Bab 4 Lupa Waktu
Bab 4 Lupa Waktu
Video yang diputar Rina menampilkan tarian balet yang berjudul Swan Lake. Tarian itu membuat Rina terpesona dan lupa waktu. Karena terlalu fokus memperhatikan tehnik gerakan yang terdapat di dalamnya, akhirnya dia tidak mengetahui kalau ayahnya sudah berada di rumah.
Awalnya Wira tidak merasakan hal aneh saat memasuki rumahnya. Namun, lama kelamaan pendengarannya menangkap alunan musik yang terdengar sayup-sayup. Dan Wira pun merasa terganggu dengan alunan itu, kemudian mencari tahu dari mana asalnya.
Ada perasaan curiga yang bercokol dalam hati Wira. Lantunan itu seperti pernah dia dengar sebelumnya. Seperti teringat akan sesuatu, lantas laki-laki paruh baya itu melangkahkan kakinya menapaki undakan demi undakan yang membawanya ke kamar Rina.
Mendekati kamar Rina suara itu terdengar jelas dan betapa murkanya Wira saat menemukan Rina diam-diam masih tertarik dengan apa yang telah dilarang olehnya. Tidak ingin Rina semakin hanyut dengan dunianya, Wira akhirnya menyentak pintu kamar hingga membuat Rina terkejut.
"Pa!" serunya lirih tidak menduga jika sang ayah akan menemukannya dalam kondisi yang tidak layak dilihat.
Dengan wajah merah padam, Wira meluapkan amarahnya kepada Rina karena telah melanggar aturan.
"Jadi ini yang kamu lakukan selama Papa tidak di rumah, hah!" teriak Wira membuat Rina tidak berkutik. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mampu membantah apa yang ayahnya katakan.
"Berani-beraninya kamu melanggar apa yang sudah Papa tentukan, Rina!"
"Tidak, Pa. Rina ...."
"Tidak? Kamu masih bisa berkata tidak setelah Papa melihat sendiri apa yang kamu lakukan?"
"Rina ...."
"Mulai sekarang semua fasilitas yang kamu terima dari Papa, Papa ambil kembali. Laptop kamu Papa sita. Tidak ada laptop di tangan kamu mulai sekarang," ucap Wira seraya mengambil laptop yang ada meja belajar Rina dengan paksa. Namun, dengan gerakan cepat Rina lebih dulu meraihnya. Tidak membiarkan ayahnya mengambil benda pipih itu.
"Rina! Serahkan laptop itu sekarang!"
"Rina tidak akan menyerahkannya. Ini milik Rina!"
"Kamu tidak akan menyerahkan itu?"
Rina menggeleng-gelengkan kepalanya menolak perintah Wira.
"Baik. Kalau kamu bersikeras mempertahankan keinginan itu. Papa akan melakukan apa yang pernah Papa katakan dulu. Persiapkan diri kamu!"
Mendengar ucapan ayahnya, seketika itu tubuh Rina menegang dan wajahnya memucat.
"Tidak. Papa tidak bisa melakukan itu!" teriak Rina tidak terima. Namun, Wira mengabaikan lalu pergi dari kamar Rina.
"Pa! Jangan lakukan itu. Rina tidak mau! Pa ...," mohon Rina berusaha membuat papanya mengurungkan niat tersebut.
Wira tidak memedulikan Rina yang menangis sesegukan memohon kepadanya. Laki-laki itu terus berjalan menuruni tangga. Sedangkan di belakangnya Rina mengikuti dengan langkahnya yang terseok-seok berusaha menghentikannya.
"Pa, Rina mohon. Jangan Papa lakukan itu. Jangan!" pinta Rina memelas dengan air matanya yang sudah berlinangan.
Hingga di anak tangga terakhir, Wira menghentikan langkahnya. Bertepatan dengan istrinya muncul dari ruang keluarga dan menghampirinya.
"Ada apa, Pa?" tanyanya bingung melihat suaminya terlihat murka dan Rina yang bercucuran air mata.
"Kamu kemasi semua pakaiannya. Sekarang!" ucapnya tegas pada Rianti.
Mendengar perintah itu, seketika Rianti menutup mulutnya, menyadari apa yang tengah terjadi.
"Pa, kamu sungguh akan melakukan itu?" tanya Rianti hati-hati. Berharap apa yang dipikirkannya tidak benar.
"Ya! Sekarang kamu kemasi barang-barangnya," sahut Wira dingin.
Kini Rina mengalihkan pandangannya menatap sang mama sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Meminta agar Rianti tidak melakukan apa yang ayahnya inginkan.
"Ma ...," serunya lirih.
"Keturunan Pramudya tidak boleh ada yang membangkang. Jelaskan itu padanya," ucap Wira sekali lagi lalu beranjak meninggalkan mereka.
Melihat hal itu istrinya langsung mendekati anak perempuan mereka. Dia yakin Rina telah melakukan sesuatu yang membuat suaminya murka dan sekarang menjadi tugasnya membujuk Rina untuk menuruti apa yang Wira minta.
"Apa yang terjadi hingga Papa semarah itu padamu, Rina?"
"Rina hanya melihat video balet, Ma. Lalu Papa mengetahuinya," cerita Rina dengan terisak.
Rianti menghela napas pendek setelah mendengar penjelasan yang sebenarnya. Pantas saja suaminya begitu marah kepada Rina. Anak perempuannya ternyata telah melanggar peraturan yang suaminya buat.
"Kamu minta maaf kepada Papa, ya? Jangan membuatnya marah lagi. Hemm?" bujuknya pada Rina yang tidak bisa menghentikan tangisnya.
"Mama mengerti apa yang menjadi keinginan kamu. Tapi, Papa sudah melarang itu, bukan? Jadi, Mama minta kamu patuhi saja apa yang menjadi keinginan Papa. Ya?"
"Tapi, Ma ...."
"Demi kebaikan kamu sendiri. Mama mohon."
"Rina masih ingin menekuni balet, Ma. Rina ...."
"Mama tahu. Tapi, kondisinya sudah berbeda. Mama minta pengertian dari kamu. Bisa, kan? Kamu harapan Mama dan Papa setelah Kakak kamu pergi."
"Tapi, Ma ... itu cita-cita Rina."
"Mama mohon," desak Rianti.
Rina tidak bisa berkata apa-apa lagi jika mamanya sudah memohon dengan sangat keras kepadanya. Sang mama adalah kelemahannya setiap kali ingin melakukan protes dengan semua tindakan Wira, dan kali ini pun dia harus membuang kembali keinginan untuk terus bertahan pada impian tersebut.
"Segera temui Papa dan minta maaf kepadanya. Katakan kamu tidak akan mengulanginya lagi. Patuhi apa yang Papa kamu minta Rina," ucap Rianti tegas memberi peringatan.
Rina akhirnya mengangguk patuh dan mengikuti apa yang Rianti katakan. Meski rasanya enggan, Rina tetap saja melangkahkan kakinya menemui Wira. Namun, sebelum bertemu dengan sang ayah, Rina terlebih dahulu mengusap wajahnya. Membersihkan sisa-sisa air mata yang sesekali keluar dari pelupuk matanya.
Sesampainya di depan ruangan Wira, Rina tidak langsung mengetuk pintu. Dia berhenti sementara waktu untuk menenangkan gejolak hatinya. Setelah dirasa siap, baru Rina memberanikan diri mengetuk pintu tersebut. Diketuknya pintu itu sebanyak dua kali. Dan tidak membutuhkan waktu lama, dirinya mendapatkan ijin dari Wira untuk masuk ke dalam.
"Pa ...." panggil Rina lirih. Rina tidak berani menatap sosok laki-laki paruh baya yang ada di hadapannya. Yang dilakukannya hanya menunduk dengan kedua tangannya saling bertautan. Sedangkan Wira menatapnya lurus dengan tatapan yang terasa tajam bagi Rina. Hingga untuk bersua pun rasanya tidak sanggup. Terasa kaku dan kelu.
"Ada apa? Papa banyak pekerjaan. Kalau ada yang ingin kamu sampaikan cepat sampaikan," ucap Wira datar.
"Rina minta maaf, Pa. Maaf, sudah membuat Papa marah."
Wira tidak segera menanggapi permintaan itu. Hanya membisu dan membuat suasana semakin tidak nyaman bagi Rina. Dia cemas juga takut kalau ayahnya tidak akan memaafkan dan tetap bersikeras dengan niatnya semula.
Detik demi detik Rina lalui dalam hening ruangan persegi panjang itu. Hanya terdengar suara jam dinding yang menghiasi situasi dalam ruangan tersebut. Seandainya Rina dapat menghilang, ingin rasanya dirinya menghilang dari hadapan sang ayah. Karena baginya keterdiaman Wira adalah sebuah petaka. Dan dia tidak ingin berlarut-larut dalam keterdiaman itu.
"Pa ... say something, please ...," mohonnya sekali lagi.
"Apa yang harus Papa katakan untukmu, Rina?"
Rina hanya mampu menggigit bibir bawahnya mendapat pertanyaan itu.
"Bahkan untuk mengatakannya saja kamu tidak ingin? Bagaimana mungkin kamu berani meminta Papa memaafkan kamu dengan sikap kamu seperti itu? Sudahlah kalau kamu memang tidak ingin melakukannya dengan benar. Papa masih ada pekerjaan lain, dan kamu akan di antar Mamang pergi sebentar lagi," ucap Wira tidak main-main.
"Pa ... Rina tidak ingin pergi ke tempat itu. Rina masih ingin di rumah ini."
"Masih ingin di rumah ini?" ulang Wira menirukan ucapan Rina. "Kamu tahu peraturannya bukan jika masih ingin berada di sini?"
"Iya Pa," jawab Rina lirih.
"Bagus kalau kamu mengingatnya. Tapi, Papa ingin bukti Rina. Bukan kata-kata seperti yang baru saja kamu ucapkan itu. Papa ingin melihat kesungguhan kamu. Bisa kamu buktikan? Jika bisa melakukan itu Papa akan memaafkan kamu."
"Papa peringatkan sekali lagi, satu kesalahan yang kamu buat, Papa akan mengambil satu fasilitas yang kamu terima. Berlaku untuk hari ini Papa akan mengambil laptop kamu."
"Tapi, Pa ...."
"Papa tidak ingin mendengar alasan apapun Rina! Sekarang kembalilah ke kamar dan ambil laptop kamu lalu serahkan kepada Papa."
Rina bergeming di tempatnya.
"Papa bilang ambil, Rina!" sentak Wira membuat Rina akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan ayahnya. Dia tidak ingin melihat kemurkaan ayahnya lebih banyak lagi.
Kali ini Rina sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika ayahnya sudah mengatakan apa yang harus dia patuhi. Memberontak pun tidak akan pernah bisa dilakukannya tanpa bantuan orang lain. Akhirnya, dengan berat hati Rina harus merelakan laptop kesayangannya berada di tangan sang ayah.
Setelah Rina menyerahkan laptop itu kepada Wira, dirinya lantas kembali lagi ke kamar. Di kamar, tangis Rina kembali pecah dan semakin menjadi. Air matanya tidak bisa dia hentikan. Pun saat Bintang meneleponnya, air mata itu tidak kunjung berhenti. Justru semakin deras keluar dari pelupuk matanya. Namun, dia berusaha untuk menahan isakannya agar Bintang tidak mengetahuinya tegah menangis.
"Dek?" panggil Bintang kala orang yang dihubunginya tidak juga menjawab sapaannya. Hanya terdengar isakan di ujung teleponnya.
"Kamu kenapa?" tanya Bintang cemas.
Masih dengan sisa-sisa tangisnya Rina menjawab, "Aa-ku ... aku tidak apa-apa Mas," jawabnya lirih.
"Benar tidak apa-apa?" tanya Bintang memastikan.
"Iya," balas Rina berusaha terlihat meyakinkan di hadapan kakaknya tersebut. Dia tidak ingin membuat Bintang khawatir.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Lega rasanya mendengarnya. Oiya, bagaimana rencana kamu melanjutkan kelas baletnya? Sudah mendapatkan ijin dari Papa?" tanya Bintang dengan polosnya. Sedangkan Rina yang mendapat pertanyaan dari Bintang tidak kuasa untuk berkata apa pun. Rina lantas memberikan jeda hening diantara percakapan mereka.
"Apa terjadi sesuatu di rumah?" Bintang mencoba menebak keheningan diantara mereka.
Rina tidak menjawab pertanyaan itu. Kembali, hening yang bisa dia berikan pada sang kakak, dan itu semakin membuat Bintang khawatir.
"Dek, cerita. Ada apa? Jangan buat cemas," desak Bintang. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada Rina.
Rina mengusap air matanya pelan. Lalu berkata, "Aku akan meninggalkan impianku, Mas. Balet bukan lagi duniaku," terang Rina membuat Bintang terperangah.