Part 4
Feng dan teman-temannya berlari sekuat tenaga, menyusuri jalan setapak yang semakin menipis di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan menghitam. Hutan angker yang mereka lewati telah menjadi tempat berbagai cerita menyeramkan yang sering diceritakan oleh penduduk desa. Angin malam berbisik, membawa suara-suara yang terdengar seperti bisikan makhluk tak kasat mata yang mengintai di antara bayangan.
Mereka tahu bahwa mereka harus keluar dari hutan itu sebelum malam benar-benar jatuh. Setiap langkah mereka disertai dengan rasa takut yang kian mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang terus membuntuti mereka dari belakang. Di tengah kegelapan, mata Feng menangkap kilatan samar-samar di antara pepohonan. Dia tidak berani menoleh, takut apa yang mungkin dilihatnya akan membuatnya terhenti.
Setelah berjam-jam berjuang melawan rasa lelah dan ketakutan, mereka akhirnya melihat cahaya lampu dari kejauhan. Cahaya itu seperti mercusuar di lautan gelap, memberikan harapan yang hampir sirna. Dengan sisa tenaga yang ada, mereka mempercepat langkah, berharap segera keluar dari mimpi buruk yang seakan tiada akhir ini.
Langkah kaki mereka semakin berat, namun tekad mereka semakin kuat. Ketika akhirnya mereka mencapai batas hutan, rasa lega mulai mengalir, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan rasa takut yang masih menggantung di udara. Dengan napas tersengal-sengal, Feng dan teman-temannya berhasil keluar dari hutan dan tiba kembali di pemukiman di perbukitan. Mereka berhenti sejenak, memandang ke belakang, memastikan bahwa apa pun yang menguntit mereka telah tertinggal di hutan.
Wajah mereka tampak pucat, kelelahan terukir jelas. Masing-masing dari mereka memandang satu sama lain, berbagi perasaan lega dan trauma tanpa perlu kata-kata. Mereka tahu, meskipun sudah kembali ke pemukiman, bayangan hutan angker itu akan selalu menghantui mereka dalam mimpi buruk.
Namun, malam itu, mereka bersyukur masih hidup. Mereka telah berhasil melewati ujian mengerikan itu, namun jauh di dalam hati, mereka tahu bahwa hutan itu masih menyimpan rahasia yang lebih menyeramkan, menunggu siapa pun yang berani masuk kembali.
Karena kelelahan akhirnya Feng dan teman-temannya tertidur. Dalam tidurnya Feng bermimpi bertemu Yen Liao, perempuan yang dicintainya yang telah meninggal. Yen Liao seperti menitipkan pesan pada Feng agar melakukan perlawanan terhadap Jimin Yu yang sudah merebut ladang-ladang milik masyarakat desa goangnam
Dalam tidurnya, Feng bermimpi. Di dalam mimpi itu, ia berdiri di tengah padang rumput yang luas dan cerah. Di kejauhan, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya, Yen Liao, perempuan yang dicintainya yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Yen Liao berjalan mendekatinya dengan senyum lembut yang selalu menghangatkan hati Feng. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda pada wajahnya, ada kepedihan dan urgensi yang terpancar dari matanya.
“Feng,” suara Yen Liao terdengar seperti bisikan angin, lembut namun penuh dengan makna, “kau harus bangkit. Kau harus melakukan perlawanan terhadap Jimin Yu. Dia telah merebut ladang-ladang milik masyarakat desa Goangnam. Mereka menderita, dan hanya kau yang bisa memimpin mereka untuk melawan.”
Feng mencoba mendekati Yen Liao, ingin menyentuhnya dan merasakan kehangatan yang selalu ia rindukan, tetapi Yen Liao menjauh. “Jangan lupa, Feng, ini adalah tugasmu. Lindungi desa kita, lindungi orang-orang yang kau cintai. Aku percaya padamu.”
Feng terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Napasnya tersengal-sengal, dan jantungnya berdebar kencang. Mimpi tentang Yen Liao masih terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar baru saja berbicara dengannya. Di sekelilingnya, Wugi dan teman-temannya mulai terbangun, melihat Feng dengan tatapan cemas.
"Feng, apa yang terjadi? Kau terlihat seperti melihat hantu," kata Wugi, mencoba menenangkan Feng.
Feng menghapus keringat dari dahinya dan mencoba menenangkan dirinya. "Aku bermimpi," jawabnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku bermimpi bertemu Yen Liao."
Teman-temannya terdiam sejenak, memahami betapa dalam cinta Feng kepada Yen Liao, meskipun dia telah meninggal beberapa tahun yang lalu. "Apa yang dia katakan?" tanya salah satu teman dengan penuh rasa ingin tahu.
Feng menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat setiap detail dari mimpinya. "Dia memberiku pesan. Dia bilang kita harus melawan Jimin Yu. Dia telah merebut ladang-ladang milik masyarakat desa Goangnam, dan mereka menderita karenanya. Yen Liao percaya bahwa kita bisa memimpin perlawanan untuk mendapatkan kembali hak mereka."
Wugi menatap Feng dengan mata penuh keyakinan. "Kalau Yen Liao yang mengatakan itu, maka kita harus melakukannya. Kita tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi."
Teman-teman Feng yang lain mengangguk setuju. Meskipun masih lelah dan trauma oleh pengalaman mereka di hutan angker, mereka merasakan semangat baru menyala dalam diri mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah panggilan untuk bertindak, sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan melawan penindasan yang selama ini mereka saksikan tanpa daya.
"Baik," kata Feng dengan suara yang lebih tegas. "Kita akan kembali ke desa dan mengumpulkan semua orang. Kita akan merencanakan perlawanan ini dengan baik. Kita akan tunjukkan kepada Jimin Yu bahwa kita tidak akan diam saja ketika dia merampas hak kita."
Dengan tekad yang baru, Feng dan teman-temannya bersiap-siap untuk kembali ke desa Goangnam. Mereka tahu bahwa jalan di depan mereka penuh dengan bahaya, tetapi dengan semangat dan persatuan, mereka percaya bahwa mereka bisa mengubah nasib desa mereka. Pesan dari Yen Liao bukan hanya sebuah mimpi; itu adalah panggilan untuk bertindak, dan mereka siap menjawabnya.
***
Di malam yang sunyi dan kelam, di bawah sinar bulan purnama yang pucat, Jimin Yu duduk di aula utama rumahnya yang sederhana namun berwibawa. Di sekelilingnya, beberapa bawahannya, termasuk Paman Wu yang bijaksana dan berpengalaman, duduk dalam keheningan yang tegang. Mereka semua tahu bahwa ancaman besar sedang mengintai desa mereka.
"Kita tidak bisa membiarkan Yen Liao masuk ke desa Sowan," kata Jimin Yu dengan tegas.
"Kebangkitannya sebagai vampir telah membawa teror ke banyak desa tetangga. Dia mengancam keselamatanku juga. Kita harus bertindak cepat."
Paman Wu mengangguk pelan, wajahnya terlihat penuh dengan kerutan khawatir. "Aku pernah mendengar tentang ritual kuno yang bisa mencegah makhluk seperti Yen Liao masuk ke desa kita," katanya. "Namun, ritual ini membutuhkan persiapan dan bahan-bahan yang tidak mudah didapat."
Jimin Yu memandang Paman Wu dengan penuh harap. "Apa yang kita butuhkan, Paman Wu? Kita akan melakukan apapun untuk melindungi desa ini."
Paman Wu mengambil napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan. "Kita memerlukan lima bahan utama: air suci dari mata air di gunung, daun-daun dari pohon ginkgo yang tumbuh di hutan timur, garam laut yang telah diberkati oleh seorang biksu, api dari lilin suci, dan darah dari keturunan langsung keluarga pertama yang mendirikan desa ini."
Jimin Yu merenung sejenak, lalu berkata, "Aku akan memimpin tim untuk mendapatkan air suci dan daun ginkgo. Aku percayakan pada kalian untuk mengurus sisanya." Para bawahannya mengangguk dengan penuh semangat, siap untuk melaksanakan tugas mereka.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang intens. Jimin Yu dan timnya mendaki gunung untuk mendapatkan air suci, sebuah perjalanan yang penuh dengan bahaya dan rintangan. Mereka juga berhasil mengumpulkan daun ginkgo dari hutan timur, meskipun harus menghadapi binatang buas yang menjaga pohon tersebut.
Sementara itu, Paman Wu bersama beberapa bawahannya pergi ke kuil terdekat untuk mendapatkan garam laut yang telah diberkati oleh seorang biksu. Mereka juga mengatur pertemuan dengan kepala desa untuk mendapatkan lilin suci yang disimpan di altar desa.
Pada malam kelima, semua bahan telah terkumpul. Paman Wu memimpin ritual di pusat desa, dengan semua penduduk berkumpul dalam lingkaran yang penuh dengan harapan. Dengan tenang dan penuh kehormatan, dia mencampurkan bahan-bahan tersebut dan mulai melantunkan mantra kuno.
Cahaya bulan semakin terang ketika ritual berlangsung. Perlahan, aura pelindung terbentuk di sekitar desa Sowan, berkilauan seperti perisai yang tidak terlihat. Semua orang merasakan energi positif yang mengalir, membawa ketenangan dan rasa aman.
Ketika fajar tiba, Jimin Yu berdiri di tepi desa, memandang ke kejauhan. Dia tahu bahwa tantangan masih ada di depan mereka, tapi untuk saat ini, desa Sowan aman dari ancaman Yen Liao.
"Paman Wu, terima kasih atas kebijaksanaanmu," kata Jimin Yu, menepuk bahu Paman Wu dengan penuh penghargaan.
Paman Wu tersenyum bijaksana. "Ini adalah hasil usaha kita bersama, Jimin. Selama kita bersatu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita."
Dengan tekad baru dan persatuan yang kuat, desa Sowan siap menghadapi segala ancaman yang mungkin datang di kemudian hari Kebangkitan Yen Liao mungkin merupakan ujian berat, tapi mereka telah membuktikan bahwa dengan kerja sama dan keberanian, mereka bisa mengatasi segalanya.
Meskipun telah melakukan ritual perlindungan dengan segala usaha dan keyakinan, desa Sowan kembali terguncang oleh kehadiran Yen Liao kembali. Malam itu, teriakan kepanikan memecah keheningan malam saat penduduk desa dikejutkan oleh serangan misterius.
*****