Bab 8 Hati-Hati Rina !
Bab 8 Hati-Hati Rina !
Rina keluar dari ruangan Rivaldo dengan sedikit tergesa-gesa. Dirinya masih harus turun ke lantai dua lebih dulu sebelum akhirnya menyusul Maura ke Cipta Raga. Saat melihat antrian di depan lift dirinya mendesahkan napas frustasi. Karena banyak yang mengantre untuk menggunakannya. Merasa akan membuang banyak waktu, akhirnya dia memutuskan menggunakan tangga darurat.
Rina pun memutar arah, berlawanan dengan posisinya sekarang. Lalu bergegas meningggalkan tempat tersebut dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Sesekali melirik pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.50 WIB. Dia harus segera sampai di lantai dua untuk melihat pengumuman itu. Napasnya pun sedikit tersengal-sengal karena menuruni anak tangga dengan jumlah yang cukup banyak untuk membakar lemak tubuh.
Sesampainya di lantai dua, langkah Rina masih dilanjutkan menuju ke ruang kelas yang seharusnya saat ini dia gunakan untuk mendapatkan materi baru. Sesampainya di depan ruang tersebut Rina tidak mendapati siapa pun ada di sana. Ruangan itu kosong tidak ada satu pun mahasiswa di dalamnya. Dan di depan pintu itu netranya melihat sebuah pengumuman yang tadi dikatakan oleh Ihatra.
Yang dikatakan Ihatra benar. Laki-laki itu tidak berbohong. Lantas Rinas mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya. Lalu difotonya pengumuman tersebut. Setelah selesai Rina pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas lagi dan memutar tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu. Namun, saat membalikkan badan, tubuhnya tidak sengaja membentur sesuatu di depannya.
Betapa terkejutnya Rina saat mendongakkan kepalanya untuk melihat apa yang telah di tabraknya. Di depannya telah berdiri menjulang seorang laki-laki yang menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikannya.
"Pak Rivaldo?" gumam Rina lirih. Dirinya masih mematung di depan dosen tersebut kala Rivaldo bertanya, "Kamu tidak apa-apa?"
Setelah tersadar dari terkejutnya Rina lantas mundur satu langkah untuk menghindari laki-laki yang menjadi dosennya itu. Namun, lagi-lagi tubuhnya membentur sesuatu. Dan kali ini bisa dipastikan jika benda keras yang bertubrukan dengan tubuhnya adalah pintu ruang kelasnya.
Rivaldo yang melihat kejadian itu reflek mengarahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Rina agar tidak terjatuh. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Rivaldo sekali lagi.
Rina sungguh malu luar biasa dengan apa yang baru saja terjadi. Dirinya kehilangan fokus dan menjadi salah tingkah. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya seperti ada sesuatu yang membekukan tubuhnya. Lalu dengan tergagap Rina menjawab pertanyaan itu. "Saya tii-tidaakk apa-apa, Pak. Maaf ... maaf ... saya tidak sengaja," ucap Rina bertubi-tubi. "Saya tidak tahu kalau bapak ada di belakang saya."
"Sudah. Tidak perlu seperti itu. Saya juga yang salah sudah berdiri di belakang kamu hingga membuatmu terkejut. Tapi, kamu benar tidak apa-apa? Ada yang sakit?"
Rina langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak ada, Pak."
"Syukurlah kalau begitu. Karena tadi kamu cukup keras membentur pintu."
"Iya, Pak. Saya baik-baik saja," bohong Rina. Padahal dirinya merasakan punggungnya sedikit sakit karena terkena handle pintu.
"Tapi, kamu sedang apa di sini? Bukannya kelas kamu kosong?"
"Oh, ini Pak. Saya sedang membaca pengumumannya."
"Saya kira kamu sudah mengetahui kalau kelas hari ini kosong."
"Iya, Pak. Saya sudah tahu. Tadi, Ihatra juga sudah memberi tahu saya. Tapi, ada yang terlupakan. Jadi, saya kembali ke sini untuk memastikan lagi," terang Rina menjelaskan. "Bapak sendiri ada apa ke sini?"
Seketika itu Rina menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi gadis itu mempermalukan dirinya di depan Rivaldo. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak dia ajukan. Untuk apalagi dosennya berada di ruang kelas jika bukan untuk proses pembelajarannya?
"Bodoh ... bodoh ...." Rina merutuki kebodohannya sendiri.
"Sebentar lagi saya ada kelas, Rina. Dan ruangan ini yang menjadi kelas saya," jawab Rivaldo terkekeh. Entah kenapa dia melihat Rina yang salah tingkah saat berhadapan dengannya kali ini lebih menarik perhatiannya. Berbeda dari saat tadi mereka berada di ruangannya.
"Oh ... bapak ada kelas ya? Kalau begitu, silakan Pak. Saya permisi," pamit Rina terburu-buru tanpa menunggu Rivaldo membalas ucapannya.
"Hati-hati, Rina jangan sampai membentur lagi," seru Rivaldo setelah Rina meninggalkannya yang berjalan dengan tergesa-gesa. Lalu membuka ruangan itu begitu Rina menghilang dari penglihatannya.
"Duuhh!! Kenapa bisa seperti itu sih? Ishh ... memalukan," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya berharap kilasan kejadian tadi hilang dari isi kepalanya.
Kemudian tidak sengaja dia melihat jam dinding yang menempel di dinding lantai dasar gedung fakultasnya. Rina pun kembali dibuat terkejut dengan penglihatannya itu. Pasalnya jarum jam tersebut sudah menunjukkan pukul 13.05 WIB. Artinya dia harus cepat-cepat pergi ke Cipta Raga.
Jarak dari kampusnya menuju Cipta Raga tidaklah jauh. Cukup berjalan kaki sebentar sudah sampai. Sekitar lima belas menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi, akan jauh lebih cepat jika menggunakan kendaraan.
Rina sebenarnya ingin menggunakan kendaraan. Agar bisa sampai di sana lebih cepat. Namun, saat ini dia tidak bisa menggunakan kendaraan apapun. Karena jika dia memesan ojek atau taksi online akan membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu. Dan kemungkinan Wira mengetahui keberadaannya terbuka lebar. Sebab semua aplikasi online yang dia pakai menggunakan pembayaran kartu kredit yang berasal dari sang ayah. Rina tidak ingin mengambil risiko itu hingga akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke sana.
Rina datang ke Cipta Raga selain menyusul Maura juga ingin berlatih di sana lagi. Dia akan menggunakan sisa waktu luangnya sebaik mungkin sebelum ayahnya menjemput.
Dengan sisa-sisa waktu yang semakin menipis, Rina semakin mempercepat langkahnya. Sesekali dengan berlari-lari kecil untuk memperpendek waktu yang dia miliki. Dia tidak ingin sang ayah melihatnya ada di tempat itu. Dan apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memacu adrenalinnya.
Saat sedang tergesa-gesa seperti itu, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Awalnya dia berusaha untuk mengabaikan telepon tersebut. Namun, benda pipih tersebut kembali berdering setelah sempat berhenti beberapa saat.
Rina pun menjadi penasaran, siapa kira-kira yang meneleponnya hingga berkali-kali tanpa henti. Dan untuk menghilangkan rasa penasaran itu, akhirnya dia memutuskan mengangkat panggilan tersebut. Dia takut jika yang menelepon tadi adalah ayahnya. Jika sampai benar itu sang ayah yang telepon dan dia ketahuan tidak ada di kampus saat ayahnya menjemput, bisa dipastikan dia akan mendapatkan hukumannya.
Diraihnya dengan hati-hati ponsel itu dari dalam tas yang dipakainya. Setelah benda pipih itu berada di tangannya, Rina langsung mengetahui siapa yang meneleponnya. Hatinya lega luar biasa karena itu bukan sang ayah yang menghubunginya, melainkan kakanya -Bintang- yang telepon. Kemudian dengan sekali geser dirinya sudah tersambung dengan seseorang di seberang sana.
"Hallo," sapa Rina masih dengan langkah tergesa-gesanya.
"Ya, Dek. Kamu sedang apa, kuliah?" tanya Bintang memastikan.
"Tidak. Kuliahku sudah selesai dari tadi."
"Lalu, sekarang kamu di mana? Di rumah?"
"Aku masih di luar. Kenapa Mas?"
"Ah, tidak apa-apa. Hanya teringat kamu tentang semalam. Kamu sudah tidak apa-apa sekarang? Merasa lebih baik?"
"Oh, itu. Iya. Aku sudah tidak apa-apa. Sudah lebih baik sekarang. Ini aku masih di perjalanan ke Cipta Raga."
"Cipta Raga tempat kamu berlatih balet dulu?"
"Iya, benar. Mas Bintang masih ingat?"
"Masih, Dek. Dulu aku yang antar jemput kamu ke sana. Jadi, kamu memutuskan untuk melanjutkan balet lagi?"
"Seperti yang Mas Bintang katakan semalam. Aku harus mempertahankan impianku, kan? Jadi, aku putuskan mulai hari ini akan kembali menekuni apa yang sempat terhenti itu, Mas."
"Bagus kalau begitu. Ikut senang mendengarnya. Tapi, kamu ke sana dengan siapa?"
"Sendirian," jawab Rina pendek.
"Sendirian? Naik apa?"
"Iya sendiri. Jalan kaki, Mas."
Bintang terkejut mendengar apa yang dikatakan Rina. Adiknya jalan kaki menuju gedung Cipta Raga? Bukankah jarak antara kampus dan studionya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, dan dicuaca seterik ini?
"Kenapa tidak pakai taksi saja? Kan panas, Dek?" protes Bintang.
"Tidakk apa-apa, Mas. Dekat ini."
"Dekat bagaimana? Sudah begitu cuaca masih panas-panasnya, kan?"
"Iya, tapi tidak apa-apa. Tidak sering-sering juga kan, Mas?"
"Lalu, kamu ke Cipta Raga Papa tahu?"
"Apa, Mas?" Rina sedikit berteriak saat Bintang mengajukan pertanyaan kepadanya. Karena suaranya tenggelam oleh suara bising kendaraan yang berlalu lalang. "Aku tidak dengar, Mas. Di sini bising. Ramai kendaraan lewat."
"Ya sudah kamu lanjutkan saja dulu. Nanti Mas telepon lagi kalau sudah sampai."
Saat akan membalas ucapan Bintang, Rina tidak benar-benar memperhatikan jalannya. Dia tidak melihat jika trotoar yang diinjaknya tidak rata karena ada bagian batako yang menyembul ke atas dan menyebabkannya jatuh. "Aaduuh!!"
Suara mengaduh yang berasal dari ujung teleponnya itu terdengar di telinga Bintang. Bintang pun cemas mendengar teriakan tersebut. "Dek!! Kamu kenapa? Hallo ...." Dan panggilan pun terputus begitu saja sebelum Bintang mendapatkan jawabannya.