Bab 18 Rahasia Arjun
Bab 18 Rahasia Arjun
“Lakukan saja, Jun! Sudah lama kan kau tak menonjokku? Kuberi kau kesempatan menonjokku saat ini.” Eric terus memprovokasi Arjun.
Arjun benar-benar marah saat ini. Ia kembali menarik kerah baju pemuda yang dibencinya itu.
Eric sama sekali tak melawan. Ia malah terlihat sudah sangat siap menerima beberapa tinju Arjun lagi.
Emosi Arjun kini membuncah. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Eric yang sok pintar itu membodohinya dengan memberi jawaban salah. Bahkan, deru napas Arjun terdengar begitu keras saat ini. Arjun meniup kepalan tangannya dulu, sebelum ia tarik ke belakang.
Mata Eric terpejam. Saat ini ia begitu paham emosi Arjun yang tak terkendali itu. Ia memang tak bersalah dari awal. Sebelumnya, ia juga sudah memperingatkan Arjun jika belum tentu jawaban Eric benar. Eric berani bertaruh, beberapa detik lagi pasti ia mendapatkan tonjokan dari Arjun lagi.
Namun, entah kenapa tiba-tiba Eric merasa aneh. Dadanya terasa begitu sesak hingga sulit bernapas. Eric benar-benar tak bisa bertahan. Tubuhnya ambruk menghantam tanah begitu keras hingga terdengar bunyi ‘gedebugh!’.
Tangan Arjun yang sebelumnya berada di kerah baju Eric terlepas begitu saja. Arjun menoleh ke segala arah, berharap tak ada siapapun yang melihatnya sejak tadi. Ia menendang pelan kaki Eric. Ia masih waspada, bisa saja ini hanya salah satu siasat Eric agar tak ditonjok Arjun lagi. Namun, tak ada respons. Tubuh Eric masih meringkuk tepat di kaki Arjun.
Setelah beberapa menit Arjun menunggu Eric untuk terbangun. Bahkan, ia sudah menghabiskan satu bungkus snack. Jika memang Eric berpura-pura, tidak mungkin juga mengingat cuaca siang ini begitu panas. Untuk apa Eric tiduran di tanah, coba? Pikir Arjun.
“Sial! Bagaimana kalau dia mati ini?” gumam Arjun, panik. Ia meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung Eric dan merasakan hembusan napas Eric. “Syukurlah, si bodoh ini tidak mati,” gumam Arjun, kembali.
“Eric! Bangun, woy!” pekik Arjun saat melihat tubuh Eric masih tergeletak di tanah. Sekian menit Arjun menunggu Eric terbangun, tapi Eric tak kunjung terbangun juga. Sebenarnya ia dapat meninggalkan Eric begitu saja, tapi itu bukan sikap tangguh seorang lelaki.
Hanya seorang pengecut yang meninggalkan pertarungan bahkan sebelum lawannya melakukan perlawanan. Arjun padahal tadi menginginkan pertarungan yang sebenarnya dengan Eric. Ia ingin tahu siapa yang lebih tangguh di antara mereka berdua. Namun, selama ini Eric tak pernah melawan pukulan Arjun. Itu semakin membuat Arjun marah.
Dengan terpaksa, Arjun segera meraih tubuh Eric yang terkulai tak berdaya di tanah. Arjun menepuk pipi Eric dengan keras. Meski sedikit, ada raut kekhawatiran yang terlihat samar.
“Eric! Woy, kalau kau sedang bercanda, ini sama sekali tak lucu, Brengsek! Aku hanya menonjokmu beberapa kali, Sialan! Kenapa kau sudah ambruk, heh?!” bentak Arjun. Ia masih menampar kedua pipi Eric secara bergantian.
Arjun melihat sekeliling. Tak ada seorang pun. Ia kembali tertunduk, melihat wajah Eric yang semakin memucat.
“Bodoh! Kenapa kau masih selemah ini sejak dulu, hah? Eric sialan, bangun!” teriak Arjun sambil meletakkan kepala Eric ke pangkuannya.
“Tolong! Ada yang pingsan karena kualat memberi contekan yang salah!” teriak Arjun. Rasa cemas dan panik yang sedikit tadi, kini mulai menguasai dirinya. Tak dapat dipungkiri, Arjun sebenarnya tak sekejam kelihatannya. Ia masih memiliki empati dan simpati terlebih pada teman di masa lalunya itu.
Hening.
Tak ada seorang pun yang lewat di sana. Dengan keterpaksaan yang teramat sangat, Arjun membawa Eric ke punggungnya dengan susah payah.
“Astaga, kenapa aku sial terus setiap kali berada di dekatmu, Sialan!” teriak Arjun. Meski ia marah-marah, tapi ia tetap membawa tubuh lemas Eric ke punggungnya.
Arjun berjalan dengan sempoyongan karena beban berat di punggungnya.
“Dasar, Brengsek! Kapan kau akan bangun, Sialan? Asshh, sialnya yang jadi temanmu nantinya,” gerutu Arjun. Sesekali Arjun menjadikan pilar sebagai pegangannya. Ia menyusuri koridor yang sepi karena jam pelajaran telah dimulai beberapa menit lalu.
Bruaghh!
Tubuh Arjun terhuyung dan jatuh tersungkur, membuat tubuh lemas Eric terguling ke sisinya. Begitu keras tubuh Eric terguling dan membentur lantai dingin. Bahkan, Arjun mendengar suara ‘prakh!’ saat kepala Eric jatuh ke lantai.
“Hah! Hah! Hah! Sumpah, kalau aku tak mengingat kita satu panti asuhan dulu, aku akan meninggalkanmu di belakang kampus tadi. Lagi pula aku hanya menonjokmu pelan kok, kenapa aku harus menolongmu, coba? Ini konyol!” Arjun mengomel-ngomel di samping tubuh Eric yang tergeletak di lantai.
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini, eum?” Sebuah suara mengejutkan Arjun, sontak membuat Arjun bangkit dan menundukkan kepala. Arjun merasa kebingungan menjelaskan situasi ini.
“Kalian berkelahi?” tanya sosok itu.
“Ti-tidak kok, Prof.” Arjun menggeleng cepat. Eh? Tapi lebih tepatnya saya yang dikerjai oleh bocah ini!” Arjun menendang kaki Eric, begitu kesal. Bahkan, ia mengabaikan tatapan heran dari dosennya.
Lelaki yang dipanggil ‘Profesor’ menatap tajam ke arah Arjun. Namanya adalah Mario.
“Jadi karena kau dikerjai duluan, lantas kau menghajarnya hingga pingsan? Apa seperti itu, eum?” tanya lelaki itu masih dengan sorot mata menghakimi.
“Bu-bukan seperti itu, Prof! Asshh, bagaimana ya menjelaskannya? Intinya dia kena karma karena telah membodohi saya. Ya, saya rasa memang seperti itu yang terjadi.” Arjun berucap dengan santai.
Ia merasa jadi peran antagonis di sini, melihat ekspresi dosen itu terhadapnya.
“Baiklah, aku yang akan membawanya ke ruang kesehatan,” tawar lelaki itu.
“Terima kasih, Prof! Semoga sendi Anda tak nyeri karena mengangkat bocah ini.” Sekali lagi, Arjun menendang tubuh Eric. Entahlah, ia masih begitu kesal terhadap Eric.
Dosennya hanya tersenyum kecil menanggapi tingkah Arjun. Sesaat kemudian, dosen itu membopong Eric dan menuju ruang kesehatan. Arjun mengikutinya di belakang.
**
Di dalam kelas, Bima dan Dewa mengikuti pelajaran seperti biasanya.
Bima menoleh ke arah Dewa yang berada di bangku sebelah kanannya.
“Pssttt, Dewa! Kenapa Arjun dan bocah itu belum balik juga, ya? Tidak mungkin Arjun menghajarnya sampai tepar, kan?” tanya Bima, salah satu teman Arjun. Dia adalah saksi bahwa Arjun dan Eric sebelumnya adalah teman akrab, tapi karena suatu hal Arjun jadi membenci Eric sejak di bangku kuliah ini. Bima tak tahu pasti cerita jelasnya.
Dewa yang dipanggil sejak tadi tak merespon, pandangannya masih fokus pada bukunya. Ia seolah mengabaikan Bima.
“Psst, oi Dewa!” panggil Bima, sedikit kesal diabaikan sejak tadi. Bahkan ia melempar pena ke kepala Dewa.
“Bima! Ada apa, hah? Kenapa kau ribut sendiri di jam kuliahku, heh?” bentak dosen yang menerangkan di depan.
Bima hanya menggeleng dan kembali duduk dengan tenang. Bima melongok ke meja Dewa. Apa sebenarnya yang membuat temannya itu mengabaikannya?
“Dewa terkutuk! Jadi, dari tadi kau baca komik, heh? Astaga, kukira kau fokus mendengarkan penjelasan dosen dari tadi,” gerutu Bima yang ditanggapi tatapan horror dari dosen killer-nya.
“Bima!” teriak dosen itu.
Dan pada akhirnya, Bima berakhir dikeluarkan dari kelas. Lagi pula ia merasa ada sesuatu yang hilang saat Arjun tak berada di sisinya. Sungguh hubungan yang mengharukan antar sahabat.
**
Di ruang kesehatan.
Profesor Nugi yang sebelumnya membantu Arjun mengangkat Eric bergumam, “Sepertinya tak ada masalah yang serius. Dia juga tidak sedang demam.” Tangan Profesor Nugi menyentuh kening Eric. Suhu tubuhnya normal, tapi tangan pemuda itu hanya sedikit dingin.
Saat ini orang yang bertugas di ruang kesehatan sedang tidak ada, jadi Profesor Nugi sebagai salah satu dosen di kelas Eric merasa harus bertanggung jawab atas kondisi mahasiswanya.
“Dia memang sering seperti ini saat SMP dulu, Prof. Tapi aku tak menyangka kebiasaan pingsan mendadak juga terjadi hingga saat ini,” ujar Arjun yang duduk di sebelah Eric terbaring.
Profesor Nugi menepuk bahu Arjun. Ia menyimpulkan bahwa mereka adalah teman karib mengingat Arjun bercerita saat mereka SMP tadi itu. Mungkin mereka tadi berkelahi hanya karena kesalahpahaman. Profesor Nugi sangat memahami itu.
“Baiklah, sekarang kau jaga temanmu ini dulu, ya? Aku ada jam setelah ini,” ungkap Profesor Nugi.
“Heehh?!” Arjun memekik tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja.
Bersambung