Part 5
Paman Wu dan beberapa bawahannya untuk bergerak cepat. Mereka membawa senjata-senjata yang mereka miliki, berusaha mempertahankan desa mereka dari serangan tak terduga ini.
Di tengah gelapnya malam, mereka melintasi jalan-jalan desa yang sunyi, memburu keberadaan Yen Liao. Setiap langkah mereka penuh dengan ketegangan dan ketakutan, tetapi juga dengan tekad untuk melindungi yang mereka cintai.
Segera, mereka menemukan jejak Yen Liao yang mengarah ke sebuah bangunan tua di pinggiran desa. Tanpa ragu, mereka melangkah masuk, siap menghadapi apa pun yang menanti di dalam.
Di dalam bangunan yang gelap dan angker itu, pertarungan sengit pun terjadi. Yen Liao muncul dengan kekuatannya yang mengerikan, melancarkan serangan balik yang ganas. Namun, paman Wu tampak tidak gentar. Dengan keberanian dan keuletan, mereka mempertahankan diri dan berusaha
Setelah pertarungan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Yen Liao berhasil diusir dari desa itu. Tubuhnya menghilang dengan kepulan asap tebal, menandakan hilangnya ancaman yang mengintai desa Sowan.
Dengan lega, Jimin Yu dan penduduk desa lainnya mengambil napas panjang. Mereka tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya sirna, tetapi kemenangan ini memberi mereka harapan dan kekuatan untuk terus maju.
Paman Wu mengusap keringat dari dahinya, senyum bangga terukir di wajahnya. "Kita telah melewati ujian yang sulit, tetapi kita bertahan bersama," katanya dengan suara rendah yang penuh makna.
Jimin Yu mengangguk setuju, merasa bersyukur atas keberanian dan dedikasi dari semua yang terlibat. "Kita akan terus berjuang untuk melindungi desa ini," ucapnya, sementara sinar mentari mulai menyingsing di ufuk timur, membawa harapan baru bagi desa Sowan yang tegar.
***
Di pagi yang cerah, Jimin Yu dan pasukannya tiba di desa Goangnam. Mereka berjalan dengan langkah mantap menuju ladang-ladang yang subur, di mana para petani sedang bekerja keras memanen hasil tanaman mereka. Jimin Yu, seorang penguasa tanah yang kejam, memperhatikan dengan dingin sambil merencanakan cara untuk menakut-nakuti penduduk desa.
Dia menyuruh bawahannya untuk bertindak dengan kejam, memperlihatkan kekuasaannya kepada mereka yang berani menentangnya. Anak buahnya menuruti perintah dengan patuh, menunjukkan sikap yang kejam dan mengancam para petani.
Saat mereka melintasi desa, suasana ketakutan dan kecemasan mulai terasa di udara. Penduduk desa merasa terancam oleh kehadiran Jimin Yu dan pasukannya. Mereka tahu bahwa hidup mereka akan menjadi sangat sulit jika mereka tidak tunduk pada kehendak sang penguasa tanah.
Namun, di tengah ketakutan itu, ada juga semangat perlawanan yang membara di hati beberapa penduduk desa. Mereka tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan penindasan. Sebuah perlawanan diam-diam mulai terbentuk di antara mereka, dengan harapan bahwa suatu hari mereka bisa membebaskan diri dari cengkeraman kejam Jimin Yu.
Namun, untuk saat ini, desa Goangnam tetap dalam genggaman besi Jimin Yu, dan bayang-bayang ketakutan masih menguasai hari-hari mereka.
Paman Jao, seorang tokoh yang dihormati di desa Goangnam, memiliki keberanian untuk menentang kekejaman Jimin Yu. Dengan sikap yang tegas namun penuh belas kasihan, dia berani menghadapi pengawal-pengawal Jimin Yu yang kasar terhadap masyarakat.
Namun, keberaniannya membawa konsekuensi yang tidak diinginkan. Pengawal-pengawal Jimin Yu tidak menghargai keberanian Paman Jao. Mereka memperlakukannya dengan kasar, bahkan mengancamnya agar tidak lagi mencampuri urusan mereka.
Meskipun demikian, Paman Jao tidak gentar. Dia terus berjuang untuk melindungi masyarakatnya dari penindasan, meskipun risikonya besar. Setiap hari, dia bekerja keras untuk memberikan dukungan moral kepada para penduduk desa dan menginspirasi semangat perlawanan mereka.
Namun, di balik keberanian dan semangatnya, Paman Jao juga menyadari bahwa melawan kekuatan besar seperti Jimin Yu memerlukan strategi yang hati-hati dan dukungan yang kuat. Dia berusaha untuk mempersatukan masyarakatnya dan mencari sekutu di luar desa yang mungkin bisa membantu mereka melawan tirani yang menindas mereka.
Dengan tekad yang kuat dan semangat yang membara, Paman Jao dan penduduk desa Goangnam bersiap untuk menghadapi cobaan terbesar mereka. Meskipun jalan yang mereka tempuh penuh dengan kesulitan, mereka bertekad untuk berjuang demi kebebasan dan martabat mereka.
"Paman Jao, kau sungguh berani menghalangi anak buahku? Kau pikir kau bisa melawan kekuatanku?" Jimin Yu menyeringai dengan tatapan matanya yang tajam.
"Tuan Jimin Yu, saya hanya memohon agar Anda memperlakukan masyarakat kami dengan lebih manusiawi. Mereka tidak layak menerima perlakuan kasar seperti ini," ucap paman Jao.
"Ha! Manusia? Mereka hanyalah hamba bagiku, aku sang penguasa tanah. Kehendakku adalah hukum di sini, dan siapa pun yang berani menentang akan merasakan akibatnya!" bentak Jimin Yu dengan lantang.
"Tapi Tuan, kebaikan dan keadilan tidak boleh dilupakan. Saya tidak akan diam melihat kekejaman dilakukan terhadap rakyatku," ucap Paman Jao memelankan suaranya.
"Kebaikan dan keadilan? Itu adalah ilusi, Paman Jao. Di dunia ini, yang kuat yang menentukan segalanya. Dan saat ini, aku yang kuat. Jangan sekali-kali menghalangi jalanku lagi, atau kau akan menyesalinya." Jimin Yu mendekatkan wajahnya menatap tajam paman Jao
Paman Jao, meski demikian dia berkata,"Saya tidak akan mundur, Tuan. Saya akan terus melawan ketidakadilan ini, meskipun risikonya besar."
"Baiklah kau sudah berani terhadapku, tetapi ingatlah, setiap tindakanmu akan memiliki konsekuensi. Dan jika kau tidak berhati-hati, kau akan menemui nasib yang buruk!" bentak Jimin Yu.
Sontak Paman Jao terlihat kaget, tubuhnya bergetar ketika beberapa pengawal tuan Jimin Yu langsung memegangi tangan dan kakinya.
"Apa yang akan kalian lakukan?" Paman Jao terlihat panik, dia berusaha memberontak.
"Orang tua sepertimu, yang sudah bermain menentangku, maka ini lah konsekuensinya," ucap Jimin Yu dengan suara dipenuhi amarah.
Setelah itu Jimin Yu menyuruh beberapa orang untuk menghajar paman Jao. Semua orang hanya bisa melihat perlakuan buruk anak buah Jimin Yu yang menghajar paman Jao dengan brutal. Mereka tidak ada yang berani melakukan perlawanan, sehingga paman Jao terlihat kesakitan dan tergeletak di tanah dengan penuh luka.
Tanpa sepengetahuan Jimin Yu dan masyarakat di situ. Ternyata di sebelah sana, di antara semak belukar, Wugi dan Chen hu yang ditugaskan oleh Feng untuk melakukan pengawasan, mereka yang melihat kejadian itu maka bergegas untuk memberitahukan pada Feng.
"Chen Hu. Ayok kita segera kembali, ini tidak bisa dibiarkan, ayok!" ajak Wugi kemudian melangkahkan kakinya.
"Kau benar, ayok," sahut Chen Hu.
Namun ketika mereka berdua hendak meninggalkan lokasi itu, sala seorang pengawal Jimin Yu melihat pergerakan mereka berdua.
"Hey. Jangan bergerak!" teriaknya.
Sontak Jimin Yu dan yang lainnya pun kaget dan mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh anak buahnya. Melihat ada dua orang yang berlari menjauh, disitu Jimin Yu langsung memerintahkan bawahannya untuk menangkap orang itu yang menurutnya orang itu mau kabur.
"Cepat tanggap mereka!" seru Jimin Yu dengan lantang.
Tanpa basa-basi lagi sebagai pengikutnya berlarian untuk mengejar dua orang itu. Wugi dan Chen Hu yang mengetahui sedang dikejar, mereka berdua pun panik.
"Wugi, mereka mengejar kita," ucap Chen Hu dalam kepanikan.
"Lari saja, Chen Hu. Cepat!" seru Wugi dari depan.
Karena terlalu panik dan berlari di hutan yang dipenuhi semak belukar, sehingga mereka tida bisa konsen. Tiba-tiba saja, Chen Hu terpeleset dan jatuh terperosok.
"Aaaa...," teriaknya.
Sontak Wugi kaget, dia membuka matanya lebar-lebar melihat temanya terperosok jatuh.
"Chen Hu," teriak Wugi dengan wajah tegang.
Dia sadar tidak mungkin bisa menolong temanya karena melihat beberapa orang mengejarnya. Dalam kepanikan itu akhirnya Wugi memutuskan untuk meninggalkan tempatnya yang terperosok jatuh, sedangkan dia berusaha untuk secepatnya menjauh dari kejaran kelompok Jimin Yu. Saat itu Wugi benar-benar panik.
"Maafkan aku, Chen Hu," ucapnya merasa bersalah dan terus melangkahkan kakinya.
Wugi pun panik dan tanpa dia sadari kakinya tersandung dan dia pun terjatuh.
"Argh." Wugi memekik kesakitan, kakinya terkilir dan nampak berdarah di lututnya.
Sedangkan dari arah sana, beberapa orang Sunda nampak dekat, terdengar suara teriakan mereka,"Cepat tangkap! Tangkap dia!"
*****