Part 3
Wugi dan beberapa temannya sedang dalam ketakutan akhirnya bersedia mengikuti Feng, Feng, ketua kelompok mereka, memperingatkan semuanya bahwa mereka harus melewati makam kuno yang terkenal angker.
Malam itu sangat gelap, dan kabut tebal menyelimuti jalan setapak menuju desa Goangnam. Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika mereka akhirnya sampai di dekat makam kuno. Suasana di sekitar mereka terasa sangat mencekam. Pepohonan besar yang menaungi makam itu seakan hidup dan mengawasi setiap langkah mereka.
"Tenang, semuanya," kata Feng dengan suara yang mencoba terdengar tenang. "Ingat, kita hanya melewati sini. Jangan sampai pikiran kita dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu."
Namun, kata-kata Feng tidak sepenuhnya mampu menenangkan teman-temannya. Wugi, yang biasanya pemberani, merasa jantungnya berdegup kencang. Setiap bayangan yang bergerak membuatnya terlonjak.
Tiba-tiba, terdengar suara samar di tengah keheningan malam. Suara itu terdengar seperti rintihan dan jeritan yang teredam. "Apa itu?" bisik salah satu temannya dengan gemetar.
"Sst! Jangan panik," jawab Feng. "Tetaplah dekat dan jangan berpisah."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang semakin ragu-ragu. Angin berhembus kencang, dan suara-suara menyeramkan terus terdengar dari arah makam. Beberapa kali, mereka melihat bayangan hitam yang bergerak cepat di antara batu-batu nisan.
Ketika mereka hampir melewati makam, suara itu semakin jelas. Wugi bisa mendengar dengan jelas suara rintihan seorang wanita dan jeritan pilu yang memecah keheningan malam. Tubuhnya merinding, dan kakinya terasa lemas.
"Feng, aku rasa kita harus kembali," kata Wugi dengan suara bergetar. "Ini terlalu menyeramkan."
Feng menoleh ke arah Wugi dan teman-temannya yang lain. Wajah mereka pucat dan penuh ketakutan. "Kita hampir sampai," kata Feng mencoba meyakinkan. "Sedikit lagi dan kita akan keluar dari sini."
Tiba-tiba, di depan mereka muncul sosok wanita berpakaian putih dengan rambut panjang terurai. Wajahnya pucat dan matanya kosong menatap mereka. Teman-teman Wugi menjerit dan mencoba berlari, namun Feng tetap berdiri tegak.
"Jangan takut!" teriak Feng, berusaha mengendalikan situasi. "Ini hanya ilusi!"
Namun, sosok wanita itu mendekat dengan cepat, dan rintihan serta jeritannya semakin keras. Wugi tidak mampu menahan rasa takutnya lagi. Dia berteriak dan mulai berlari sekuat tenaga, diikuti oleh teman-temannya. Feng, yang mencoba tetap tenang, akhirnya ikut berlari.
Setelah beberapa menit berlari, mereka akhirnya sampai di luar area makam kuno. Nafas mereka terengah-engah, dan tubuh mereka gemetar ketakutan. "Kita berhasil keluar," kata Feng dengan nafas tersengal. "Tapi kita harus berhati-hati saat kembali."
Wugi menatap makam kuno yang kini terasa sangat jauh. Pengalaman mengerikan itu masih terbayang jelas di benaknya. Mereka melanjutkan perjalanan ke desa Goangnam dengan suasana hati yang lebih waspada dan penuh kehati-hatian.
Saat mereka tiba di desa Goangnam, Feng dan teman-temannya terdiam memperhatikan desanya yang Napa sunyi senyap. Hanya cahaya lampu minyak dan obor yang menerangi desa itu.
"Sepertinya mereka suara terlelap, Feng," ucap Wugi.
"Kita harus menemui paman Jao, aku rasa dia pasti akan setuju dengan rencanaku," sahut Feng sambil berjalan ke arah rumah yang dituju.
Wugi dan yang lainnya mengikutinya dari belakang. Ketika sampai di depan pintu rumah itu, Feng kemudian mengetuk pintu dan mencoba membangunkan paman Jao.
"Permisi... Paman Jao, ini aku, bangun lah, Paman," ucap Feng sambil terus mengetuk pintu rumah itu.
Tidak lama berselang, terdengar pintu itu pun dibuka dan terlihat lelaki paruh baya dengan raut muka yang masih mengantuk, namun dia seketika membuka matanya ketika melihat kedatangan Feng dan teman-temannya.
"Hah, kalian? Ke apa bisa ke sini? Ayo masuk, cepat!" ucap paman Jao mempersilahkan.
Mereka semua masuk kedalam rumah paman Jao dan terus duduk-duduk. Saat itu Feng langsung menjelaskan maksud kedatangannya yang tidak lain untuk mengajak masyarakat agar mau melakukan perlawanan terhadap Jimin Yu yang sudah merebut ladang-ladang milik mereka.
"Rencanamu bagus, Feng. Tetapi kita tidak mungkin bisa mengalahkan mereka. Jimin Yu dan kelompoknya adalah orang-orang terhormat, dan mereka memiliki kekuatan," ucap paman Jao terdengar pelan.
"Tapi, Paman. Biar bagaimanapun ladang-ladang itu milik kita, milik leluhur kita. Jadi aku berencana mengajak masyarakat di sini untuk melakukan perlawanan terhadap tuan Jimin," sahut Feng.
Paman Jao terdiam sejenak. Dia sebenarnya setuju dengan perkataan Feng, hanya saja dia tidak yakin untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah yang dikenal kejam.
"Kau tenang saja, Paman. Jangan takut, Aku dan teman-temanku akan berusaha melindungi masyarakat dan mencoba melakukan cara supaya ladang kita kembali," ucap Feng.
"Dengan cara apa, Feng? Itu sangat berbahaya buat kalian, sebaiknya jangan lakukan itu. Biarlah kita hidup seperti ini," sahut paman Jao seolah putus asa.
"Paman Jao. Kau tidak boleh putus asa. Aku yakin jika semua masyarakat melakukan perlawanan, kita kan bisa merebut kembali ladang-ladang milik kita," balas Feng.
"Baiklah, aku akan berusaha membicarakan hal ini pada masyarakat yang lain," ucap paman Jao menyetujui.
Feng dan teman-temannya tersenyum mendengar perkataan paman Jao yang akhirnya setuju. Namun pada saat itu, tiba-tiba saja paman Jao berkata,"Feng. Aku mendengar berita yang menakutkan. Apa kalian sudah mengetahui kabar itu?"
"Maksud, Paman?" tanya Feng mengerutkan keningnya.
"Yen Liao dikabarkan bangkit dari kematiannya, dan dia sekarang menjadi vampir," jawab paman Jao dengan pelan.
Feng dan teman-temannya terdiam sejenak.
"Paman. Aku sudah mendengar berita itu, tetapi itu tidak perlu kau takuti. Jika memang kanr itu benar pun, aku yakin Yen Liao bukanlah pembunuh," ucap Feng, matanya membayangkan Yen Liao yang membuat hatinya jatuh cinta.
"Feng. Meski begitu, tetap saja dia itu Vampir, da kalian harus tahu, vampir itu akan menghisap darah sebagai makanannya," ucap paman Jao.
Sontak Wugi dan beberapa temannya terperanjat kaget mendengar ucapan paman Jao.
"Paman Jao, kau jangan berkata seperti itu, jangan lah menakuti kami," ucap Wugi.
"Aku tidak sedang menakuti kalian. Tetapi berita ini sudah tersebar, dan sudah banyak yang menjadi korban oleh vampir itu. Hati-hati lah kalian!" tegas paman Wu.
"Paman. Kami bisa menjaga diri kami. Sebaiknya paman fokus dengan rencana kita, jangan pedulikan berita itu. Sekarang kami pamit pulang," ucap Feng.
"Iya, baiklah. Hati-hati saja," balas paman Jao.
Feng dan teman-temannya pun meninggalkan desa itu, mereka kembali berjalan menaiki bukit dan memasuki hutan. Sepanjang perjalanan teman-temannya sering mengatakan jika mereka ketakutan setelah mendengar perkataan paman Jao. Namun disitu Feng tidak henti-hentinya menenangkan teman-temannya yang tampak ketakutan.
Feng dan teman-temannya memutuskan untuk mengambil jalan lain yang membelah hutan karena teman-temannya tidak mau melewati makam kuno, suasana begitu tenang, namun seketika tiba-tiba, terdengar suara aneh dari dalam hutan. Suara itu terdengar seperti jeritan melengking yang penuh kesakitan, membuat bulu kuduk mereka meremang.
Wugi langsung terperanjat dengan wajah pucat. "Apa itu?" tanyanya dengan suara gemetar. Teman-teman lainnya mulai panik, beberapa di antaranya berbisik takut dan memandang ke segala arah dengan cemas.
Feng mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia berdiri dan mengangkat tangan untuk menenangkan teman-temannya. "Tenang, tenang semuanya. Mungkin itu hanya hewan liar atau suara angin. Kita tidak boleh panik."
Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih menyeramkan. Wugi mulai melangkah mundur, nyaris tersandung batu di dekat api unggun. "Kita harus secepatnya keluar dari sini!" serunya panik.
Feng menahan bahu Wugi, memaksanya untuk tetap berdiri. "Dengar, kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan berlari dalam keadaan panik. Kita harus tetap bersama dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan hati-hati, Feng mmemimpin teman-temannya menuju arah suara tersebut. Mereka bergerak perlahan, memastikan untuk tetap bersama. Setiap langkah terasa berat, dan kegelapan di sekitar mereka tampak semakin mencekam.
Di tengah perjalanan, suara itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih mengerikan. Kali ini, semua orang bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa. Mereka menemukan jejak kaki aneh di tanah, yang tidak menyerupai jejak binatang apapun yang mereka kenal.
"Feng, ini tidak normal. Kita harus kembali," bisik salah satu temannya dengan suara parau.
Feng berhenti sejenak, menimbang situasi. "Kita akan kembali, tapi tetap dalam formasi. Jangan sampai ada yang terpisah."
Ketika mereka berusaha untuk tenang, suara jeritan itu berubah menjadi suara tawa yang dingin dan mengerikan, menggema di antara pepohonan. Mereka pun akhirnya berlari kembali dengan napas terengah-engah.
"Ini tidak mungkin," gumam Feng, berusaha mengerti apa yang terjadi.
"Woyy... Tolong aku...!" terak Wugi penuh ketakutan
*****