Bab 3 Tidak Sabar
Bab 3 Tidak Sabar
Setelah mobil berhenti tepat di depan kampus, Rina segera turun dan melangkahkan kakinya menuju gedung fakultas seorang diri. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah rangkulan yang mendarat di bahunya.
"Hei! Pagi-pagi jangan melamun," tegur seorang gadis seusianya. Gadis yang sifatnya bertolak belakang dengannya. Ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja. Dia adalah sahabat masa kecilnya, Maura.
Mereka saling mengenal sejak masuk di kelas balet saat usia mereka masih lima tahun. Namun, pertemanan mereka harus terputus saat Maura melanjutkan sekolahnya di Bali karena pekerjaan orang tuanya, dan sekarang mereka dipertemukan kembali di kampus dan jurusan yang sama.
"Maura?"
"Iya, ini aku. Kamu kira siapa?" Maura mengamati Rina dari atas hingga bawah. Dan itu membuat Rina jengah.
"Ada apa, Ra. Kenapa memandangiku seperti itu?"
"Aku merasa kamu berbeda hari ini," jawabnya seraya mengusap dagunya berpikir tentang perubahannya Rina.
"Apanya yang beda? Jangan mengada-ada!" sahut Rina lalu meninggalkan Maura di belakangnya.
"Hei! Tunggu, Rin!" serunya. Namun, diabaikan oleh Rina.
"Rin! Kamu benar tidak merasa ada yang berubah?"
"Iya. Aku masih sama Rina yang kemarin. Kenapa?"
"Aku sungguh melihat kalau kamu berbeda hari ini. Tapi, apa?"
"Kenapa kamu tanya aku? Mana aku tahu, Ra. Kamu yang menilai."
"Shh ... apa ya?"
"Beri tahu aku kalau sudah ketemu. Oke?" pinta Rina dan terus berjalan lurus menuju kelasnya. Sesampainya di sana, kondisi kelasnya belum terlalu ramai. Masih beberapa mahasiswa yang datang sehingga dirinya bebas memilih kursi yang ingin diduduki. Dan pilihannya jatuh pada kursi yang ada di barisan belakang. Karena dirinya terlalu malas harus duduk di depan.
"Kamu yakin duduk di sini?" ucap Maura saat Rina sudah menempati kursinya.
"Hhmm ..."
"Yakin tidak ingin pindah?" tanyanya sekali lagi.
"Iya."
"Benar?"
Rina berdecak. "Ckck ... kamu sudah memastikan itu sebanyak tiga kali, Ra. Kamu tahu jawabanku apa? Jawabanku masih sama. Ti-dak!"
"Yah, ayolah Rin, pindah. Jangan di sini."
Lalu Rina pun memandang Maura dengan tatapan herannya. "Kenapa?"
"Supaya kamu tidak menyesal," balas Maura yang semakin membuat Rina bingung.
"Maksud kamu apa? Kenapa aku harus menyesal?"
Maura langsung menundukkan kepalanya dan mensejajarkannya di telinga Rina seraya berkata, "Dosennya tampan. Masih single."
"Terus, apa hubungannya denganku?"
"Iishh ... kamu itu bagaimana? Kalau di belakang kita tidak bisa cuci mata," ucap Maura sebal karena Rina tidak memiliki antusiasme yang sama dengannya.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu saja yang duduk di depan. Aku di sini saja."
"Ahh ... kamu tidak asyik, Rin!" rengut Maura yang akhirnya mengikuti Rina duduk di barisan belakang bersebelahan dengan gadis itu. Rina pun mengulas senyum tipisnya melihat Maura yang kesal karena terpaksa mengikuti keinginannya.
Selama perkuliahan itu Rina tidak fokus dengan materi yang dijelaskan. Semua yang dosennya berikan sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Terlebih disaat-saat menjelang akhir perkuliahan. Dirinya semakin bertambah gelisah karena waktunya dimundurkan beberapa menit, yang berarti dia akan kehilangan waktu untuk belajar balet sebelum ayahnya pulang.
"Kamu kenapa, Rin, dari tadi gerak-gerak terus. Seperti tidak nyaman begitu?" bisik Maura yang sedari tadi memperhatikan sikap Rina yang aneh.
"Masih lama ya ini selesainya?"
"Tinggal sepuluh menit lagi. Kenapa?"
"Duuh ... lamanya," keluhnya tidak sabar.
"Kamu kebelet?"
"Tidak."
"Terus kenapa begitu?"
"Aku ada acara, Ra, setelah ini. Kalau aku keluar dulu bisa tidak ya?"
"Heehh!! Mana bisa? Kamu mau kabur?"
"Tidak. Aku benar ada acara."
"Tunggu sebentar lagi, Rin."
"Tidak bisa. Waktunya mendesak." Lalu Rina akhirnya benar-benar melakukan tindakan nekad. "Masa bodoh, aku keluar dulu."
"Ehh ... ehh ... Rin!" Maura hanya mendesah pelan saat Rina sudah beranjak dari tempatnya dan berjalan menghampiri dosen mereka.
"Maaf, Pak," sela Rina membuat dosen tersebut terpaksa menghentikan kegitannya.
Sang dosen pun mendongakkan kepalanya demi menatap mahasiswa yang telah menginterupsi kegiatan pembelajarannya. "Ya? Ada apa?"
Entah kenapa Rina merasa akan kesulitan mendapatkan ijinnya saat mendengar nada bicara itu. Nada tersebut mengingatkannya pada sosok sang ayah yang dingin, dan tidak ingin ada seorang pun melanggar peraturannya. Padahal di perkuliahan sebelumnya dia tidak melihat kesamaan tersebut.
Ya, laki-laki yang ada di hadapannya saat ini adalah laki-laki yang sama saat mengajar di jam pertama tadi, dan kembali mengajar kelasnya di jam terakhir.
"Saya bisa izin keluar lebih dulu, Pak?"
Dosen itu menatap Rina tidak suka saat mendengar ucapannya. "Kamu ingin kabur dari kelas saya?"
"Bukan, Pak."
"Lalu?" tanya dosen itu lagi sambil terus menatap Rina dengan tatapan dingin.
"Saya ada keperluan, Pak."
"Keperluan? Ketemu dengan pacar?" tuduhnya.
Mendengar tuduhan itu, seketika perasaan kesal Rina muncul, dan mengabaikan sikap sopannya dengan membalas tatapan tersebut dengan kekesalan yang tertahan.
"Kamu rela meninggalkan kelas demi menemui pacar kamu? Cckk ... mahasiswa jaman sekarang. Bukannya kuliah yang benar malah pacaran yang diutamakan."
Rina semakin mengepalkan tangannya menahan gejolak itu. Dia harus bisa menahan diri. Sama seperti saat ayahnya melakukan hal itu, memberikan kalimat-kalimat pedas jika apa yang dilakukannya tidak sesuai keinginan sang ayah.
Detik demi detik rela Rina lewati demi menunggu keputusan itu, membiarkan dirinya menjadi tontonan puluhan pasang mata, asalkan dia bisa keluar dari ruangan tersebut. Juga mengabaikan orang-orang di belakang sana yang semakin riuh dengan bisik-bisik mereka karena perbuatan nekadnya.
Sesekali Rina melirik apa yang dilakukan dosen muda itu, dan apa yang dilakukan sang dosen semakin membuatnya mendidih. Laki-laki tersebut dengan sengaja terus memberikan penjelasan materi. Membiarkan dirinya tetap berdiri di sana. Mengabaikan dan mempermalukannya di depan kelas.
"Dia pasti sengaja melakukan itu," gerutu Rina lirih. Namun, suaranya masih terdengar di telinga sang dosen. Mendengar gerutuan Rina, seketika itu dosen tersebut menghentikan kegiatannya. Lalu pandangannya beralih ke arah Rina yang berada tidak jauh di sampingnya.
Kemudian melirik pergelangan tangannya sekilas dan berucap, "Ya sudah kamu boleh keluar."
Mendengar itu Rina pun merasakan kelegaan yang luar biasa. Dan sebelum meninggalkan kelas, dia mengucapkan terima kasih lebih dulu. "Terima kasih, Pak."
"Lain kali jangan diulangi."
Rina pun mengangguk menjawabnya dan berbalik menuju pintu. Namun, tak lama berselang setelah dirinya berhasil menggapai pintu kelas dan keluar dari ruangan itu, dia mendengar suara ramai yang menandakan kelas telah berakhir.
"Ckk ... jadi, benar dia mengerjaiku!" dengus Rina kesal. Lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat tersebut.
Sesampainya di halaman parkir kampus, Rina menolehkan kepalanya ke sana kemari mencari keberadaan mobil yang menjemputnya. Namun, dirinya tidak menemukan mobil yang dicari-carinya.
Kemudian tiba-tiba datang sebuah mobil berhenti di depannya lalu muncul seorang laki-laki dari sisi pintu kemudi, dan menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Maaf, Non. Saya terlambat datang. Tadi, terjebak macet," jelas pemuda itu sedikit ketakutan. Dirinya takut jika anak atasannya tersebut marah dan melaporkan keterlambatannya kepada sang ayah. Jika itu terjadi besar kemungkinan dirinya akan diberhentikan dari tempatnya bekerja. Sedangkan dia masih membutuhkan pekerjaan itu.
"Tidak apa-apa," jawab Rina singkat membuat lega pemuda tersebut.
Lalu, Rina pun segera masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, rasa gelisahnya semakin bertambah. Dirinya merasa tidak tenang karena memburu waktu yang ada. Karena dia tidak ingin ayahnya mengetahui hal itu.
"Non Rina, ingin langsung pulang atau ke tempat lain lebih dulu?" tanya sopirnya membuat Rina mendongakkan kepalanya menatap pemuda itu.
"Langsung ke rumah saja," jawabnya singkat.
"Baik, Non."
Setelah beberapa menit berkendara akhirnya Rina sampai di rumah. Gadis itu tergesa-gesa masuk ke dalam kamarnya. Melewati siapa pun yang ada di ruangan itu. Termasuk mamanya yang melihatnya sedikit berlarian, hanya mengernyit heran. Namun, tidak berusaha mengejarnya.
Sesampainya di kamar, Rina meletakkan begitu saja tas dan buku yang tadi dibawanya di atas meja belajar. Kemudian menyalakan laptopnya dan membuka beberapa file video yang dia simpan dengan folder khusus. Rina pun memutar video itu dengan perasaan membuncah dan merasa dunianya telah kembali.