bab 12 Mencari Maura
Bab 12 Mencari Maura
Rina hanya menatap laki-laki itu dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang dimilikinya. Maksudnya apa? Dia menyukai apa? Dan apa katanya, naluri? Memangnya ada naluri seperti itu?
Masih bergelut dengan isi kepalanya, suara Frank tiba-tiba menginterupsinya.
"Kamu kalau aku tinggal dulu tidak apa-apa, kan? Aku ada latihan sebentar lagi," ucap Frank mengembalikan fokus Rina. Dirinya kini tengah bersiap menuju tempat latihan.
"Kamu ada latihan?"
"Iya. Tidak apa-apa aku tinggal? Sebentar saja. Hanya satu jam," terang Frank.
Rina tampak berpikir. Jika laki-laki itu pergi artinya dia hanya seorang diri di ruangan ini. Apa tidak apa-apa dia tetap tinggal, sedangkan pemiliknya tidak ada di tempat?
"Tapi, kalau kamu keberatan, aku bisa meminta temanku untuk menggantikannya sebentar," imbuhnya saat melihat Rina hanya berdiam diri tidak memberikan respon apa pun.
"Eh? Jangan-jangan! Lebih baik kamu ke tempat latihan saja. Aku juga mau ke tempat temanku."
Frank mengernyit mendengarnya. "Kamu ingin ke tempat teman kamu itu?"
"Iya... aku ke sana saja."
"Kamu yakin mau ke sana? Jalan sudah bisa?"
"Itu...."
Frank pun berdecak setelahnya. "Ckk... keras kepala ternyata, kamu! Satu jam itu lama. Kamu yakin ingin menunggu di tempat yang tidak semestinya, dengan kaki kamu seperti itu? Bukannya cepat sembuh malah jadi makin lama sembuhnya, kan?"
"Setidaknya aku tidak merepotkan orang lain."
"Merepotkan siapa?"
"Kamu," jawab Rina jujur.
"Aku?" tunjuk Frank pada dirinya sendiri. "Kenapa aku harus merasa direpotkan?"
"Karena aku menggunakan ruangan kamu sementara kamu tidak ada."
"Jadi, kamu merasa merepotkanku karena itu?"
"Iya...," lirih Rina tidak enak hati.
Frank menghembuskan napasnya lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Kamu tunggu sebentar."
"Kamu mau ke mana? Frank!!" teriak Rina panik karena laki-laki itu pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun padanya. Rina bingung, dia ingin menyusul ke mana Frank pergi. Dengan menahan sakit pada kakinya, Rina mencoba untuk beranjak dan berusaha mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Selang beberapa menit kemudian, saat Frank kembali lagi ke ruangannya, dia dikejutkan dengan keberadaan Rina yang tengah tertatih-tatih meraih ponsel yang ada di mejanya.
"Rina!!" seru Frank mengagetkan gadis itu yang sedang mengambil benda pipih tersebut.
Rina pun menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati laki-laki itu sudah berada di dekatnya.
"Kamu mau apa?"
"Mengambil ponselku, Frank."
"Itu belum penuh. Kamu tunggu sebentar lagi. Duduklah," pinta Frank seraya mengambil ponsel yang Rina genggam. Lalu meletakkannya kembali di wireless charger seperti semula.
"Tapi, Frank ...."
"Kenapa?" Frank berbalik menatap Rina dengan pinggulnya menyandar di sisi meja. Lantas bersedekap menatap gadis yang ada di hadapannya. "Kamu tidak betah ada di sini?"
"Eh? Tidak betah?" cicit Rina menirukan ucapan Frank.
"Iya, kamu tidak betah berada di sini. Makanya, ingin cepat-cepat pergi. Benar, kan?" desak Frank membuat Rina meringis.
Frank menaikkan sebelah alisnya menunggu jawaban Rina.
"Bukan begitu maksudku, Frank."
"Lalu?"
"Aku sebenarnya ingin menyusul kamu. Tapi, aku juga membutuhkan ponselku. Aku perlu menghubungi seseorang."
"Siapa?"
"Temanku."
Lalu Frank mengambil kembali ponsel yang ada di belakangnya. Kemudian menyerahkannya pada Rina. "Teleponlah teman kamu itu. Minta dia datang ke sini," pinta Frank pada Rina setelah gadis itu menerima ponselnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi Rina pun mendial nomor Maura. Ditunggunya sambungan telepon itu hingga terputus dengan sendirinya. Lantas dicobanya sekali lagi, berharap mendapatkan jawaban. Namun, hingga dering terakhir dirinya masih belum terhubung dengan Maura.
Kemudian Rina menatap Frank yang setia menunggunya. Laki-laki itu masih dengan posisinya semula bersandar di sisi meja dan bersekedap menatap Rina lurus dalam diam.
"Bagaimana?" tanya Frank setelah Rina mematikan ponselnya.
Rina menggelengkan kepalanya pelan menjawab pertanyaan laki-laki yang ada di hadapannya itu.
"Sepertinya dia masih latihan. Tidak diangkat teleponku," terang Rina.
"Ya sudah, beri tahu lewat whatsapp saja. Nanti pasti dibaca kalau sudah selesai," saran Frank.
"Iya, niatku juga seperti itu. Memberitahunya lewat whatsapp," jawab Rina. Lantas jemari ramping miliknya bergerak lincah di atas layar ponselnya. Kata demi kata tertulis di sana. Berharap pesan tersebut cepat sampai dan terbaca oleh sang pemilik pesan itu.
Hingga satu jam berlalu, Rina masih belum juga mendapati pesannya terbaca oleh Maura. Apa latihannya masih belum selesai ya?
"Masih belum ada kabar dari teman kamu ya?" tanya Frank membuyarkan cemas yang mulai menghinggapi perasaan Rina.
"Belum. Apa aku langsung ke sana saja, ya? Takutnya dia benar tidak membaca pesanku."
"Ya sudah, aku saja yang ke sana untuk memastikan masih ada latihan atau tidak di kelas balet," sahut Frank berusaha menenangkan.
"Tidak apa-apa, Frank?" Rina bertanya untuk memastikan.
"Iya tidak apa-apa. Siapa nama teman kamu?"
"Maura," jawab Rina. "Terima kasih, Frank? Maaf merepotkan kamu lagi."
"It’s oke. Tidak masalah," balas Frank seraya melempar senyum tipisnya pada Rina. Lantas bergegas keluar ruangan menuju tempat lain. Saat Frank hendak menuju tempat tersebut, dari radius dua meter netranya melihat pintu kelas itu sudah terbuka. Karena khawatir kehilangan orang yang dicarinya, Frank segera mempercepat langkahnya untuk sampai di sana.
Ruangan sudah sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja di dalam. Termasuk pelatihnya.
"Frank? Ada apa? Tumben kamu ke sini?" tanya salah satu pelatih balet yang juga merupakan temannya.
"Ah, tidak ada apa-apa. Ini latihannya sudah selesai?" tanya Frank penasaran. Indra penglihatannya sesekali berkeliling mencari-cari kemungkinan gadis yang bernama Maura.
"Iya, sudah selesai. Kamu sendiri sudah selesai juga?"
"Hari ini aku kosong," balas Frank sekenanya. "Oiya, kamu ada murid yang namanya Maura?"
"Maura?"
"Iya, Maura."
"Maura yang anak baru bukan?"
"Mungkin. Memang anak-anak kamu ada berapa yang bernama Maura?"
"Setahuku hanya ada satu. Dan dia baru bergabung hari ini. Kenapa?"
"Bisa aku ketemu dengan dia?"
"Kamu kenal dengan anak itu?"
"Tidak. Makanya aku minta tolong kamu untuk mempertemukanku dengannya."
"Hei!! Jangan lihatin aku seperti itu. Aku tidak akan berbuat apa-apa padanya," imbuh Frank cepat tidak membiarkan teman wanitanya berpikiran macam-macam tentangnya.
"Lalu, untuk apa kamu bertanya-tanya dan minta dipertemukan dengannya?"
Mendapat cecaran pertanyaan seperti itu, akhirnya Frank menjelaskan maksud dan tujuannya mencari gadis yang bernama Maura. Dan baru dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Bilang dari tadi. Jadi, aku tidak salah paham."
"Ya, kamu juga tidak bertanya apa pun. Mana ada aku cerita kalau kamu tidak bertanya. Terus, anaknya yang mana? Aku benar harus ketemu dengan dia," desak Frank tidak sabar.
"Memangnya ada urusan apa, sampai kamu memaksa mencari anak itu?"
"Adalah. Nanti aku ceritakan. Sekarang anaknya yang mana? Masih di sini, kan, belum pulang?"
"Masih. Dia belum pulang, masih ganti baju. Kamu tunggu saja dulu."
"Oke."
Tak berapa lama orang yang ditunggu-tunggu Frank pun datang. Dari pintu itu Frank melihat seorang gadis yang tingginya semampai dengan rambut hitam lurusnya tergerai melangkah memasuki ruangan. Di pundaknya tersampir sebuah tas berwarna navy.
"Dia anaknya?" tanya Frank memastikan saat teman wanitanya itu mulai beranjak dan berjalan menghampiri gadis tersebut.
"Iya. Dia orangnya," jawabnya singkat.
"Mbak, memanggil saya?" tanya Maura setelah berada di dekat mereka berdua.
"Iya."
"Ada apa ya, Mbak?"
"Kamu yang baru bergabung itu, kan?"
"Iya, Mbak. Bagaimana? Apa ada masalah dengan keanggotaan saya?"
"Tidak ada. Hanya tadi ada pesan dari bagian administrasi, kalau kamu diminta menemui mereka. Coba nanti kamu temui, ya?"
"Oh iya, terima kasih, Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Maura.
"Maura, tunggu!" panggil pelatihnya membuat langkah Maura terhenti. Kemudian memutar kembali tubuhnya menghadap perempuan tersebut.
"Ya, Mbak?"
"Ada yang ingin bertemu denganmu."
"Ketemu dengan saya? Siapa?"