SEPULUH
“Kamu nggak tahu betapa melelahkannya menjadi ibu tunggal! Aku harus menjadi Ibu sekaligus ayah baginya, yang kamu lakukan hanyalah berkencan dengan tunangan kamu. Aku berakhir dalam situasi ini karena kamu nggak pakai kondom!”
Neymar terngiang ucapan Taksis saat sedang marah di telepon. Meskipun wanita itu mabuk kala itu, tetapi Neymar sangat yakin jika itu adalah isi hatinya yang sebenarnya. Pria itu sangat menyesal karena gagal mendidik Leo sehingga membuat wanita seperti Taksis begitu tertekan dan terpaksa menerima posisinya sebagai wanita simpanan.
“Dia pasti sangat membenciku sekarang. Haruskah aku meminta maaf pada Neymar?” Sementara itu, di tempat lain ternyata Taksis juga sedang memikirkan Neymar.
Taksis melirik ponsel miliknya yang terletak di atas nakas. Ragu, tetapi akhirnya disambar juga. Beberapa kata diuntai menjadi kalimat permohonan maaf yang akan ia kirimkan kepada Neymar. Namun, belum sempat menekan tombol kirim, gadis itu tiba-tiba berubah pikiran.
“Untuk apa aku harus minta maaf? Aku kan nggak melakukan kesalahan apa pun. Aku juga bukan wanita simpanan,” gumam Taksis kemudian menghapus tulisan yang baru saja ia ketik.
Keesokan harinya setelah mengantar putrinya ke sekolah alam khusus usia pra sekolah. Taksis yang sudah berada kembali di area lobby kondominium mencari tempat sepi agak tersembunyi untuk menelepon sahabatnya. Ia merasa Mulan harus mengetahui hal besar yang baru saja ia alami kalau ternyata Neymar dan Leo adalah kakak beradik.
“Apa?! Neymar adalah abangnya Leo?! Dunia kok kecil, ya?” kejut Mulan membuat telinga Taksis berdenging sehingga segera menjauhkan ponsel dari telinga.
“Itu lah, Lan. Terus Leo bodoh itu memberi tahu abangnya kalau aku pacar dia. Huwek! Rasanya aku mau muntah mendengar si bodoh itu ngaku-ngaku pacaran samaku,” kenang Taksis mengingat betapa ia sangat tidak terima diakui sebagai pacar oleh Leo.
“Aku pikir kamu baru saja berubah dari seorang ibu tunggal yang miskin menjadi seorang gadis muda yang memiliki anak,” ujar Mulan turut prihatin sekaligus masih belum habis rasa herannya.
“Aku harap bisa minggat dari Leo dan nggak pernah bertemu dengan bedebah itu lagi,” cetus Taksis tak tahan lagi. “Sekarang aku harus gimana, nih?” lanjutnya kemudian.
“Nanti lanjut ngobrolnya, ya! Aku ada klien,” pamit Mulan hendak mengakhiri obrolan via telepon dengan Taksis karena harus fokus pada kliennya.
“Oke, oke!”
Taksis pun memutuskan sambungan telepon dengan Mulan. Sahabatnya adalah wanita karier yang sangat sibuk. Tentu berbeda dengan dirinya yang saat putrinya berada di sekolah, ia punya banyak waktu untuk bersantai atau justru bergelut ria dengan pekerjaan ibu rumah tangga.
Usai menelepon, gadis itu putar badan dan ternyata di balik tiang tempat ia bersandar ada Neymar yang sedang berbicara dengan pria bule. Taksis yang tadinya hendak lewat pun justru kembali bersembunyi di tempat semula.
Sayangnya, aksi Taksis barusan disadari oleh Neymar. Sesaat setelah pria Bule itu pergi, Neymar justru memutar badan untuk lewat di sisi tiang yang sama. Deg! Keduanya bertukar senyuman canggung, kemudian Neymar melanjutkan langkahnya, tetapi segera dikejar oleh Taksis.
“Tung—tunggu!” Taksis mengejar Neymar, saat sudah sangat dekat, tiba-tiba Neymar berhenti, sedangkan Taksis sudah tidak sempat mengerem lagi. Alhasil, gadis itu pun menabrak punggung Neymar.
“Aduuuh! Ma—maaf,” ucap Taksis sembari menutupi jidatnya yang sakit karena terantuk punggung pria itu.
“Nggak apa-apa,” jawab Neymar.
“Wait! Aku turut menyesal tentang saudaramu,” ungkap Taksis.
“Kenapa kamu begitu repot mengatakan ini padaku? Kamu bahkan nggak melakukan kesalahan apa pun,” balas Neymar.
“I—iya, aku juga merasa begitu.”
“Seharusnya aku yang minta maaf atas kesalahan adikku. Dia membuatmu hamil dan nggak bertanggung jawab.” Kini, pria itu justru meminta maaf. Sudah ia pikirkan semalaman. Berulang kali mengingat bagaimana wanita itu mengungkapkan betapa berat hidupnya karena harus merawat anak seorang diri.
“Siapa? Oh, aku maksudnya? Kamu nggak perlu khawatir, aku juga nggak akan memberi tahu tunangan Leo soal aku dan Yuka. Kalau aku mau sudah kulakukan sejak dulu, kan?” Hampir saja lupa. Taksis sebenarnya tidak pernah hamil apalagi dengan Leo. Hubungan keduanya murni persahabatan meski lebih layak disebut sebagai pelayan dan majikan.
“Terima kasih. Dia juga nggak akan mendengarnya dari aku. Kamu juga jangan khawatir.” Neymar juga bukan orang yang gegabah lagi ceroboh. Setiap tindakan yang dilakukan selalu penuh perhitungan. Jelas sangat berbeda dengan adiknya.
“Syukurlah ....” Taksis tersenyum lega.
“Permisi!”
Taksis kini lega. Ia sebelumnya khawatir kalau pria itu akan membenci dirinya. Meskipun kesalahpahaman Neymar pada dirinya belum semua terungkap. Taksis sebenarnya sangat ingin menjelaskan kepada Neymar kalau dia bukan ibu Yuka bukan pula pacar Leo. Namun, untuk saat ini masih belum bisa mengutarakan semua itu.
Di sebuah mansion mewah seorang gadis berprofesi sebagai super model tengah marah-marah pada asistennya yang berada di ibukota. Ia melihat postingan akun media sosial milik asistennya yang lain sedang berpose mengenakan pakaian bekas miliknya.
Sudah satu tahun terakhir ia memutuskan untuk menetap di Batam, di rumah papanya. Alasan terkuatnya sebenarnya karena ingin lebih sering bertemu dengan tunangannya.
“Mengapa Sherly mengenakan pakaianku untuk bekerja?!”
“Maaf, kupikir kamu nggak mau pakai lagi. Jadi, kukasih ke dia,” jawab seseorang dari sambungan telepon.
“Hanya karena aku udah nggak pernah memakainya bukan berarti siapa pun boleh memakainya. Barang-barangku adalah milikku. Nggak boleh ada yang bisa mengambilnya!” pungkas gadis bertubuh proposional, sempurna seperti boneka Barbie.
Violin mengakhiri panggilan telepon dengan kesal. Menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ponsel yang sempat dicampakkan beberapa detik barusan pun kembali diraih.
Room chat discroll cepat. Dilihatnya pesan yang dari tadi malam belum dibaca oleh tunangannya. Tak sabar menunggu pesannya dibalas, gadis itu pun menelepon tunangannya.
“Halo, Sayang!”
“Aku free hari ini. Mereka membatalkan pemotretan. Apa kamu mau menemani aku berbelanja dan makan malam?” tanya Violin pada tunangannya—Lionel Richie Lim atau yang akrab disapa Leo.
“Sayang, aku nggak bisa. Aku harus menemani Tante Monica ke vihara. Kita bisa pergi lain kali, kan?” tolak Leo beralasan.
“Kok, kamu jadi kayak gini lagi, sih?! Aku pindah dari Jakarta ke Batam supaya punya banyak waktu sama kamu. Tapi kamu malah kayak gini. Chat dariku juga kamu abaikan. Kamu juga udah hampir nggak pernah antar jemput aku lagi,” komplain Violin terhadap perubahan sikap Leo.
“Maaf, Sayang. Aku beneran sibuk akhir-akhir ini,” ulang pria yang sedang menonton televisi di kediamannya.
“Bodo amat!” caci Violin kemudian mematikan telepon karena kesal.
Gadis berambut panjang itu bangkit dari tempat duduknya. Saat memutar badan, tita-tiba saja papanya sudah ada di sana.
“Eh, Papa?!” Violin terkejut.
“Apa kamu dan Leo bertengkar?” tanya Presdir Xanders Djokosoetopo selaku Ayah kandung gadis itu.
“Nggak juga sih, Pa. Hanya saja Leo kayaknya sedikit berubah. Dia sekarang kayak nggak begitu peduli atau punya waktu untuk aku sebanyak dulu,” bantah Violin setengah bercurhat.
“Pria memang seperti itu. Semuanya baik pada awalnya,” jawab Presdir Xanders dengan sudut pandang sebagai pria juga.
“Neymar nggak seperti itu. Dia selalu punya waktu untuk aku dan selalu memerhatikan aku,” bantah Violin lagi.
Violin dan Neymar dulu adalah kekasih dan Presdir Xanders tahu itu. Hubungan keduanya berakhir saat Violin memutuskan untuk debut sebagai super model di ibukota sehingga keduanya menjadi jarang bertemu lalu komunikasi semakin jarang juga.
Neymar si pekerja keras sibuk membesarkan bisnisnya. Sementara Violin selain sibuk dengan dunia modeling juga sudah terpengaruh oleh teman-teman baru membuat gadis itu gila untuk bersenang-senang dari bar ke bar serta traveling ke luar negara.
“No, no, no. Tapi kamu memilih Leo daripada Neymar. Papa peringati kamu soal ini. Jika sudah memilih Leo jangan membandingkan keduanya,” tegas Presdir Xanders tak ingin putrinya mempermalukan diri sendiri. Pria itu tahu berakhirnya hubungan Violin dengan Neymar adalah seratus persen kesalahan putrinya, sehingga sampai sekarang di matanya, Neymar masih bersih tanpa cela.
“Kencan Neymar membosankan, dia lebih seperti bapak momong anak ketimbang seorang pacar. Selalu totalitas dengan pekerjaannya,” kilah Violin tak ingin disalahkan.
“Neymar adalah orang yang bertanggung jawab. Bukan hewan gemar berpesta seperti Leo. Terserah! Pokoknya kamu bertunangan dengan Leo sekarang, bukan Neymar. Dan kamu harus menikah dengan Leo sesegera mungkin,” tegas pria bertubuh tegap itu yang tidak berani lagi dibantah oleh putrinya sendiri.
Sementara itu, di mansion mewah setelah tunangannya mengakhiri obrolan via telepon. Leo kembali menambah volume televisi yang ia tonton sembari mengemil kacang mete kegemarannya.
“Hmmm, emang kapan tante bilang mau pergi ke vihara? Tante bahkan tidak ingat pernah ngomong gitu?” ledek Tante Monica yang ternyata mendengar pembicaraan keponakannya itu dengan Violin.
“Iya, kah? Aku Cuma berpikir jika Tante sebentar lagi akan memintaku untuk menemani ke vihara karena hari ini adalah hari suci Buddha,” jawab Leo berkilah.
“Hari ini bukan hari suci Buddha, Leo,” kritik sang Tante memberi isyarat jika dirinya tahu siasat keponakannya yang licik itu.
“Hehehe, iya baiklah. Aku sebenarnya nggak ingin pergi berbelanja dengan Violin. Itu sangat membosankan,” ungkap Leo mengakui kebohongannya.
“Kenapa kamu begitu, Leo? Bersikaplah baik pada tunangan kamu, dia juga calon istri kamu dan papanya baik untuk bisnis keluarga kita,” nasihat Tante Monica.
“Iya, Tante, iya.”
Leo kembali menatap layar televisi begitu Tante Monica selesai memberikan nasihat. Pemuda itu tidak bisa dinasehati sebenarnya. Apa pun yang baik masuk dari telinga kiri lalu keluar melalui telinga kanan. Egois, keras kepala, dan pengecut begitulah wataknya.
Sementara adiknya bersantai menonton televisi dengan nyaman dan setoples camilan, Neymar sudah dua kali datang ke kantor setelah pertemuan dengan klien pertama selesai. Ia baru saja masuk ke ruangan miliknya. Sepersekian detik duduk di kursi kebesaran seorang CEO, sapaan lembut membuatnya terhenyak.
“Hai, Neymar!”
“Violin?!”
Gadis itu rupanya sudah lebih dulu menunggu di dalam ruangannya yang besar itu. Duduk di sofa tamu memegang segelas soft drink. Violin dengan suara khasnya memanggil Neymar.
“Apa kamu ada waktu? Ayo, pergi makan siang!” ajak Violin tanpa sungkan.
Neymar tidak ingin menyinggung perasaan putri Presdir Xanders Djokosoetopo. Meskipun ia tahu ini kurang elok karena status keduanya adalah calon ipar. Akhirnya, Neymar menyetujui ajakan Violin untuk pergi makan bersama di restoran yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor.
“Aku minta maaf karena datang sebelum menelepon. Aku tuh, kesepian. Aku di Batam nggak punya temen,” ungkap Violin seolah membeberkan alasan dirinya tiba-tiba mengajak Neymar makan siang bersama.
“Bagaimana dengan Leo?” tanya Neymar.
“Dia sangat sibuk. Dia nggak akan pergi ke mana pun samaku,” jawab Violin dengan mimik wajah tak bahagia begitu nama Leo disebut.
“Sibuk? Apa semua baik-baik saja?” Neymar kembali bertanya. Setahunya, adiknya itu sangat jarang datang ke kantor.
“Maksudnya?” Violin balik bertanya agar pria di hadapannya memperjelas pertanyaan sebelumnya.
“Apa kamu dengan Leo bertengkar?” ulang Neymar dengan kalimat berbeda, tetapi masih dengan konteks yang sama.
“Nggak, sih. Tapi dia udah banyak berubah. Dia nggak punya banyak waktu lagi untuk aku,” jawab Violin masih dengan wajah orang yang tengah dirundung duka.
“Dia hanya kecanduan clubbing.” Neymar memberikan sedikit pembelaan bagi adiknya.
“Terkadang aku bertanya-tanya apakah dia masih mencintai aku atau apakah dia memiliki gadis lain. Aku mulai berpikir aku nggak mau nikah sama dia,” ceplos Violin yang langsung membuat Neymar terkejut.
Gadis lain yang dimaksud Violin mungkin saja adalah Taksis, begitu pikir Neymar. Tidak, pernikahan adiknya dengan putri Presdir Xanders Djokosoetopo tidak boleh batal. Nasib bisnis yang ia besarkan selama ini juga bergantung pada kebaikan hati papa Violin.
“Violin, kamu jangan terlalu memikirkannya. Aku akan bicara dengan Leo,” bujuk Neymar agar gadis itu tidak buru-buru menduga-duga hal buruk tentang adiknya.
“Terima kasih. Kamu selalu peduli padaku. Jika dulu aku lebih memilih kamu, aku nggak akan terluka sekarang,” sesal si super model itu menyeka sudut matanya.
“Maaf. Tapi, aku rasa kamu nggak harus ngomongin hal itu lagi. Semuanya udah jadi masa lalu.” Neymar mulai risih ketika mantan pacarnya yang sekarang adalah tunangan adiknya, mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah berlalu antara mereka.
“Apa setelah ini aku masih bisa makan siang lagi sama kamu?” tanya Violin.
“Entahlah, kurasa itu bukan ide yang bagus. Itu kurang tepat karena kamu adalah tunangan adikku sekarang. Mari, makanlah!” ujar Neymar berterus terang jika mungkin saja pertempuran kali ini adalah untuk yang terakhir kali baginya. Selanjutnya jika hendak bertemu, tentunya harus dengan suasana berbeda dan status berbeda di mana harus sepengetahuan Leo juga.
“Baik,” jawab Violin mengerti.
Usai makan siang, Neymar segera pamit untuk kembali ke kantor. Ia teringat jika sekretarisnya tadi meletakkan beberapa file yang membutuhkan pemeriksaan dan tanda tangan darinya.
Sejak Neymar meninggalkan restoran, Violin merasakan juga perubahan sikap pria itu sudah tidak sehangat dulu. Timbul sedikit rasa sesal. Andai saja dulu ia tidak bersikap egois dan sedikit saja bersikap patuh, maka hubungan dirinya dengan Neymar pasti masih baik-baik sekarang. Sayangnya, ia justru penasaran terhadap Leo yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik kandung Neymar.
“Kamu nggak bisa melupakan aku gitu aja, Ney,” gumam Violin. Di tangan gadis itu memegang sebuah iPhone yang menampilkan galery berisikan foto-foto mesranya dengan Neymar saat dulu masih berstatus sebagai kekasih. Rupanya Violin masih belum menghapus semua kenangan dengan pria itu.
Meninggalkan restoran, Neymar kembali ke kantor dan sudah ditunggu oleh sekretarisnya.
“Semua proyek berjalan dengan baik?” tanya Neymar pada sang sekretaris. Namun fokusnya masih lekat pada file terakhir yang membutuhkan persetujuan darinya.
“Iya, Pak. Anda benar-benar beruntung memiliki Presdir Xanders Djokosoetopo di pihak Anda. Dengan begini, kita mendapatkan lampu hijau dari semua investor yang masuk,” jawab wanita berhijab yang sudah bertahun-tahun setia menjadi sekretaris Neymar.
“Katakan pendapat kamu jika seandainya Presdir Xanders tidak lagi menaungi kita. Kira-kira apa yang akan terjadi?” tanya Neymar berandai-andai.
“Tidak akan terjadi, Pak. Anda jangan bercanda. Adik Anda akan menikah dengan Violin, putri Presdir Xanders. Dengan demikian Presdir Xanders akan selalu mendukung menantunya. Saya yakin akan hal itu,” jawab wanita berhijab itu.
“Ya, ya, baiklah. Aku rasa aku juga harus punya keyakinan seperti kamu. Oh, ya. Apa ada yang lain lagi untuk aku kerjakan hari ini?” Neymar telah selesai dengan file terakhir hari ini. Ia menanyakan jadwal berikutnya kepada sekretaris. Seandainya tidak ada lagi yang perlu dikerjakan, ia berharap bisa pulang cepat hari ini. Entah kenapa tiba-tiba ia begitu rindu suasana di kondominium miliknya.
“Anda harus bertemu dengan Brigitta jam 3 sore ini. Dia adalah anak teman Tante Anda, Pak. Tante Anda sudah mengaturnya, meminta saya memasukkan janji temu dengan Brigitta ke dalam agenda Anda,” jelas sang sekretaris diakhiri dengan senyuman lebar karena ia juga Neymar tahu pertemuan dengan Brigitta ini sebenarnya bukan soal pekerjaan, melainkan personal.
“Aish! Aku kurang suka bertemu dengan wanita itu. Dia selalu mencoba menjebakku,” keluh Neymar yang nyaris membuat wanita berjilbab itu gagal menahan tawa.
“Kemudian besok lagi di jam yang sama, Pak,” tambah sang sekretaris.
“Besok juga?!”
“Betul, Pak. Saya sarankan Anda mencari pacar dengan cepat. Jadi, Tante Anda akan berhenti mencari gadis seperti Brigitta,” ujar sang sekretaris memberikan saran pada atasannya agar drama perjodohan ini berakhir.
“Sepertinya aku harus bicara pada Tante Monica,” timpal Neymar lalu melemaskan tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursinya.
Sejak putus dengan Violin beberapa tahun yang lalu. Neymar memang tidak pernah terlihat dekat atau punya hubungan dengan wanita mana pun. Usianya tiga bahkan empat tahun lebih tua dibandingkan adiknya yang kini sudah bertunangan. Maksud hati Tante Monica mengenalkan dirinya dengan gadis lain adalah supaya dirinya lebih dahulu menikah dibandingkan sang adik.