Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

03

POV TAKSIS

Aku melempar celemek kebesaran pegawai kafe tempatku bekerja. Ini benar-benar sangat mendesak. Dasar Leo! Bisa-bisanya membuat ulah sebelum berangkat ke luar negeri. Kutemui Gitara di restoran cepat saji, tempat aku dan Mulan membuat janji temu dengan gadis berwajah bule itu.

"Apa kamu mengambil air kencing gadis lain untuk melakukan tes ini?" tuduh Mulan. Sementara aku tertegun melihat benda kecil di tanganku yang menunjukkan tanda bahwa gadis itu positif hamil.

"Jika kalian nggak percaya padaku aku akan minum pil aborsi sekarang," ancam Gitara sembari mengeluarkan tablet-tablet peluruh janin dari dalam tas mahalnya.

"Eeeee! Jangan! Tunggu dulu! Tenang dulu!" Aku sigap mencengkeram tangan gadis itu agar tidak gegabah menelan tablet-tablet yang jumlahnya begitu banyak.

"Leo nggak jawab teleponku. Aku harus bicara dengan Leo kalau nggak aku akan melakukan aborsi saja!" Lagi-lagi Gitara mengancam akan menggugurkan kandungannya.

"Tunggu dulu! Sebentar, biar aku yang menelepon," sergahku.

Kulepaskan cengkeraman tanganku pada Gitara. Kemudian aku buru-buru mengambil ponsel, lalu menelepon Leo. Tersambung, tetapi tidak dijawab. Kucoba lagi, tetapi masih tidak juga dijawab. Sudah enam kali mencoba dan bocah sialan itu tidak juga menjawab teleponku.

"Dia sekarang pasti sedang sama gadis baru sekarang. Dia benar-benar nggak bertanggung jawab," terka Gitara lalu tergugu menyesali perbuatannya yang dengan mudah dirayu oleh playboy seperti Leo.

"Leo bukan orang yang seperti itu, tenanglah!"

Aku masih membela Leo sahabatku. Bertahun-tahun tinggal dengan Leo, pemuda itu tidak pernah melecehkan aku. Kutahu meskipun Leo sangat menyebalkan, tetapi dia masih punya rasa tanggung jawab meski hanya sebesar biji sawi.

"Gimana?" tanya Mulan. Aku menggelengkan kepala dan menyerah untuk melakukan panggilan telepon ketujuh kalinya. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Mulan lagi.

"Ayah bayi ini bahkan nggak peduli. Terus ngapain aku harus membiarkan dia dilahirkan?" Gitara putus asa dan hendak memasukkan tablet-tablet peluruh janin ke dalam mulutnya, tetapi dengan sigap kembali kucegah seperti tadi.

"Eeeee! Tunggu, dengarkan aku! Kamu harus tenang dan memperbaiki masalah ini. Aku pasti bantuin kamu. Tunggu sampai kamu melahirkan. Kami akan menguji DNA bayi itu dengan Leo. Aku yakin, Leo pasti bertanggung jawab," ujarku dengan nada nge-rap seperti Young Lex.

Kuambil semua tablet-tablet peluruh janin itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Kesepakatan itu, tanpa meminta persetujuan dari Leo, aku menjanjikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apakah ini sebuah solusi yang tepat untuk masalah ini. Gitara berjanji akan memelihara kandungannya dengan baik dan melahirkan bayi itu. Setelahnya, dia akan datang menuntutku juga Leo untuk menepati janji.

Siapa yang akan berpikir bahwa melibatkan diri dalam urusan Leo akan mengubah hidupku selamanya?

Beberapa bulan setelah itu ....

Kudengar suara pagar dibuka. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku tidak pernah punya tamu, pun dengan pemilik rumah ini yang sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan sekarang putra mereka sedang menempuh studi di luar negeri.

Kucengkeram tongkat baseball erat-erat kalau-kalau itu maling, maka akan kupukul kepalanya sampai pingsan. Kunyalakan semua lampu kemudian berjalan Mengendap-endap menuju pintu utama. Memutar kenop pintu. Ceklek! Ngiiiiiiiiiik ....

"Apa?! Kamu?!"

Hampir saja kupukul pemuda itu dengan tongkat baseball. Ternyata dia. Tapi, kenapa dia berada di sini?

"Mommy ... terkejut bukan? Aku kembali! Aku sangat merindukanmu," ujar pemuda itu dengan senyuman menyebalkan.

Leo seperti hantu yang tiba-tiba muncul. Direntangkannya kedua tangan bersiap untuk memelukku, tetapi seperti biasanya selalu kutolak. Enak saja! Aku bukan gadis yang mudah berpelukan meskipun dia sahabat karibku selama bertahun-tahun.

"Tunggu-tunggu! Haish! Singkirkan tanganmu! Kamu bilang kamu akan tinggal selama bertahun-tahun di sana?" tanyaku. Alih-alih senang dengan kedatangan Leo, aku justru membayangkan season kedua menjadi babu akan dimulai lagi.

"Aku kembali untuk pertunangan. Lihat ini! Aku sekarang bertunangan, taraaaa!" Leo dengan ceria dan antusias menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Iya, iya. Cincin yang cantik. Tunggu, tunangan?!" tanyaku yang terkejut mendengar Leo telah bertunangan.

"Iya, aku dan Violin," jawab Leo berbangga hati.

"Violin? Model cantik itu?" tanyaku memastikan karena nama Violin di dunia ini pasti ada jutaan orang dengan nama yang sama.

"Iya. Kenapa terkejut seperti itu? Bisakah aku memelukmu sekarang?" Lagi-lagi Leo merentangkan kedua tangannya hendak memelukku.

"Nggak! Menyingkir lah! Jangan memelukku!" tolakku.

Sejurus kemudian, fokusku beralih pada kardus besar di depan pintu. Sejak kapan benda itu ada di sini? Kenapa tidak ada kurir yang berteriak paket datang?

"Apa parcel ini punyamu?" tanya Leo yang ternyata juga memerhatikan kardus berukuran besar itu.

"Ini rumahmu bagaimana mungkin ini parcel untukku?" Aku balik bertanya.

Aku dan Leo perlahan-lahan mendekati kardus besar yang kini tampak bergerak-gerak.

Oweeeeeeee!

"Aaaaa!"

"Apa itu?!"

Aku dan Leo terperanjat mendengar suara dari dalam kardus besar itu.

"Pergi lihat!" perintah Leo yang kini bersembunyi di balik punggungku.

"Tunggu! Jangan mendorongku!" protesku. Kusingkirkan tangannya dari pundakku.

Aku takut, tapi sepertinya Leo lebih ketakutan. Kubuka dengan hati-hati kardus besar itu. Dan ....

"What?!"

"Bayi?! Kenapa ada bayi di sini?!"

Aku dan Leo saling tatap. Kami sama-sama terkejut. Kemudian kualihkan netraku pada kartu kecil di samping makhluk mungil itu.

"Namanya Yuka, putri Leo dan aku. Kamu telah menyelamatkan hidupnya. Aku memutuskan nggak aborsi karena kamu. Tolong jaga dia seperti yang sudah kamu janjikan. DNA yang kamu minta sudah ada di wajah bayi ini."

Sekarang aku tahu siapa pemilik parcel berisi bayi ini. Aku juga tahu siapa pengirim parcel ini. Gitara? Aku bahkan sudah lupa pernah menjanjikan apa pada dia. Ya Lord ... bagaimana ini?

Kuangkat kardus berisi bayi tersebut dan kubawa masuk ke dalam rumah. Sekarang aku dan Leo benar-benar dalam masalah yang serius. Bagaimana kami menjelaskan tentang bayi ini. Namun, aku teringat pada Mulan yang juga dulu bersamaku mengetahui perihal kehamilan Gitara yang disebabkan oleh Leo. Aku pun segera menelepon gadis itu.

"Apa?! Gitara pergi bersama bule ke luar negeri?" Belum stabil jantungku gara-gara kedatangan Leo yang tiba-tiba, parcel berisi seorang bayi, dan sekarang aku harus kembali terkejut karena ibu dari bayi ini sudah tidak lagi di Indonesia.

"Iya, Sis. Bule itu suaminya. Dia nggak akan kembali lagi ke Indonesia. Katanya dia ingin meninggalkan kehidupan lamanya di sini," jawab Mulan yang terdengar seperti sirine kebakaran di telingaku.

Aku mengakhiri obrolan via telepon dengan Mulan. Sekarang aku dan Leo saling berhadapan dengan masing-masing memasang mimik wajah cengo. Pusing setengah mati harus apa sekarang?

"Apa semua ini sebuah prank atau beneran?" tanyaku yang entah akan bisa dijawab oleh siapa. Aku benar-benar ingin melarikan diri sekarang juga.

"Apa ini semua beneran? Kukira kamu bercanda waktu ngomong kalau Gitara hamil," ucap Leo yang ternyata masih ingat saat aku memberi tahu dia kalau Gitara mungkin hamil anaknya.

"Aku dan Gitara bertemu. Aku pikir dia berbohong hanya untuk mendapatkan perhatian kamu. Aku bahkan berpikir kalau dia nggak bener-bener hamil," balasku.

Bodoh sekali diriku yang masih menyepelekan dan mengira Gitara hanya main-main. Dia sudah menepati janji untuk melahirkan bayinya dan sekarang giliranku untuk menepati janji yang kubuat sendiri. Tiba-tiba, kurasakan sentuhan di bahuku oleh pemuda menyebalkan itu.

"Singkirkan tanganmu!" hardikku pada Leo.

"Iya-iya!"

"Terus aku kan pas itu nggak bisa menghubungi kamu. Jadi kukatakan beberapa hari setelahnya," lanjutku.

"Iya, aku minta maaf," sesal pemuda itu.

"Sekarang kedua orang tuamu sudah meninggal, tapi kamu masih punya Tante dan saudara laki-laki. Mungkin mereka nggak akan keberatan, kan? Kalau bayi ini-" ujarku tersambar oleh bantahan Leo.

"Salah besar! Abangku akan membunuhku jika dia sampai tahu. Aku baru saja bertunangan dengan Violin. Keluarga gadis itu telah melakukan banyak perbuatan baik untuk keluarga kami. Papanya adalah pemegang saham terbesar di perusahaan keluarga kami. Jika mereka tahu ini semua, perusahaan jadi nggak stabil lagi," terang Leo kemudian.

"Apa yang kamu lakukan sekarang?" tanyaku.

"Aku nggak tau. Kamu lah yang memberikan janji untuk menjaga anak ini. Jadi kamu harus bantu aku juga bayi ini," jawab Leo yang juga buntu ide.

"Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Aku bertanya kepastiannya akan seperti apa?

"Apa lagi? Kamu harus tolong aku! Aku akan memperkerjakan kamu sebagai ibu Yuka," ujar Leo memberikan kepastian atas pertanyaanku.

"Apa?!"

Aku menolak mentah-mentah tawaran pekerjaan dari Leo. Apa yang aku tahu tentang mengurus seorang bayi? Usiaku baru 19 tahun.

"Nggak! Nggak mungkin!" tolakku.

"Tolong aku, Taksis!" Leo memohon.

"Nggak!" Aku bersikeras menolak.

"Aku akan membayarmu 6 juta per bulan dan satu unit apartemen untukmu bersembunyi. Bagaimana?" rayu pemuda itu yang lagi-lagi menggunakan kekayaan miliknya untuk menaklukkan diriku.

"Apa kamu udah nggak waras? Kamu baru saja meminta seseorang untuk menjadi Ibu dari anak kamu! Dia itu adalah anak kamu bukan sembarang binatang piaraan!" seruku yang justru membuat bayi itu terbangun dan menangis.

Oweeeeeeee!

"Apa kamu punya opsi lain?" tanya Leo.

"Nggak," ketusku.

"Jadi tolong aku, Taksis! Lakukan saja untuk waktu yang singkat. Setelah aku menyelesaikan masalah dengan Violin akan kubawa anak ini untuk kurawat. Violin sedang promosi film terbaru. Jika ada yang tahu soal ini, papanya akan membunuhku," bujuk Leo lagi. Ini semua terdengar semua demi kepentingan dirinya sendiri.

"Leo! Kamu ini ... aku bahkan gadis yang belum menikah dan kamu seenaknya memintaku menjadi seorang ibu. Kamu beneran nggak waras?!" Geram sekali aku pada pemuda brengsek satu ini.

"Terserah kalau gitu. Kalau kamu nggak mau terima bayi ini, akan kuserahkan dia ke panti asuhan. Jika kamu juga ingin dia menjadi anak yatim piatu seperti kamu, maka jangan halangi aku!" gertak Leo sembari mengangkat kardus berisi bayi tersebut.

Aku menatap nyalang pemuda bertubuh tinggi, lebih tinggi 20 sentimeter dariku. Drama apa lagi yang sedang dia mainkan sekarang? Bisa-bisanya dia menyebut kata yatim piatu di hadapanku.

"Maafkan aku, Yuka. Ibumu nggak membawamu. Kakak ini sepertinya juga nggak mau menjagamu," ujar Leo dengan suara dibuat-buat sedih.

"Hei! Jangan bawa-bawa aku!" protesku.

"Taksis, anggap saja sebagai karier kamu bila mau, tolong lah! Ini pekerjaan mudah. Kamu bisa membantu aku juga Yuka secara bersamaan. Ayolah! 10 juta, deh!" bujuk Leo lagi. Dia menaikkan upah yang ditawarkan dari sebelumnya 6 juta menjadi 10 juta rupiah setiap bulannya.

Kulihat wajah bayi perempuan itu. Apa aku dulu juga dibuang oleh ibuku? Apa ayahku pria bodoh seperti Leo? Huuffft ... aku jadi kasihan kepada bayi mungil ini.

Akhirnya, aku menjadi seorang ibu saat aku sendiri masih seorang gadis perawan. Aku bahkan belum pernah punya pacar dalam hidupku. Aku kesulitan merawat bayi Leo sendirian. Kesehatanku hancur. Aku menjadi wanita yang jelek sekarang.

Aku mengikuti perintah Leo pindah ke kota Batam dan tinggal di sebuah apartemen mewah. Sebuah properti yang dibelinya atas namaku sendiri. Kuanggap itu sebagai DP karena bersedia menjadi pengasuh bayi rahasianya ini.

Leo tidak berhenti untuk melihat Yuka dari waktu ke waktu. Dia meski tidak tinggal dengan kami, tetapi termasuk Ayah yang baik. Dia mengurus semuanya untuk Yuka. Makanan, pakaian, mainan segala kebutuhan hidup anak ini Leo sendiri yang menyediakan.

Iya, dia melakukan semua yang seorang ayah harus lakukan, kecuali satu. Satu hal yang tidak akan pernah dia lakukan adalah mengakui Yuka sebagai anaknya secara resmi di mata hukum.

Karena dia telah membayarku, jadi aku tinggal seperti seorang ibu tunggal yang merawat seorang anak perempuanku. Aku pun menyerah pada angan-angan untuk menemukan cinta sejati di usia yang sangat muda sejak aku setuju untuk menerima pekerjaan ini.

"Hai, Bu Taksis!"

Pimpinan keamanan apartemen tempat aku tinggal hampir empat tahun ini sangat ramah menyapa setiap penghuni unit.

"Hai, Pak Baron! Kami punya hadiah untuk Anda!" putriku menyerahkan sekotak donat pada pria itu.

"Terima kasih, anak baik," balas pria berseragam itu sembari mengelus kepala Yuka.

Yuka Richie Lim, gadis cantik ini kurawat dan kubesarkan sesuai permintaan papanya. Sebentar lagi dia akan merayakan ulang tahun yang keempat. Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang periang juga cerdas. Aku menyayangi anak ini meskipun aku juga menerima bayaran untuk melakukannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel