Bab 7 Dia yang Memintaku Datang
Bab 7 Dia yang Memintaku Datang
Sepeninggalnya Maura, Rina segera pergi menemui Rivaldo di kantornya. Dengan langkah ringannya gadis itu berjalan menuju ruangan sang dosen. Di sana dia melihat, banyak mahasiswa sudah berkumpul. Sepertinya mahasiswa tingkat atas. Karena dari penampilan mereka sudah memperlihatkan status tersebut.
Rina menganggukkan kepalanya saat melewati mereka dan mereka pun membalasnya dengan anggukan juga.
"Mau bertemu dengan Pak Rivaldo ya?" tanya salah seorang dari mereka saat Rina berdiri di dekatnya.
"Iya, Mbak. Pak Rivaldo ada?"
"Ada. Tapi, sepertinya sedang ada bimbingan."
"Oh, begitu."
"Duduklah," pinta gadis itu pada Rina setelah menggeser tubuhnya membuat ruang kosong di samping Rina.
"Oh, terima kasih," ucap Rina seraya duduk di sebelah gadis tersebut.
"Kamu ingin bimbingan juga?"
Rina menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tadi, Pak Rivaldo memintaku datang."
"Dia meminta kamu datang?"
"Iya, Mbak. Kenapa?"
"Kamu membuat masalah dengannya?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja diminta datang."
"Coba diingat-ingat lagi, kamu pernah melakukan kesalahan apa padanya. Pak Rivaldo itu jarang memanggil mahasiswanya selain untuk bimbingan. Kalau yang dipanggil khusus itu berarti yang bermasalah dengannya," terang gadis itu membuat Rina semakin menciut nyalinya untuk menghadapi dosennya.
"Benarkah itu?"
"Iya. Coba saja kamu cari tahu informasi tersebut. Eh, aku pergi dulu ya? Temanku sudah selesai bimbingan."
"Oh, iya. Terima kasih informasinya."
"Iya, sama-sama. Semoga tidak ada apa-apa ya?"
"Iya, Mbak. Semoga," harap Rina.
Kini hanya tersisa dirinya dan beberapa mahasiswa lainnya sedang menunggu giliran untuk bisa bertemu dengan dosen masing-masing. Cukup lama Rina menunggu. Hampir satu jam dia berada di luar ruangan. Hingga akhirnya pintu terkuak dari dalam dan menampilkan wajah lemas dari mahasiswa yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
"Apa yang terjadi? Sepertinya pertemuannya tidak berjalan dengan baik," batin Rina saat melihat raut muka sang mahasiswa itu.
Setelah mahasiswa tadi pergi menjauh dari tempatnya menunggu, Rina bergegas menuju ruangan Rivaldo. Namun, saat akan mengetuk pintu tersebut tiba-tiba pintu itu terbuka lalu menampilkan sosok Rivaldo dengan penampilan yang menawan. Tetapi tidak bagi Rina. Baginya, laki-laki tersebut adalah jelmaan sang ayah yang otoriter. Tidak ingin terbantahkan.
Tangan Rina masih menggantung di udara ketika suara Rivaldo menginterupsinya.
"Ada apa kamu kemari?" tanya Rivaldo dingin.
Rina seketika itu mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan Rivaldo. Maksudnya apa dia bertanya seperti itu? Bukannya dia yang memintanya datang ke sini?
"Bukankah bapak yang meminta saya untuk datang ke sini?" jawab Rina apa adanya.
"Meminta kamu datang? Saya tidak merasa meminta kamu datang kemari," ucap Rivaldo bersikeras.
"Bapak tadi meminta Maura dan Ihatra menyampaikan pesan kepada saya agar saya menemui bapak setelah kuliah selesai," jelas Rina.
"Oh, kamu yang namanya Rina Pramudya?" Rivaldo seperti baru tersadar dengan apa yang dia mintakan pada kedua mahasiswanya tadi.
"Iya, Pak. Itu saya."
"Ya sudah kamu masuk dulu di dalam. Tunggu sebentar. Saya keluar dulu," pinta Rivaldo lalu meninggalkan Rina setelah gadis itu sudah masuk ke dalam ruangannya. Di dalam, Rina menunggu dengan duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan meja Rivaldo. Netranya meneliti setiap sudut ruangan.
"Banyak sekali penghargaan-penghargaan yang diterimanya?" gumam Rina.
Dan setelah lima belas menit menunggu akhirnya orang yang ditunggu-tunggu sedari tadi masuk dengan membawa sejumlah dokumen di tangannya.
"Maaf, ya, sudah membuatmu menunggu lama," ucap Rivaldo setelah meletakkan dokumen-dokumen itu di atas mejanya.
"Oke. Saya langsung saja. Jadi, saya memanggil kamu ke sini karena saya ingin meminta bantuan kamu. Saat ini pihak kampus sedang mencari tempat untuk diajak bekerjasama guna keperluan akademika. Dan kampus sudah menunjuk beberapa perusahaan. Salah satunya adalah Pramudya Emas. Bisakah kami meminta tolong untuk bisa bertemu dengan direktur utamanya?"
"Saya tidak tahu apakah saya bisa berbicara langsung dengan direktur utamanya, Pak. Tetapi, akan saya usahakan. Untuk deadlinenya kapan, Pak? Apakah dalam waktu dekat ini?"
"Sebenarnya iya. Karena untuk kepentingan mahasiswa yang akan magang di beberapa tempat."
"Baik, Pak kalau begitu. Akan saya usahakan dalam minggu ini bapak sudah mendapatkan akses tersebut. Tetapi saya tidak bisa menjanjikan apapun untuk keberhasilannya."
Rivaldo pun tersenyum mendengar jawaban Rina. "Baiklah. Tidak masalah dengan hasil akhirnya. Yang terpenting kami mendapatkan celah lebih dulu untuk masuk ke sana. Sisanya biarkan pihak kampus yang menangani."
"Terima kasih Rina," ucap Rivaldo tulus.
Rina pun menganggukkan kepalanya dan berkata, "Sama-sama, Pak."
"Oiya, Pak. Kalau boleh tahu dari mana bapak mengetahui kalau saya memiliki hubungan dengan keluarga Pramudya?" tanya Rina yang sedari tadi menahan pertanyaan tersebut..
"Saya membaca biodata kamu. Saya kira nama yang tersemat dalam nama lengkap kamu adalah suatu kebetulan. Namun, setelah saya mencocokkan data kamu ternyata kamu adalah putri dari Wira Pramudya pemilik Pramudya Emas. Dan itu artinya kamu juga adiknya Bintang bukan?"
"Bapak mengenal kakak saya?"
"Ya. Kami adalah teman satu angkatan di kampus ini. Lalu apa kabarnya dia sekarang? Sudah lama saya tidak pernah mendapat kabarnya sejak saya lulus kuliah dan meneruskan magister saya di Jerman."
Jadi, dosenku adalah temannya Mas Bintang? Bagaimana bisa Mas Bintang punya teman seperti dia?
"Kabar kakak saya baik, Pak."
"Syukurlah kalau begitu. Apa jangan-jangan yang menjadi direktur utamanya saat ini adalah dia?"
"Oh, bukan Pak. Mas Bintang belum berada di posisi itu. Dia masih berada di kota lain."
"Jadi, dia benar-benar ingin memulai segalanya dari nol ya? Saya kira setelah lulus dia akan mengisi langsung posisi penting di Pramudya Emas. Ternyata anak itu benar menepati kata-katanya."
Rina hanya tersenyum samar mendengar kalimat dosennya tersebut. Apakah dia tidak tahu kalau kakaknya tidak pernah melanjutkan kuliahnya dan justru memilih meninggalkan rumah mereka karena berusaha keluar dari kekangan sang ayah?
Rina kemudian melirik pergelangan tangan kirinya. Jam satu kurang. Dia harus segera bergegas meninggalkan ruangan tersebut dan menyusul Maura di gedung Cipta Raga. Dirinya tidak ingin melewatkan kesempatan yang jarang dia dapatkan seperti hari ini.
"Maaf, Pak. Apakah ini sudah selesai? Jika sudah saya izin undur diri," ucap Rina menyela karena Rivaldo tidak menunjukkan tanda-tanda akan melanjutkan pembicaraan mereka lagi. Laki-laki itu justru terlihat sedang menerawang sesuatu.
Menyadari dirinya tengah melamun, Rivaldo sedikit tergagap mendapati pertanyaan dari gadis yang ada di hadapannya itu.
"Oh, iya sudah. Silakan kamu keluar kalau begitu. Nanti kalau kamu membutuhkan sesuatu bisa hubungi saya di nomor ini," terang Rivaldo seraya menyodorkan sebuah kartu nama pada Rina. Lalu gadis itu pun menerima dan memasukkannya ke dalam tas yang dia pakai.
"Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi," ucap Rina kemudian. Lantas berbalik meninggalkan ruangan tersebut.
Di dalam, senyum Rivaldo mengembang sempurna. Jadi, gadis itu adiknya Bintang? Kenapa Bintang tidak pernah cerita jika dia memiliki adik secantik itu? Seandainya aku mendekati dia apa reaksi kamu Bintang? Akankah kamu muncul lagi di hadapanku setelah sekian lama kamu menghilang tanpa jejak?
Ya, Rivaldo dan Bintang adalah teman sekaligus rival dalam segala hal. Terutama untuk hal asmara. Mereka pernah memperebutkan gadis yang sama hingga berujung kepada pertengkaran keduanya. Dan menyebabkan hubungan pertemanan mereka retak.
Rivaldo menyandarkan punggungnya di punggung kursi yang tengah di dudukinya dengan kedua tangannya saling menangkup. "Sepertinya menarik kalau aku bisa mendapatkan perhatian gadis itu?"