Bab 9 Pertemuan Pertama
Bab 9 Pertemuan Pertama
Rina terduduk begitu saja di trotoar setelah kakinya menginjak batako yang letaknya sudah mencuat keluar dan menyebabkannya terjatuh. Karena posisinya berada di jalur yang dilalui banyak orang akhirnya dia berusaha untuk berdiri dan menyingkir dari sana. Namun, terduduk kembali saat pergelangan kakinya terasa sakit dia gunakan untuk bergerak.
Dengan posisi menunduk, Rina terus memijit pergelangan kakinya untuk meredakan rasa sakit tersebut. Dan sudah beberapa menit berlalu apa yang dilakukannya tidak membuahkan hasil. Kakinya masih saja terasa sakit dan sekarang terlihat mulai membengkak.
"Bagaimana ini?" lirihnya saat mengetahui usahanya sia-sia.
Kini mata Rina mulai berkaca-kaca. Dengan kondisinya seperti itu, tidak ada seorang pun yang membantunya, membuat gadis itu ingin menangis. "Siapa pun tolong," ucapnya pelan lalu cairan bening itu pun akhirnya jatuh dari netra Rina membuat kabur penglihatannya.
"Kamu baik-baik saja?" Tiba-tiba terdengar suara bariton menyapanya.
Rina pun segera menghapus air matanya begitu mendengar suara tersebut dan menolehkan kepalanya untuk melihat si pemilik suara tadi. Seorang laki-laki bertubuh tegap, kekar, dan tinggi menjulang di sampingnya. Bahkan Rina harus mendongakkan kepalanya untuk menatap sosok itu.
Belum sempat Rina membalas pertanyaannya, laki-laki itu sudah melangkahkan kakinya beralih ke hadapan Rina. Lalu berjongkok dan memeriksa kaki jenjang itu. "Kaki kamu terkilir," ucapnya memberitahu. "Ayo!" ajaknya seraya mengulurkan sebelah tangannya.
Melihat gadis di hadapannya hanya memandangnya dalam diam, laki-laki itu melanjutkan ucapannya. "Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu."
Rina tidak tahu apakah ucapan laki-laki itu benar atau hanya trik murahan yang dia gunakan untuk mengambil kesempatan saat dia menerima tawarannya.
"Kaki kamu bisa lebih parah lagi bengkaknya kalau tidak segera ditangani. Dan itu akan terasa lebih sakit saat kamu gunakan untuk berjalan."
Ya, apa yang dikatakan laki-laki itu benar. Sekarang pun kakinya benar-benar terasa sakit jika digunakan untuk bergerak. Apalagi untuk berjalan? Dia tidak bisa membayangkan itu. Tapi, bisakah orang itu dipercaya kalau tidak akan macam-macam padanya?
"Aku bukan jenis orang yang akan memanfaatkan situasi," terang laki-laki itu seakan mengetahui kekhawatiran Rina. "Aku janji tidak akan berbuat kurang ajar padamu."
Mengetahui gadis yang sedang ditolongnya belum memberikan respon yang berarti, laki-laki itu segera menambahi. "Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa menahan KTP milikku. Semua akses mobile-ku menggunakan identitas itu. Jika aku tidak punya KTP aku jelas tidak bisa melakukan apapun."
Setelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, akhirnya Rina menyambut uluran tangan tersebut. Dan dia pun mencoba untuk berdiri. Namun, saat akan menapakkan kakinya, Rina meringis menahan sakit.
"Sakit?" tanya laki-laki itu begitu melihat Rina meringis kesakitan.
Rina mengangguk pelan. Kemudian tanpa diduga tubuh rampingnya di angkat tiba-tiba oleh laki-laki tersebut. "Apa yang kamu lakukan?" pekik Rina tertahan. "Turunkan aku!"
"Maaf, jika sedikit tidak sopan. Tapi, ini cara paling cepat membawa kamu ke Cipta Raga untuk mengobati kaki kamu yang terkilir itu," ucapnya santai.
"Tapi, aku bisa berjalan sendiri," protes Rina.
Laki-laki itu masih berdiri di tempatnya saat membalas ucapan Rina. "Kamu yakin bisa berjalan sendiri dengan kondisi kaki seperti itu?" tantangnya pada Rina.
"Aku bisa melakukannya asal kamu membantuku berjalan. Setidaknya ada yang bisa aku jadikan tumpuan pegangan," balas Rina tak mau kalah.
"Berarti sama saja, kan, apa bedanya kalau aku gendong begini?"
"Itu ...."
"Sudahlah, kamu menurut aja. Lagipula apa salahnya kalau kamu ikuti kata-kataku?" ucapnya tegas lalu berjalan memasuki pelataran Cipta Raga mengabaikan ucapan Rina. "Ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Kita tinggal berjalan sebentar sudah langsung sampai."
"Tapi ...."
"Kenapa lagi? Apa kamu memang orangnya seperti ini? Saat mendapat bantuan dari orang lain justru memberikan banyak komentar? Tidak bisakah kamu cukup dengan mengucapkan kata terima kasih?"
"Bu-bukan seperti itu ...."
"Terus?" Dia mencoba mengajak Rina berbicara. Dirinya memang sengaja melakukan itu untuk membuat gadis yang ada digendongannya terlena. Karena dia tahu gadis itu tidak akan berhenti dan diam untuk tidak memintanya menurunkannya sebelum sampai di dalam gedung. Sedangkan dia, sudah pasti tidak akan menuruti permintaan tersebut.
"Apa yang kamu lakukan ini terlalu menarik perhatian banyak orang."
"Lalu, masalahnya di mana?"
"Apa kamu tidak malu dengan apa yang kamu lakukan ini? Ini memalukan," lirih Rina.
"Memalukan? Tapi, aku tidak merasa melakukan sesuatu di luar batas normal. Untuk apa malu? Dan kamu seharusnya menikmati apa yang aku lakukan padamu."
"Maksud kamu?"
"Banyak gadis berharap ada di posisi kamu seperti ini. Bersyukurlah kamu bisa merasakannya. Karena aku tidak sembarangan melakukan hal seperti ini," ucap Frank membuat wajahnya langsung memerah saat mendengar laki-laki yang tengah menggendongnya mengatakan hal itu. Bagi Rina apa yang dikatakan laki-laki itu seperti ucapan yang ditujukan kepada kekasihnya.
"Sebentar lagi kita sampai di loby." Laki-laki itu membuyarkan lamunan Rina hanya dengan sekali ucap.
"Apa?" teriak Rina panik. "Aku ingin turun. Kamu bisa menurunkan aku di sini atau di mana pun yang penting jangan di lobi."
"Kenapa?"
"Malu dilihat banyak orang kalau sampai masuk ke dalam gedung. Sudah, turunkan di sini saja. Aku jalan sendiri ke dalam," pinta Rina tidak sabar. Namun, sosok itu tidak serta merta menuruti apa yang dikatakan Rina. Dia justru semakin mempercepat langkahnya mengabaikan suara protes itu.
Rina semakin panik saat tubuhnya merasakan gerakan yang lajunya semakin dipercepat. "Apa yang kamu lakukan? Aku mau turun!"
Laki-laki tersebut tidak menghiraukan teriakan Rina. "Kamu benar tidak mau menurunkan aku, ya? Kalau ada yang melihat bagaimana?" gerutu Rina. "Malu dilihat orang."
"Tidak perlu malu. Kamu dari tadi sudah menjadi perhatian semua orang."
"Apa? Kamu pasti bercanda, kan?"
"Lihat saja kalau tidak percaya."
Rina mencoba untuk membuktikan kata-kata itu. Dan benar saja, saat dirinya menolehkan kepalanya melihat sekeliling, indra penglihatannya menangkap banyak pasang mata melihatnya. Seketika itu juga Rina langsung membenamkan wajahnya di dada bidang laki-laki itu.
"Bagaimana? Masih tidak percaya kalau kamu menjadi pusat perhatian orang lain?"
"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Sejak kapan jadi seperti ini?"
"Dari pertama masuk pelataran gedung," jawabnya jujur.
"Apa? Kenapa kamu tega melakukan ini?" keluh Rina kesal.
Lantas dirinya semakin membenamkan wajahnya lebih dalam di dada Frank saat telinganya mendengar suara-suara yang menyapa mereka. Lebih tepatnya menyapa Frank.
"Hai, Frank!" sapa suara lembut wanita menyapa laki-laki itu.
Jadi, nama laki-laki ini Frank?
"Hai," balas Frank.
"Itu siapa Frank yang kamu gendong?" tanya salah seorang teman wanitanya yang pertama menyapanya tadi.
"Oh, dia. Bukan siapa-siapa."
"Mangsa baru?" goda wanita pertama itu lagi.
"Bukan."
"Bukan? Terus? Pacar kamu?"
"Anggap saja begitu," sahut Frank asal.
"Tumben. Kenalkan dia pada kami, Frank, kalau begitu. Jarang-jarang kamu membawa pacar kamu ke sini," timpal suara yang lain. Kali ini suara laki-laki yang terdengar.
"Lain kali aku kenalkan. Aku terburu-buru."
"Terburu-buru kenapa, Frank? Sudah tidak sabar ya?" goda mereka serempak saat Frank terlihat tergesa-gesa meninggalkan mereka.
"Menurut kalian?" balas Frank sengaja membuat mereka semua langsung mengumpatinya.
"Sialan kamu, Frank!!" umpat salah seorang dari mereka. Dan detik berikutnya Frank mendengar umpatan-umpatan lain menyertainya. Lalu gelak tawa mengiringi.
Frank sudah terbiasa dengan itu semua. Semua orang yang ada di sekelilingnya bahkan mengenalnya sebagai laki-laki pemberi harapan palsu yang gemar mematahkanhati perempuan yang menyukainya sebelum status mereka jelas. Dan setelahnya dia akan dianggap sebagai laki-laki brengsek jika mereka tahu hubungan mereka bukan hubungan yang spesial.
"Kita akan ke ruanganku. Nanti kalau sudah sampai sana, kamu bisa marah atau pukul aku, tidak apa-apa," ucap Frank saat dirinya menyadari kalau gadis yang ada dalam gendongannya tidak terdengar suaranya.
Rina masih tidak memberikan respon apapun atas ucapan laki-laki itu. Dirinya hanyamendengarkan apa yang laki-laki tersebut ucapkan. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi rasanya lidahnya kelu. Pikirannya masih melayang di kejadian tadi. Meski dia tidak melihat sekumpulan orang-orang itu, tapi dirinya mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan.
Dia benar-benar malu saat mendengarnya. Entah apa yang akan dia dapat setelah ini jika nanti berpapasan dengan orang-orang yang tadi melihatnya? Apa yang akan dia dengar dari mulut-mulut itu begitu dia keluar dari ruangan laki-laki itu?
Berbagai pikiran buruk pun berkelebat dalam benak Rina. Yang akhirnya membuat gadis itu memutuskan untuk tetap membungkam mulutnya selama dalam gendongan Frank hingga mereka sampai di sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruangan laki-laki itu.
"Jangan dengarkan apa yang mereka katakan tadi," imbuhnya seperti tahu apa yang menjadi kegelisahan Rina.