04
POV AUTHOR
Tiga tahun berlalu sejak janjinya kepada Taksis bahwa dirinya akan secepatnya menyelesaikan masalah bayi rahasia itu, sehingga Taksis bisa kembali menjalani hidup sebagai gadis singel yang bebas. Namun, nyatanya janji hanya lah janji. Saat ini Leo telah menyelesaikan studinya dan bergabung di perusahaan keluarga, memimpin perusahaan bersama abangnya.
Pertunangan dengan model papan atas masih terjalin meski pernikahan keduanya tidak kunjung digelar karena Violin terus menerus mengulur waktu. Gadis itu masih gila dengan kepopuleran sebagai seorang pelaku peran juga pelaku peragaan busana.
Pagi itu ....
Lionel Richie Lim yang tampan dan gagah telah siap dengan stelan jas hasil karya desainer ternama. Menjabat sebagai CEO muda, ia kerap tampil mewah dan elegan. Leo tidak ingin bertindak gegabah seperti waktu muda dulu. Siapa yang menyangka pemuda urakan itu kini begitu cerdas dalam berbisnis. Mensejajarkan diri dengan abangnya yang jenius.
"Halo, Path!"
Leo menghubungi Patricia, sekretarisnya sebelum berangkat ke kantor. Ia ingin semua diatur sempurna saat dirinya datang sehingga moodnya terjaga sepanjang hari.
"Halo, Pak! Semua oke dan semua desain telah dikirim. Hanya ada satu resor yang belum selesai membahas desain," jawab Patricia melalui sambungan telepon.
"Beri tahu tim kami untuk melakukan desain baru The Aston Hotel. Mereka nggak akan berpikir bahwa yang kita miliki sudah cukup? Aku akan mengurus resor itu. Bisakah kamu memesan satu tiket pesawat untukku?" Leo memberikan perintah kepada Patricia yang langsung disanggupi oleh wanita bertubuh seksi bak model tersebut.
"Baik, Pak."
"Terima kasih."
Sementara itu ....
Taksis dan Yuka baru saja kembali dari les balet. Keduanya masih di lobi apartemen saat tiba-tiba dering ponsel Taksis menghentikan langkahnya.
Kriiiiiing!
"Tunggu, Sayang!"
Taksis melepaskan gandengan tangannya pada Yuka untuk menjawab telepon. Gadis kecil itu langsung berlarian ke sana ke mari begitu terlepas dari ibunya. Sementara Taksis sibuk dengan barang bawaan di tangan kirinya dan tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga kanannya.
"Halo, ada apa, Mulan?" tanya Taksis.
"Taksis, Bu Sarah sekarang sedang sakit parah," jawab Mulan.
"Apa?! Bu Sarah sakit parah? Aku akan segera ke sana," balas Taksis.
"Hati-hati!"
"Iya, baik."
Taksis mengakhiri obrolan via telepon dengan Mulan sahabatnya sejak kecil di tanah kelahirannya. Gadis itu lantas menelepon pria yang selama ini mengirimkan uang setiap bulan kepadanya.
"Halo, Taksis!" jawab Leo.
"Leo! Guruku sakit parah, aku harus pergi ke Jawa, bisakah kamu merawat Yuka untuk beberapa hari?" pinta Taksis pada pria yang memang ayah biologis Yuka.
"Aku?! Tapi aku sibuk dan tugas seorang papa adalah mencari uang bukan menjaga anak sementara mamanya berwisata," tolak Leo.
"Tapi aku udah melakukan tugas sebagai nama yang sempurna. Aku nggak pernah minta apa pun dari kamu-"
Taksis menyadari jika putrinya sudah tidak ada lagi di sisinya. Netranya mengelilingi 360 derajat ruangan besar itu. Seketika matanya membulat saat gadis kecil itu berhasil melewati pintu kaca saat beberapa orang masuk ke dalam ruangan dan Yuka justru keluar.
"Yuka?! Yukaaaa!"
Melempar barang bawaan, Taksis berlari mengejar putri kecilnya sambil meneriakkan nama balita tersebut.
Begitu sampai di luar, Taksis hampir mati berdiri melihat Yuka berada di tengah jalan dan dari sisi kanan ada mobil yang tepat hendak menabrak bocah perempuan itu.
"Aaaaaaaaa!"
Sreeeeeet!
Seorang pria muda berhasil menyambar dan mengangkat tubuh kecil Yuka. Sementara mobil yang hendak menabrak juga berhasil mengerem kemudian melanjutkan perjalanan. Aksi heroik itu disaksikan oleh banyak orang. Taksis memegangi dadanya, merasa lega, lalu berlari menghampiri keduanya.
"Hampir saja," ujar pria muda itu.
"Terima kasih banyak. Terima kasih ...." Taksis berterima kasih kepada pria muda itu, hendak mengambil Yuka dari gendongan pria muda tersebut, tiba-tiba ponselnya berdering dan ia pun segera menjawab.
Kriiiiiing!
"Maaf, tunggu sebentar!"
Pria muda itu kini kembali menggendong Yuka karena Taksis harus menjawab telepon.
"Halo!"
"Taksis, kenapa berteriak?" tanya Leo.
"Pokoknya kamu adalah papanya dan kamu harus jaga dia! Guruku adalah orang yang sangat penting bagiku. Aku harus pergi. Sudah, ya!" Gadis itu langsung mengakhiri sambungan telepon.
Pria muda itu tidak mengerti apakah Ibu dari gadis kecil di gendongannya sedang bertengkar dengan sang suami? Masalah rumah tangga ia tidak ingin terlalu ikut campur. Lagi pula, ia tidak mengenal secara personal ibu dan anak itu. Meskipun sebenarnya ia sudah beberapa kali melihat keduanya karena memang keduanya tinggal di apartemen ini.
"Maaf, sekali lagi maaf. Sini, Sayang!" Taksis mengambil Yuka dari gendongan pria muda tersebut. "Kamu baik-baik saja sekarang, Sayang," lanjutnya kemudian.
"Gadis kecil, jangan berlarian sendirian, ya!" pesan pria muda itu pada Yuka sembari menoel pipi chubby gadis kecil itu.
"Terima kasih," ujar Taksis.
"Sebenarnya aku udah lihat anak ini berkali-kali di area selasar. Kalian tinggal di sini?" tanya pria muda itu yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Taksis.
"Hai, Om!" celoteh Yuka dengan senyuman yang menggemaskan.
"Kenapa kamu begitu tidak patuh hari ini? Apa kamu akan mengulanginya lagi?" ejek pria muda itu pada Yuka.
Taksis setelah mengucapkan banyak terima kasih kemudian berpamitan dan mereka pun berpisah. Dibawanya putrinya itu ke unit miliknya dan tak lama kemudian Leo pun tiba.
"Aku lega dan senang sekarang Yuka baik-baik saja," ujar Leo.
"Jangan bertingkah seolah-olah kamu peduli pada Yuka! Berapa hari kamu menjadi papa baginya dalam setahun?" protes Taksis sembari menyuapi Yuka.
"Haish! Kenapa berkata begitu di depan Yuka?" Kini, Leo balik protes. Biar bagaimanapun gadis kecil itu adalah putrinya dan hanya boleh mendengar hal baik tentang dirinya.
"Yuka, Sayang! Apakah kamu ingin lebih banyak camilan dari abang? Buka mulutnya! Aaaaaa ... pesawat dataaaang!"
Leo menyuapkan kepingan kentang goreng pada Yuka membuat gadis itu meninggalkan makan siangnya dan lebih memilih makan camilan.
"Berhenti menyebut dirimu Abang! Aku membencinya," cetus Taksis tak terima. Keterlaluan ketika seorang Ayah malah menyebut dirinya sebagai Abang untuk anak gadisnya.
"Dia nggak bisa memanggil aku dengan sebutan papa, jadi ini cara teraman. Jika seseorang bertanya, mereka akan berpikir aku ini abangnya," kilah Leo yang masih enggan mengakui jika Yuka adalah anaknya. Di depan Taksis saja baru ia bersedia mengakui jika Yuka adalah anaknya.
"Terserah! Terus gimana dengan yang aku tanyakan tadi di telepon? Bisakah kamu menjadi papanya selama beberapa hari saja?" tanya Taksis mengungkit permintaannya mengenai ia akan pergi mengunjungi gurunya di Jawa tanpa mengajak Yuka.
"Aku sudah memikirkan itu dan tetep tidak. Aku pikir lebih bagus kalau kamu bawa Yuka ikut menemui gurumu itu," jawab Leo dengan enteng.
"Kamu gila?! Aku akan mengunjungi orang yang sakit bukan untuk berwisata!" protes Taksis.
"Aku sibuk hari ini. Besok juga sibuk. Aku harus menghadiri acara dengan Violin. Kamu bawalah Yuka sama kamu dan aku akan membayar semuanya," balas Leo dengan egoisme setinggi langit.
Gadis dengan rambut dicepol berantakan itu menggigit bantal karena geram. Ia tidak lagi sabar menghadapi sikap Leo yang terus mengandalkan uang untuk membeli seluruh kebebasannya selama hampir empat tahun gara-gara harus menjadi Ibu Yuka.
"Aku telah menjadi ibunya selama hampir 4 tahun penuh tanpa hari libur. Kamu bahkan bilang tidak bisa merawatnya selama 4 hari saja?!" seru Taksis dengan urat-urat biru tampak di pelipis dan lehernya.
"Sudah kubilang selama 4 hari ke depan aku harus bersama dengan Violin," jawab Leo santai sembari mengunyah kentang goreng.
"Kamu harus pilih! Tunangan atau anak perempuan, siapa yang akan kamu pilih?" desak Taksis. Ia melempar bantal ke muka Leo, lalu pergi ke kamar.
"Taksis! Aku belum selesai bicara!" teriak Leo setelah menyingkirkan bantal dari mukanya.
"Aku bosan bicara omong kosong dengan kamu, Leo!" Taksis balas teriak.