Bab 13 Merasa Tidak Asing
Bab 13 Merasa Tidak Asing
Maura seketika bingung mendengar apa yang pelatihnya katakan. Gadis itu bertanya-tanya siapa yang mencarinya. Pasalnya di tempat itu dia belum mengenal siapa pun. Dan sekarang ada seseorang yang sedang mencarinya. Siapa?
Kemudian dari arah berlawanan, datang seorang laki-laki berpostur tegap dan kekar. Maura sempat tidak berkedip saat melihat sosok yang tengah menghampirinya.
"Hai," sapanya membuyarkan lamunan Maura.
"H-hai," sahut Rina sedikit terbata.
"Maura ya?"
"Ii-iyaa, aku Maura. Ada apa, Kak?"
"Kamu temannya Rina, kan?" tanya Frank semakin membuatnya bingung.
"I-iya, Rina temanku. Kenapa?"
"Kamu pasti belum cek ponsel kamu. Coba sekarang kamu periksa ponselnya," ujar Frank memberitahunya. Lantas Maura pun mengikuti apa yang laki-laki itu katakan. Gadis itu merogoh tasnya dan menemukan ponsel yang dia cari. Kini kedua tangannya tengah memegang erat ponsel tersebut disertai jari jemarinya menari indah di atas layar pipih itu.
"Sudah dibaca?" Frank kembali bersuara menarik perhatian Maura.
"Emm... Rina mengirim pesan padaku," ucap Maura memberitahu Frank.
"Iya, dia sejak tadi mengirimimu pesan agar kamu segera menemuinya setelah selesai latihan."
"Kalau boleh tahu di mana aku bisa menemuinya?"
"Di ruanganku. Dia sudah sejak tadi menunggumu."
"Menungguku?"
"Iya. Dan bisakah kita segera ke sana?" ajak Frank saat Maura belum memberinya jawaban.
"Oh, iya." Maura menjawab ajakan Frank dengan sedikit menyimpan tanya. Ingin dia menanyakan beberapa pertanyaan kepada laki-laki itu, namun dia urungkan. Dia lebih memilih mengikuti langkah Frank di belakang dengan diam.
"Aku kembali ke tempatku dulu, ya? Terima kasih bantuannya," seru Frank kepada teman wanitanya tadi. Dan dibalas dengan posisi ibu jari wanita itu ke atas.
Frank berjalan mendahului Maura dan gadis itu mengikutinya di belakang.
"Kalian teman satu kuliah, ya?" tanya Frank membuat Maura mendongakkan kepala menatapnya. Ternyata laki-laki itu sudah berada di sampingnya, membuat langkah mereka sejajar.
"Oh, iya. Kami teman satu kampus. Ah, bukan... bukan, kami teman satu jurusan," terang Maura.
"Jadi, kalian satu jurusan," ucap Frank seraya mengangguk-anggukan kepalanya. "Lalu, apa jurusan kalian?"
"Ekonomika dan Bisnis," jawab Maura.
"Waahh... calon-calon business woman, ya, ternyata?" kagum Frank dengan pilihan tersebut.
"Yang pantas disebut sebagai calon business woman itu, Rina, Kak."
"Rina?" tanya Frank penasaran. "Kenapa harus Rina? Memangnya kamu tidak?"
"Karena Rina memiliki potensi itu, Kak. Orangtuanya, kan, pengusaha. Jadi, kemungkinan besar dia akan meneruskan itu," terang Maura. Dan Frank membalasnya dengan ber "oh" ria.
"Tidak menyangka, gadis seperti Rina calon penerus bisnis keluarganya," ucap Frank kagum.
"Berarti kalau ingin berteman dengannya harus berhati-hati, ya?"
"Maksud, Kakak?"
"Iya, biasanya orang-orang yang berada dalam golongan seperti itu ruang lingkupnya khusus, kan? Tidak sembarangan orang dapat bergaul dengannya. Yah, kamu pasti tahu karena apa."
"Maksud, Kakak pilih-pilih begitu, ya?"
"Maybe," sahut Frank seraya mengedikkan bahunya.
"Entahlah, Kak. Bisa jadi itu benar. Tapi, selama aku berteman dengannya dia tidak menunjukkan hal itu. Rina bergaul dengan siapa saja. Dia gadis yang baik dan ramah dengan siapa pun. Tidak membedakan golongan."
"Benarkah?"
"Iya. Pasti, Kakak tidak percaya, kan? Aku juga seperti itu awalnya. Sama seperti Kakak."
"Biasanya anak-anak pengusaha selalu mencari teman yang satu golongan, kan?"
"Yang aku tahu juga seperti itu, Kak. Dan ruang lingkup mereka kaum-kaum jetset."
"Apakah Rina juga demikian?"
"Rina? Dia justru jauh dari itu. Kenapa memangnya, Kak? Kakak suka dengan Rina, ya?" goda Maura membuat Frank tertawa renyah.
"Mungkin," sahutnya menggantung yang meninggalkan kernyitan di kening Maura.
"Ayo, masuk," ajak Frank seraya membuka pintu dan mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam. Dibukanya lebar pintu tersebut, membiarkan Maura melewatinya dengan mudah.
Dengan langkah kecilnya, Maura mengikuti apa yang dikatakan Frank. Setelah melewati laki-laki itu, dirinya dapat melihat di mana Rina berada. Dan alangkah terkejutnya gadis itu, saat mendapati kaki Rina yang sudah memakai perban elastis.
"Riiinn... astaga, apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti itu? Bukankah tadi masih baik-baik saja?" Maura mencecar Rina dengan pertanyaan yang bertubi-tubi, membuat Rina meringis mendengarnya.
"Hai, akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu sudah pulang," jawab Rina santai mengabaikan cecaran Maura.
Maura melototkan matanya mendengar ucapan Rina. Bagaimana mungkin pertanyaan yang penuh dengan kekhawatiran tersebut hanya dibalas dengan jawaban seringan itu?
"Jawaban macam apa itu? Aku membutuhkan penjelasan dari apa yang aku lihat sekarang," desak Maura kesal.
"Apa?"
"Itu, bagaimana itu bisa terjadi?" tunjuk Maura tepat di kaki Rina.
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka kecil saja."
"Luka kecil tapi sampai diperban seperti itu? Itu bukan luka kecil, Rina," seru Maura gemas dengan tanggapan Rina.
Sementara itu, Frank yang berada tidak jauh dari mereka hanya memperhatikan interaksi mereka berdua dalam diam. Dalam diamnya, Frank mengamati wajah Rina secara intens. Dia benar-benar penasaran dengan wajah yang dimiliki oleh Rina. Rasanya dia tidak asing dengan wajah itu. Seperti pernah bertemu sebelumnya. Namun, di mana? Kapan?
"Kak!" seru Maura mengembalikan fokus laki-laki itu.
Frank pun mengalihkan pandangannya ke arah Maura. "Ada apa?"
"Jadi, Kakak yang membantu Rina?" tanya Maura yang ditanggapi dengan kernyitan dalamnya Frank. Laki-laki itu memandang Maura dengan tatapan bertanyanya.
"Kaki Rina maksudku. Kakak yang mengobati dia?" ucap Maura menjelaskan.
"Oh, itu. Iya. Aku yang mengobati. Tadi, Rina kakinya terkilir sewaktu berjalan ke sini. Di tepi jalan dekat pintu gerbang." Frank menceritakan kronologis kejadian yang menimpa Rina.
Maura hanya mengangguk-anggukan kepalanya menerima penjelasan Frank. Kemudian tatapannya mengarah kembali kepada Rina. Sedangkan yang ditatap hanya menampilkan ekspresi datar. Hingga Maura mau tidak mau berdecak melihat respon yang diberikan teman kecilnya itu.
"Ckk... kamu pasti tidak memperhatikan arah sewaktu berjalan tadi, kan?" tuduh Maura tepat sasaran.
"Bukan tidak memperhatikan arah, Ra. Tapi, aku tidak tahu kalau jalanan itu benar bergelombang," sangkal Rina tidak ingin kalah.
"Apa bedanya, Ri-na? Itu sama juga kalau kamu tidak berhati-hati. Tidak memperhatikan jalan yang kamu lewati," omel Maura karena ketidakhati-hatian Rina. "Terus, sekarang bagaimana kondisinya? Masih sakit?"
"Masih sedikit terasa. Tapi, sudah tidak seperti tadi di awal terkilir."
"Bisa untuk berjalan?"
"Bisa," jawab Rina seraya menganggukan kepalanya.
"Ya, sudah kalau begitu kita pulang. Aku antar kamu pulang sekarang."
"Aku kembali ke kampus saja, Ra," tolak Rina halus.
Maura yang mendengar penolakan Rina mengernyit heran. "Ke kampus? Untuk apa kamu ke kampus lagi? Bukankah kita sudah tidak ada kuliah lagi?"
Untuk beberapa saat Rina terdiam memikirkan jawaban yang tepat untuk Maura. Haruskah dirinya menceritakan semua yang terjadi padanya selama ini? Tentang dirinya yang terkekang oleh sikap ayahnya?
"Rin," panggil Maura meminta perhatian Rina kembali.
Rina pun tergagap karenanya. "Ya? Ada apa?"
"Kamu ada apa ke kampus lagi? Ada yang ketinggalan atau bagaimana?"
"Ah, tidak ada apa-apa. Aku memang harus kembali ke sana. Pak Rivaldo memintaku menemuinya lagi. Katanya ada yang ingin disampaikan," bohong Rina tidak ingin mengatakan hal sebenarnya.
"Ya, sudah kalau begitu aku antar ke sana lagi," putus Maura yang disertai anggukan kepalanya Rina.