ini sama sekali tak pernah terbayangkan, bahkan di mimpi buruknya sekalipun.
'Dosa apa aku selama ini hingga bisa berubah wujud seperti ini?' batin Gaida, nelangsa. Saat ia sibuk mengais sisa makanan di tong sampah, tanpa ia sadari ada sekumpulan balita yang berkerumun di belakangnya.
"Pasukan! Selang monstel itu!" perintah balita bertubuh gembul pada rekan-rekannya.
Ketiga rekannya dengan masing-masing membawa kerikil kecil di kedua tangannya, mengelilingi Gaida dalam wujud kucing. Tubuh Gaida meringkuk, ketakutan. Detik berikutnya, empat balita itu melempari tubuh Gaida menggunakan kerikil, sambil menggumamkan celotehan cadel khas balita.
Gaida tida bisa keluar. Mereka mengelilinginya. Saat Gaida melihat celah di antara kaki balita berbaju merah, ia melompat dan kabur. Namun, balita yang sepertinya sedang bermain pahlawan-pahlawanan itu malah mengejar Gaida.
Gaida yang sejak menjadi kucing selalu tertimpa sial, hanya dapat mendesah pasrah. Ia sambil terus berlari menghindari kejaran para balita yang masih ingusan itu.
**
Seusai mengembalikan motor ke rumah Abang Ojol yang kebetulan berada dekat dengan kampusnya, Eric mengayuh sepedanya menuju ke rumah. Ini adalah hari libur, jadi Eric dapat bersantai dan tidur kembali setelah sampai rumah nantinya.
Eric jadi melupakan sesuatu. Ia lupa menghubungi ayahnya semalam. Ponselnya kehabisan baterai saat berada di bangunan kuno itu semalam. Semoga ayahnya tak memarahi Eric karena tidak pulang semalaman.
Saat membuka gerbang dan memasuki halaman rumahnya, fokus mata Eric tertuju pada mobil yang terparkir di depan garasi. Ia mengenal pemilik mobil mewah itu. Senyumnya terkembang, meski bibirnya masih terlihat pucat.
"Akhirnya kau pulang juga, Kak," gumam Eric, merasa begitu lega. Ia menaruh sepeda gunungnya ke garasi dan berjalan tenang menuju ke dalam rumah. Sesekali ia akan tersenyum membayangkan ia akan bertemu kembali dengan sosok kakak yang ia kagumi selama ini.
Saat Eric memasuki ruangan, terlihat ayah dan kakaknya yang tengah sarapan di meja makan. Senyum Eric kembali merekah melihat keluarganya utuh seperti itu. Ia hendak menyapa mereka.
"Itu bocah yang ayah banggakan selama ini, eum?" Suara Rafael tiba-tiba terdengar. Ia masih fokus tanpa menoleh ke arah Eric. "Bocah itu pasti keluyuran nggak jelas," sungut Rafael.
Eric membeku di tempatnya.
Bersambung ....