Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Dialah Penyemangatku

Bab 5 Dialah Penyemangatku

Apa yang disampaikan Rina tidak pernah diduga oleh Bintang. Benarkah yang dikatakan Rina? Rina akan meninggalkan balet? Tapi, kenapa? Bukankah itu impian terbesar gadis itu?

Pasti telah terjadi sesuatu yang menyebabkan gadis tersebut mengambil keputusan yang salah.

"Dek, kamu pasti bercanda, kan? Itu tidak lucu."

"Aku tidak bercanda Mas," jawab Rina lirih.

"Kenapa? Apa karena Papa?" tebak Bintang tepat sasaran.

"Iya, Papa tidak memberikan izin."

Bintang diam menyimak apa yang Rina katakan. Dia tidak akan menyela pembicaraan gadis itu hingga akhir cerita. Karena dirinya tahu jika Rina membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan semua keluh kesahnya. Dan itu hanya di dapat dari dirinya.

"Papa marah, Mas. Tadi, aku ketahuan Papa sedang menonton video balet. Dan sekarang laptop aku disita Papa," cerita Rina tanpa menambahi jika papanya akan mengirimnya ke rumah pondok.

"Kamu yakin akan meninggalkan itu? Bukankah menjadi balerina adalah impian kamu dari dulu? Tidakkah kamu ingat, di mana kamu selalu berapi-api menceritakan mimpi besar kamu padaku?" cerca Bintang tidak ingin Rina putus di tengah jalan menggapai impiannya.

"...."

"Bahkan kamu ingin mempunyai studio balet sendiri. Kenapa hanya karena larangan Papa kamu menjadi hilang semangat? Ayolah, Dek, jangan patah semangat hanya karena Papa. Impian kamu jauh lebih besar daripada menuruti keinginannya."

"Tapi, Mas ...."

"Tapi, apalagi?"

"Papa akan marah besar kalau tahu aku terus mempertahankan itu."

"Jangan pedulikan Papa. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Kamu ingin mengorbankan diri kamu untuk sesuatu yang tidak pernah kamu sukai?"

"Lalu bagaimana aku melakukan itu tanpa ketahuan Papa?" tanya Rina frustasi.

"Kamu bisa belajar disela-sela waktu kamu kuliah. Dan jangan pernah menunjukkan itu di rumah agar Papa tidak tahu. Kamu paham yang aku maksud?"

"Maksud Mas Bintang aku harus melakukan itu sembunyi-sembunyi?"

"Benar. Kamu harus melakukannya seperti itu. Gunakan waktu yang ada sebaik mungkin. Sesuaikan jadwal yang kamu miliki."

Rina mencerna semua kalimat-kalimat yang Bintang katakan. Menggunakan waktu yang dia punya? Artinya dia akan berkejaran dengan sisa waktu itu. Apakah itu akan efektif untuk latihannya nanti? Waktu yang dimilikinya tidaklah cukup lama. Karena jeda waktu antara kuliah satu dengan kuliah yang lain tidak cukup panjang jaraknya.

"Aku akan terus mendukung kamu, Dek," ucap Bintang memberikan dukungannya.

"Tapi, Mas. Waktu yang aku miliki tidak akan cukup maksimal untuk berlatih. Jeda kuliahku hanya sekitar satu jam. Dan jika kuliah sudah selesai orang suruhan Papa pasti sudah menunggu sebelum aku keluar kelas. Bagaimana aku bisa melakukan itu tanpa ketahuan Papa?"

"Papa tahu jadwal kamu?"

"Iya. Papa tahu," jawab Rina lemas. "Papa mengawasi semua kegiatanku."

Benarkah itu? Ayahnya memantau semua jadwal kegiatan adiknya? Seprotektif itukah ayahnya hingga tidak memberikan kebebasan pada Rina demi mewujudkan ambisinya?

"Jadi, Papa sudah menentukan semua kegiatan kamu dan melarang apa yang menjadi keinginan kamu, Dek?"

"Iya, Mas."

"Sudah berapa lama Papa mengekang kebebasan kamu?" tanya Bintang geram.

"Semenjak masuk kuliah ini Papa berubah lebih ketat peraturannya. Dulu waktu SMA Papa masih memberikan izin ikut kelas balet. Tapi, sekarang begitu aku kuliah Papa benar-benar melarang keras, Mas. Aku tidak bisa ikut kelas balet lagi."

Dia tahu jika ayahnya itu sangat keras tapi dirinya tidak menyangka jika sang ayah sanggup melakukan itu pada adiknya. Rina sama sekali tidak dibiarkan memiliki kebebasan apapun selain harus tunduk dengan pilihan sang ayah. Seandainya dirinya memiliki cukup biaya, dia ingin Rina ikut bersamanya. Namun, untuk saat ini dirinya masih belum mampu untuk melakukan hal itu. Yang bisa Bintang lakukan hanyalah dengan memberi dukungan pada Rina.

"Seketat apapun pengawasan Papa, jangan ragu Dek. Sayang kalau harus kamu tinggalkan. Perjuangkan mimpi kamu itu. Apapun yang terjadi. Jangan menyerah. Oke?"

"...."

"Meski tidak ada di dekatmu, aku akan terus mendukung kamu. Aku ingin melihat kamu meraih impian itu. Bukan meninggalkannya."

"Aku akan pikirkan caranya kalau begitu," putus Rina akhirnya mengikuti saran Bintang untuk terus bertahan dengan impian yang dia milliki.

Bintang pun tersenyum senang mendengar ucapan Rina. Meski sang adik tidak dapat melihat ekspresinya tersebut. "Aku senang mendengarnya."

"Terus, kapan Mas Bintang akan pulang? Sudah tiga tahun Mas meninggalkan rumah. Mas sama sekali tidak ingin pulang? Aku kangen," tanya Rina membuat Bintang mendesahkan napasnya pelan.

"Nanti ya? Aku pasti datang untuk menemui kamu."

"Atau aku saja yang datang ke tempat Mas Bintang? Aku akan datang kalau Mas kasih tahu ada di mana sekarang," ucap Rina memberikan penawaran pada Bintang.

"Tidak perlu, Dek. Kamu tidak perlu datang ke sini. Nanti Mas yang akan datang. Memang, kamu ingin dapat hukuman dari Papa kalau kamu berani pergi dari rumah?"

"Tapi, aku ingin ketemu Mas Bintang."

"Sabar ya? Banyak-banyak berdoa untukku," pinta Bintang.

"Iya. Aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga Mas Bintang menjadi musisi handal dan sukses, ya?"

"Terima kasih, Dek. Hanya kamu yang menjadi penyemangatku. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Besok kita sambung lagi. Sudah malam kamu istirahat."

"Iya. Mas Bintang juga." Kemudian sambungan telepon pun terputus karena Bintang telah mematikannya.

Rina menghela napasnya panjang. Berbicara dengan Bintang adalah salah satu hal yang mampu membuatnya bersemangat lagi untuk terus mempertahankan impiannya itu. Hanya Bintanglah tempatnya berkeluh kesah. Satu-satunya orang yang mendukung apa yang menjadi cita-citanya. Bintang akan selalu ada untuknya.

Seandainya Bintang ada di sini dia tidak akan sendirian menghadapi ayahnya yang keras itu. Sekarang tidak ada pilihan lain selain dirinya harus menghadapinya seorang diri. Tanpa satu orang pun yang akan membantunya. Meskipun ada sang mama, itu tidak akan cukup membantu. Karena mamanya akan selalu memihak sang ayah, suaminya.

Kini, Rina berjalan menuju kamar mandi. Berdiri di hadapan wastafel. Memandang lurus ke cermin yang menampilkan pantulan dirinya. Sorot mata yang sayu dan sembab akibat menangis tadi masih tersisa di sana.

Kemudian tangannya perlahan memutar keran wastafel itu dan kepalanya sedikit menunduk. Lantas menyapukan air ke permukaan wajahnya pelan. Dingin air yang mengalir membuatnya jauh lebih baik.

Setelah selesai, Rina kembali menekuri ponselnya. Membuka jadwal yang dia miliki dan memeriksanya satu per satu. Dia akan memilih hari yang memiliki waktu luang terbanyak agar dirinya bisa berlatih balet kembali. Mengikuti saran dari Bintang, melakukannya disela-sela jadwal kuliah, menghindari pengawasan Wira. Sungguh Rina berharap sang ayah tidak pernah mengetahui kegiatannya di luar jam perkuliahan yang dia miliki.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel