Bab 10 Rasa Penasaran Eric
Bab 10 Rasa Penasaran Eric
Seusai mencuri dengar percakapan manager dari Gaida dan dua lelaki tadi, kini Eric berencana untuk mengikuti kedua lelaki tersebut. Dari yang ia tangkap dari percakapan tadi, mereka seperti tengah mencari keberadaan seseorang. Eric harus memastikan kalau orang yang sedang mereka cari itu benar Gaida atau bukan.
Eric tidak mungkin kalau bersepeda lagi. Ia sudah merasa lelah seharian tadi menggunakan sepeda. Eric memanggil ojek online, kebetulan drivernya ia kenal. Eric memohon untuk meminjam motor Abang Ojol itu. Dengan jaminan sepeda gunung yang seharga motor bebek miliknya, Abang Ojol pun menyetujui permintaan Eric untuk menyewa motor itu.
Eric mengendarai motor bebek untuk mengejar mobil kedua lelaki yang ia temui di cafe tadi. Motor Eric berhenti di bawah pohon rindang, jauh di belakang mobil yang tengah berhenti saat itu.
Eric melihat kedua lelaki--yang ia temui tadi di cafe--keluar dari mobil jeep hitamnya. Eric masih terus mengawasi dari jauh.
Kedua lelaki itu, terlihat masuk melewati gapura besar yang terbuat dari batu merah. Eric menurunkan standar tengah motornya. Ia kemudian naik dan berdiri di atas jok motor itu. Ia melongok ke tujuan dua lelaki tadi. Di balik pagar tembok setinggi dua meter--yang terbuat dari batu merah juga--Eric dapat melihat sebuah bangunan rumah kuno bernuansa adat Jawa.
Dua lelaki tadi masih terlihat mondar-mandir di pekarangan luas rumah kuno itu. Sesaat kemudian, mereka memasuki bangunan. Entah apa yang mereka perbuat di dalam. Sekian puluh menit berlalu, kedua lelaki tadi tiba-tiba terlihat berlari dari dalam bangunan.
Mereka berlari seperti ketakutan dan menuju mobil mereka. Setelah itu, Eric melihat mobil jeep itu menjauh.
Eric benar-benar penasaran. Apa sebenarnya yang membuat kedua paman-paman itu ketakutan? pikir Eric. Ia menstarter motornya dan mendekat ke gapura besar yang berada di depan bangunan rumah kuno tadi. Eric tersenyum melihat mobil jeep tadi semakin menjauh. "Kheh! Badan doang besar! Tapi nyali cuma seuprit," ejek Eric pada kedua lelaki tadi.
Eric menurunkan standar samping motornya. Ia berjalan mendekati gerbang rumah yang terbuat dari kayu itu. Meski sekeliling bangunan dibangun tembok setinggi 2 meter, tapi Eric benar-benar tak menyangka bahwa gerbang utama hanya terbuat dari kayu yang sudah lapuk.
Eric yang memiliki sifat yang penuh rasa ingin tahu ini, tentu saja bertekad untuk masuk ke dalamnya. Papan kayu bertuliskan 'Istana Kutukan' sayangnya lepas dari pengawasan Eric tadi.
Eric mengobrak-abrik tasnya, ia mengambil sebuah handycam yang selalu ia bawa ke mana-mana itu. Ingat, Eric bermimpi menjadi sutradara, bukan? Jadi, ia sering mendokumentasikan apapun yang ia lihat, terutama tentang Gaida. Meski tujuan sebenarnya, ia hanya ingin eksis saja dan mengunggah video itu nanti ke channel yutub fanbase Gaida bernama Gaida Family. Entah sudah tingkat apa level fanboy Eric pada Gaida itu. Mungkin sudah level S.
Eric mengarahkan kamera handycam-nya ke gapura besar yang berada di antara pagar kayu.
"Hai, sobat Gaida Family! Saat ini, admin sedang berada di salah satu tempat misterius di kawasan sini."
Eric kembali melangkahkan kaki dan masuk ke pekarangan. Ia mengarahkan kameranya ke semua sudut pekarangan.
"Bangunan ini diyakini oleh warga setempat sebagai tempat peristirahatan seorang pertapa sakti. Beliau yang telah 'babat alas' dan mendirikan perkampungan di dekat sini. Tempat ini jauh di sebelah Barat perkampungan Naga Buntung. Maka dari itu, semua warga desa Naga Buntung mengkeramatkan tempat ini." Eric mulai membual untuk menaikkan viewers channel yutubnya. Bahkan, ia mengarah nama desa itu.
Percayalah, semua bualan itu hanya karangan Eric semata. Namun, tanpa Eric sadari, ternyata 70% dari bualan karangannya itu memang benar-benar terjadi. Mungkin Eric mempunyai kemampuan khusus dalam dirinya.
Seusai lelah mengoceh tentang cerita-cerita mistis yang sangat digandrungi viewers yutub akhir-akhir ini, Eric memutuskan untuk menghentikan siarannya. Ia memasukkan kembali handycam ke tas punggung dan mulai melihat-lihat sekitar bangunan.
Hari sudah semakin malam, tapi jiwa Eric masih bersikeras untuk menemukan titik terang pencariannya terhadap Gaida, idolanya.
Eric memang sangat suka menguji adrenaline, sayangnya selama ini tubuh lemahnya yang tak bisa mendukung itu. Eric menggunakan senter dari ponsel sebagai satu-satunya penerangan.
Saat melintas di sebuah gubuk yang berada di sudut pekarangan, tanpa sengaja Eric menyandung batu besar berwarna hitam. Eric menyorotkan senternya ke batu itu. Di sana, ada sebuah tulisan aksara jawa. Eric yang memang pernah bersekolah di Surabaya saat kecil, masih mengingat aksara itu. Eric meraba ukiran itu sembari mengingat-ingat Bahasa Daerah yang pernah ia pelajari dulu.
"Ki ja-ga bu-mi?" Eric mengeja secara terbata.
Bruak!
Terdengar bunyi keras benda jatuh dari sebelah gubuk. Eric menyorot ke asal bunyi tadi, tapi tak ada apapun di sana.
"Hassh! Mengagetkan saja!" Eric menekan dadanya. Rasanya jantung Eric akan meloncat saat itu juga.
Eric beralih menyorot kembali ke batu besar tadi.
Bruak!
Lagi-lagi terdengar seperti suara benda yang jatuh dari langit, tapi tidak ada apapun di sana.
Eric jadi mengingat dan menyadari sesuatu. Ia buru-buru meletakkan ponselnya di tanah. Ia menangkupkan kedua tangan dan bersujud di depan batu besar itu.
"Ampuni saya, Mbah! Saya tidak bermaksud mengganggu tidur Anda, Mbah. Saya ini makhluk kasar, Anda makhluk halus. Sebaiknya kita tidak saling menyentuh ya, Mbah?" pinta Eric yang mulai teringat film-film horror yang ia lihat selama ini.
"Oh iya, saya juga minta izin masuk ke rumah Anda ya, Mbah? Saya ingin mencari jodoh saya yang hilang." Eric kembali berucap di depan batu besar tadi sambil duduk berlutut.
Setelah beberapa saat, tak terdengar lagi bunyi-bunyian seperti benda jatuh tadi.
Eric mengawasi sekeliling. Wah, situasi ini tidak baik untuk kondisinya. Namun, tekad untuk menemukan Gaida seolah memberi kekuatan tersendiri bagi Eric.
Seusai menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, Eric kembali mencari keberadaan Gaida. Saat Eric berjalan, tanpa sengaja ia menyandung sesuatu. Ia berjongkok. Ternyata yang menghalangi langkahnya itu adalah sepasang sneakers warna putih.
Eric mengamati sneakers warna putih itu. Ia mengenal pemilik sneakers itu.
"Ini kan milik Gaida," gumam Eric. Setelahnya, ia memasukkan sepasang sneakers itu ke dalam tasnya. Sekalian ia meminum air yang selalu dibawanya untuk menstabilkan kembali detak jantungnya.
Tas punggung Eric itu seperti tas serba ada. Ada berbagai macam benda dan obat-obatan di sana. Tas itu tak pernah lepas dari punggung Eric. Ia selalu membawa tas itu ke mana pun ia pergi.
Setelah menstabilkan detak jantungnya, Eric berencana untuk memasuki bangunan rumah yang berada di tengah-tengah pekarangan luas ini.
"Karena sudah terlanjur datang, kalaupun mati ya mati saja," lirih Eric. Ia mengingat adegan-adegan di film horror yang seorang manusia bisa dihabisi oleh makhluk astral itu.
Saat Eric menginjakkan kakinya--di anak tangga paling bawah--di teras rumah, pintu utama tiba-tiba terbuka secara keras.
Brak!
Itu membuat detak jantung Eric kembali memacu. Ia membelakangi pintu, menghela napas dalam-dalam kembali.
Setelah ia merasa cukup tenang, ia berjalan kembali memasuki pintu rumah kuno itu. Ukiran indah di daun pintu membuag Eric terkesima beberapa saat.
Saat Eric sudah berada di dalam, kembali terdengar bunyi 'Brak!' memekakkan telinga. Eric berbalik. Pintu yang ia lewati baru saja, kembali menutup. Entah karena angin atau karena ada yang sengaja menutupnya. Eric berusaha postifi thinking.
"Ah, mungkin hanya karena angin," lirihnya.
Belum hilang rasa takutnya, saat ini Eric harus menghadapi situasi yang kembali memicu adrenaline-nya. Senter ponsel Eric tiba-tibq padam karena baterainya lemah.
Ruangan itu kembali gelap gulita. Tak ada secerca cahaya pun di sana. Ini membuat dada Eric tiba-tiba terasa sesak. Saat ia hendak keluar melalui pintu yang berada beberapa langkah di depannya, Eric dikejutkan dengan sosok bayangan berjubah putih yang berdiri di sisi pintu.
"Aakkkhhh!!" Eric berteriak sekuat tenaga. Detik berikutnya, ia kehilangan kesadarannya.
***
Untuk pertama kalinya sejak Rafael kabur dari rumah beberapa bulan lalu, kini ia menginjakkan kembali ke Kediaman Yudhistira. Saat memasuki halaman rumah, semua ingatan masa kecil bermain bersama ibunya, berkelebatan dalam kepala Rafael.
"Aku sangat merindukanmu, Ibu," gumam Rafael.
"El! Kau tahu di mana adikmu berada?" Tuan Reno berucap panik.
"Untuk apa menanyakan itu padaku, Ayah? Memangnya aku pengasuhnya?" ketus Rafael.
"Ayah tidak dapat menghubunginya, El," adu Tuan Reno.
"Memangnya aku peduli walau dia mati sekalipun," ketus Rafael.
"Rafael!"
Bersambung ....