Bab 6 Kesempatan Emas
Bab 6 Kesempatan Emas
Keesokannya, Rina melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bertemu dengan kedua orang tuanya di meja makan untuk sarapan. Selesai sarapan, Rina akan menuju lebih dulu ke dalam mobil dan menunggu ayahnya datang.
Kehidupannya benar-benar monoton dan datar. Sama sekali tidak memiliki warna seperti kebanyakan gadis lainnya. Di mana mereka bisa melakukan apa saja dan bersenang-senang menikmati masa muda mereka.
Ya, dia ingin merasakan hal itu. Menghirup udara luar sebebas mungkin. Namun, itu tidak akan pernah terjadi selama dirinya masih memiliki darah Pramudya.
"Hei!" Seseorang menepuk bahunya dari belakang saat dirinya tengah duduk di taman kampus dekat dengan gedung fakultasnya. Merasakan tepukan itu Rina pun menolehkan kepalanya mencari pemilik tangan yang mampir di bahunya.
"Oh, kamu Ra. Dari mana?" tanyanya setelah Maura duduk tepat di hadapan Rina.
"Dari kantornya, Pak Rivaldo," jawab Maura tidak bersemangat.
"Pak Rivaldo? Kenapa? Kamu ada masalah sama dia?"
"Tadi, dia tiba-tiba mintaku datang ke kantornya."
"Lalu?"
"Dia mencari mahasiswa bernama Rina Pramudya."
"Lho, itu kan, aku!" sahut Rina sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Maka dari itu aku sekarang kesal dengannya. Hanya masalah seperti itu saja sampai memintaku datang ke kantor. Bertanya langsung sewaktu ketemu, kan, bisa."
"Mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, Ra."
"Benar juga. Tapi rasanya seperti ada masalah penting sampai dipanggil ke ruangan dosen."
"Terus, kenapa dia mencari tahu tentang aku lewat kamu?"
"Oh, iya. Dia memintaku untuk menyampaikannya padamu kalau nanti, selesai kuliah ini kamu diminta datang ke kantornya nemuin dia," terang Maura yang membuat Rina semakin heran.
"Ada apa ya, Ra? Kenapa aku diminta datang ke sana?"
Maura mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku tidak tahu. Dia tidak bilang apa-apa selain itu."
Rina masih berpikir keras dengan pesan yang disampaikan Maura kepadanya. Rasanya dia tidak melakukan kesalahan apapun terhadap dosen itu kecuali kejadian kemarin. Mungkinkah karena itu?
"Sudah, kamu temui saja dia di kantornnya selesai kuliah nanti," ucap Maura mengembalikan fokus Rina.
"Kamu temani ya?" pinta Rina padanya.
"Eh? Maaf, Rin. Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Aku ada latihan balet."
"Latihan balet?" Rina terkejut dengan ucapan Maura. Dirinya tidak menyangka jika Maura masih menekuni kegiatan itu.
"Iya."
"Di mana?" tanya Rina penasaran.
"Di tempat kita latihan dulu itu, Cipta Raga. Kamu masih latihan di sana juga, kan?" tanya Maura yang hanya ditanggapi Rina dengan gumaman tidak jelasnya. Pasalnya dia tidak menceritakan apapun tentang masalah yang dihadapinya pada gadis berambut lurus itu.
"Kemarin baru daftar. Dan ini hari pertama aku masuk."
"Oh, begitu."
"Nanti kamu menyusul saja kalau sudah selesai dengan Pak Rivaldo."
"Iya, nanti aku nyusul kamu di sana kalau begitu."
"Kenapa tidak di perpustakaan saja kamu bacanya? Di sana lebih tenang," tanya Maura saat Rina masih saja sibuk dengan buku yang dibacanya.
Rina hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan tersebut.
"Enak di sini, Ra. Adem."
"Di perpustakaan juga adem bukan?"
"Iya, adem. Tapi, adem AC."
"Ah, iya benar. Tapi, kamu memangnya tidak terganggu? Di sini bising, Rin. Banyak yang lewat."
"Tidak apa-apa. Asal tidak di dalam mobil saja. Kalau di mobil aku tidak bisa."
"Pusing ya?"
"Iya. Makanya kalau sedang perjalanan entah ke mana aku tidak pernah memegang hp."
"Pantas dulu kamu suka lama balas kalau sedang di perjalanan."
"Ya, begitulah. Karena efeknya itu tidak enak."
"Iya, apa yang kamu katakan itu benar. Kita sama permasalahannya," timpal Maura membenarkan. "Oiya, Rin. Aku sempat mendengar dari orang-orang kalau kakak kamu, Mas Bintang juga kuliah di sini?"
"Kenapa memangnya?"
"Beritanya benar kalau kakak kamu kena DO?" tanya Maura yang membuat Rina menghentikan kegiatannya.
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Maura akhirnya Rina menutup buku yang sedang dia baca. Lantas menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Maura sendiri.
"Apa yang kamu dengar tentang Mas Bintang di luaran sana?" Rina bertanya dengan nada sedikit ketus.
Maura yang mendapati Rina berubah sikap menjadi tidak enak hati. Seharusnya dia tidak menanyakan hal yang sensitif seperti itu kepada Rina. Pasti Rina mengira jika dirinya ingin tahu urusan keluarganya.
"Eengg ... itu ...."
"Sudah, katakan saja tidak apa-apa. Apa yang sudah kamu dengar tentang dia?"
"Itu ...."
"Kalau benar aku akan membenarkan. Tapi, kalau salah jelas itu fitnah."
"Tapi, kamu tidak akan marah padaku, kan, Rin?"
"Marah? Untuk apa?"
"Ya, karena aku sudah menyinggung tentang keluarga kamu. Apalagi Papa kamu cukup terkenal di sini."
Rina tersenyum kecut mendengarnya.
"Tidak ada hubungannya dengan itu, Ra. Jadi, kamu bisa ceritakan seperti apa berita yang kamu dengar itu?"
Atas desakan Rina akhirnya Maura menceritakan apa yang sudah dia dengar tentang desas-desus itu. Sedangkan Rina menyimaknya dengan perasaan yang tidak keruan.
"Jadi, orang-orang mengatakan seperti itu?"
"Iya, yang aku dengar seperti itu. Kakak kamu di DO karena dia sering bolos kuliah karena sibuk menyanyi di kafe-kafe. Terus, Papa kamu mengetahuinya. Dan dia di usir. Malah katanya sekarang dia menjadi gembel. Benar tidak berita itu?"
"Maksud kamu apa dengan dia di usir dan menjadi gembel?"
"Entahlah, Rin. Aku hanya mendengarnya sekilas. Mereka bilang kalau Mas Bintang kesulitan ekonomi di tempatnya sana."
Rina mengatupkan rahangnya kuat menahan gejolak itu. Rasanya sungguh menyesakkan saat mendengar orang lain mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang kondisi kakaknya saat ini. Kakaknya tidak mungkin dalam kondisi seperti itu.
"Itu tidak benar, Ra. Mas Bintang tidak di usir. Dia memang tidak di rumah karena ada di luar kota," jawab Rina berbohong. Dia tidak akan menceritakan itu pada Maura tentang kisah kakaknya tersebut.
"Keadaan dia juga baik-baik saja di sana. Dia tidak kesulitan ekonomi." Untuk bagian ini, Rina memang tidak mengetahui apa pun. Karena Bintang selalu mengatakan jika dia baik-baik saja di sana. Tidak ada masalah yang terjadi.
"Jadi, berita itu tidak benar ya?"
"Iya. Tidak benar."
"Syukurlah kalau begitu. Ikut lega sekarang. Tidak mungkin, kan, Papa kamu membiarkan anaknya pergi begitu saja. Betul tidak? Meskipun pergi pasti tetap dipantau. Iya, kan?"
"Iya," jawab Rina dengan gumaman yang tidak jelas.
Kemudian suara derap langkah terdengar menghampiri Rina dan Maura, "Rin, kamu dicari Pak Rivaldo. Kamu diminta datang ke kantornya sekarang," ucap salah seorang teman laki-lakinya.
"Aku? Sekarang?" balas Rina terkejut dengan pesan yang disampaikan temannya itu.
"Iya. Sekarang. Sudah ditunggu di ruangannya."
"Tapi, setelah ini kita ada kuliah, Tra?" protes Rina tidak terima.
"Kuliah apa? Kelas kosong. Tadi, Pak Rivaldo baru aja menempel pengumuman. Kuliah di ganti hari Sabtu."
"Benarkah?" seru Maura tidak percaya.
"Iya. Kalau tidak percaya lihat saja di depan pintu kelas kita."
"Betul diganti hari Sabtu, Tra?"
"Iya, Ra. Menyebalkan! Mengganti hari begitu saja. Aku sudah ada janji hari Sabtu ini. Terpaksa dibatalkan kalau begini caranya," gerutu Ihatra kesal.
"Ya sudah ya, aku duluan. Jangan lupa, Rin. Kamu ditunggu sekarang juga sama Pak Rivaldo," ucapnya sebelum meninggalkan keduanya.
"Iya. Terima kasih, Tra!" seru Rina saat laki-laki itu sudah berjalan meninggalkan mereka. Ihatra pun melambaikan tangannya membalas seruan Rina.
"Tidak ada liburnya kalau begitu," keluh Maura lemas.
"Ya, bagaimana lagi. Mau bolos?"
"Bolos? Belum apa-apa sudah ingin bolos saja. Nanti ke depannya susah kalau ingin meminta izin tidak masuk."
"Berarti berangkat, kan, Sabtu?"
"Ya mau tidak mau. Eh, tapi tadi jam berapa?"
Rina mengedikkan bahunya. "Entahlah. Tadi tidak diberi tahu. Lihat saja di papan pengumuman."
"Kamu lihatkan sekalian ya, Rin? Kamu ke tempatnya Pak Rivaldo pasti melewati kelas kita. Nah, jangan lupa mampir sebentar," bujuk Maura pada Rina disertai dengan cengiran memohonnya.
"Kenapa tidak sekalian ikut saja?"
"Aku ke Cipta Raga, Rina sayang. Mumpung kelas kosong aku ingin datang lebih awal," jawab Maura bersemangat.
"Oohh, ya sudah kalau begitu. Aku lihatkan sekalian nanti. Kamu ingin pergi sekarang?"
"Iya, sekarang saja. Kamu juga sudah di tunggu Pak Rivaldo, kan?"
"Iya."
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Tidak apa-apa, kan, kamu sendirian?" tanya Maura memastikan.
"Tidak apa-apa," jawab Rina singkat. "Kalau begitu hati-hati, Ra."
"Iya. Terima kasih, Rin," ucap Maura tulus.
"Iya, sama-sama," sahut Rina membalas ucapan Maura dan membiarkan gadis tersebut beranjak dari tempatnya menuju gedung Cipta Raga tempat mereka berlatih balet dulu. Namun, Maura tidak pernah tahu jika Rina sudah tidak lagi berlatih di sana semenjak lulus SMA. Yang Maura tahu Rina adalah anggota tetap dari kelas tersebut hingga saat ini. Karena dulu Rina pernah berkata akan terus menekuni balet hingga berhasil menjadi seorang balerina profesional.