Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Informasi Penting

Bab 2 Informasi Penting

Tiga tahun telah berlalu semenjak Bintang meninggalkan rumah. Kini Rina memasuki tahun pertama pendidikan sarjananya. Berkat sang ayah, sekarang Rina menjadi mahasiswa dari jurusan Ekonomika dan Bisnis di sebuah kampus bergengsi di Yogyakarta. Di mana kampus itu pernah menjadi tempat Bintang mengenyam pendidikannya meski tidak berakhir dengan baik, karena kakaknya itu memutuskan untuk keluar dari jalur yang sudah ditentukan oleh sang ayah.

Wira, sang ayah memiliki ambisi besar untuk menjadikan anak-anaknya sebagai penerus keluarga Pramudya. Dia tidak ingin Bintang dan Rina salah mengambil keputusan yang nantinya akan menyebabkan mereka gagal dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Namun, maksud hatinya itu ditanggapi berbeda oleh Bintang yang akhirnya memilih pergi dari rumah dan sampai sekarang keberadaannya tidak pernah diketahui di mana.

Sejak itu posisi yang seharusnya Bintang pegang diberikan kepada Rina dengan harapan anak perempuannya tersebut dapat menggantikannya mengelola Pramudya Emas. Hingga Rina pun harus rela melepas impiannya untuk menjadi seorang balerina dan mengikuti semua arahan yang ayahnya berikan. Salah satunya adalah dengan masuk ke universitas dan jurusan yang telah ditentukan. Rina pun terpaksa menerima keputusan itu, meski pilihan tersebut sangat bertolak belakang dengannya.

Keputusan yang telah dibuat oleh ayahnya tidak ada satu orang pun yang berani menentangnya. Termasuk Rianti, ibunya. Sehingga apa pun yang diinginkan suaminya tersebut selalu dituruti, meskipun itu bertentangan dengan pilihannya juga anak-anaknya. Karena sang istri tahu dalam hidup anak-anak mereka, baik Bintang atau Rina tidak pernah tertarik dengan bisnis yang digeluti sang ayah. Apalagi menjadi penerusnya sama sekali tidak terpikirkan oleh keduanya. Rina ingin menjadi seorang balerina daripada menjadi penerus Pramudya Emas.

Seandainya kakaknya tidak pergi, mungkin saat ini dirinya tidak akan berada dalam tekanan sang ayah, dan dia bisa mewujudkan apa yang menjadi impiannya tersebut.

Rina menghela napas kuat-kuat sembari beranjak keluar dari kamar. Dia hendak sarapan lebih dulu sebelum berangkat ke kampus. Hari ini adalah hari pertamanya memulai perkuliahan setelah acara pengenalan kampus berakhir.

"Pagi, Pa," sapa Rina pada ayahnya yang sedang membaca sebuah berita online diponselnya.

"Pagi. Kamu sudah siap untuk kuliah pertama kamu?"

"Sudah, Pa," jawab Rina singkat.

"Bagus. Kuliah yang benar. Jangan mengecewakan Papa. Kamu penerus keluarga Pramudya," ucap Wira memberikan doktrin pada Rina agar anak perempuannya itu selalu ingat dengan tujuannya.

"Iya," sahut Rina pendek dan tidak bersemangat.

"Sarapan, ya, Mama sudah membuatkan makanan kesukaan kamu," ujar mamanya yang baru datang dari arah dapur dengan membawa semangkuk bubur untuk Rina.

"Rina makan ini saja, Ma," tunjuknya pada selembar roti yang sudah dia olesi dengan selai cokelat yang ada di depannya.

Wira melirik kedua perempuan yang ada di depannya. "Mamamu sudah membuatkan sarapan itu untuk kamu. Tidak baik kalau kamu membiarkannya saja. Lagipula hanya selembar roti tidak akan cukup untuk membuatmu kenyang."

"Ta ...." Rina tidak melanjutkan ucapannya saat tatapan Wira mengarah kepadanya tajam.

"Iya, Rina akan makan itu." Rina pun melakukannya dengan enggan, dan diambilnya mangkuk tersebut lalu diletakkannya tepat di hadapannya. Menggantikan piring yang berisi roti tadi.

"Pa, jangan terlalu keras dengan anak. Kalau Rina tidak ingin makan, ya sudah tidak apa-apa. Mungkin dia masih kenyang," ucap sang istri saat melihat interaksi Wira dengan Rina yang membuat suasana pagi mereka terasa kaku.

"Bukan keras. Itu namanya tegas. Kamu harus bisa membedakan mana yang keras dan yang tegas. Dia harus bisa menghargai apa yang sudah orang lain berikan padanya. Jangan karena tidak suka atau tidak mau lantas mengabaikannya begitu saja."

Rina yang sedari tadi tidak memiliki semangat, semakin tidak bersemangat lagi kala mendapati ayahnya memberikan nasehat yang membuatnya merasa tersudutkan, dan Rina membenci itu. Sedangkan istrinya hanya bisa memandang nelangsa anak perempuannya yang sedari tadi menunduk dan memakan makanannya tanpa selera. Dia tahu jika Rina sangat tertekan dengan apa yang suaminya lakukan.

Menurutnya Wira sudah keterlaluan memaksakan kehendak pada anak perempuan mereka satu-satunya. Segalanya harus sesuai dengan apa yang diinginkan suaminya tersebut. Ingin rasanya dia membantu Rina untuk lepas dari kekangan Wira. Namun, dirinya pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti apa yang dikatakan suaminya itu.

"Kalau kamu sudah selesai, Papa antar ke kampus. Kamu tunggu di dalam mobil," ucap Wira memecah keheningan mereka.

"Iya, Pa," jawab Rina pasrah. Dia tidak mungkin menolak perintah ayahnya. Menolak bagi Wira adalah sebuah pelanggaran. Sekali melanggar Rina akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat lagi. Karena Wira tidak pandang bulu dalam memberikan hukuman kepada orang yang tidak patuh padanya. Sekalipun dia adalah anaknya sendiri.

Kemudian Rina pun beranjak dari duduknya dan berpamitan kepada sang mama. "Rina berangkat dulu, Ma," ucapnya seraya mencium pipi sang mama.

"Hati-hati di jalan, ya?" balas sang mama seraya mengusap pelan lengannya.

Lalu, Rina beralih kepada ayahnya. "Rina tunggu di mobil, Pa."

"Ya, Papa menyusul sebentar lagi," balas Wira.

Kemudian Rina berlalu dari hadapan kedua orang tuanya dan menghampiri mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Di sana, di samping mobil itu sopir kepercayaan ayahnya sudah menunggu.

"Pagi, Non," sapa sopir itu saat Rina sudah berada di dekatnya dan segera membukakan pintu mobil itu untuk Rina.

"Pagi, Mang," balas Rina. "Nanti Papa pulang jam berapa?" tanyanya sebelum masuk ke dalam mobil.

"Bapak sepertinya pulang sedikit terlambat, Non."

"Apa ada acara di luar?"

"Bapak mau ke pabrik melihat barang yang akan dikirim ke konsumen. Ada beberapa pengiriman yang akan dilakukan dalam minggu ini," terangnya membuat Rina mengangguk mengerti.

"Berarti aku memiliki waktu untuk belajar balet lagi," batin Rina.

Informasi yang diberikan oleh orang kepercayaan ayahnya membuat Rina merasa memiliki kesempatan untuk kembali ke dunianya. Dia akan memanfaatkan keterlambatan ayahnya untuk kembali mempelajari balet yang sudah tidak rutin dia lakukan akibat ayahnya mulai membatasi ruang geraknya. Terlebih sejak dia lulus SMA, Wira benar-benar melarang Rina meneruskan cita-citanya menjadi seorang balerina.

"Terima kasih Mang, informasinya"

"Sama-sama, Non," jawab sopir itu dengan lugas tanpa memiliki kecurigaan tertentu padanya.

Tak berselang lama, Rina melihat ayahnya keluar dari rumah didampingi oleh sang mama. Kemudian berjalan mendekat ke arahnya. Melihat langkah Wira yang semakin dekat, dirinya segera masuk ke dalam mobil. Lalu disusul oleh ayahnya. Setelahnya mobil melaju keluar dari pelataran rumah untuk memulai aktivitas masing-masing.

Sepanjang perjalanan, Rina tidak mengatakan apa pun. Dia hanya diam mengamati keadaan di luar melalui kaca mobilnya. Rina tidak pernah menyukai kondisi tersebut. Selama tiga tahun rutinitasnya selalu sama seperti itu. Setiap pagi ayahnya akan selalu berada di sampingnya seperti ini. Mengantarkannya ke sekolah dan akan menjemputnya di siang hari.

Hari ini pun sama setelah tiga tahun itu dia kembali terjebak dengan hal-hal yang sangat membosankan baginya. Sedangkan Wira menganggap itu adalah sebuah rutinitas yang tidak boleh dia lewatkan. Dia akan memastikan semua yang dilakukan Rina sesuai dengan arahannya, dan selama itu pula Rina tidak pernah melakukan kesalahan. Anak itu selalu mengikuti apa yang menjadi kemauannya.

Namun, Wira tidak pernah tahu akibat yang dialami oleh Rina selama tiga tahun itu. Terlebih sejak kejadian yang menimpa gadis itu untuk pertama kalinya. Rina berubah menjadi gadis yang tertutup dan selalu menarik diri dari sekitarnya. Bahkan untuk melakukan kegiatan di luar rumah pun dia tidak pernah. Karena setiap dia akan melakukan itu bayang-bayang masa lalu tersebut datang menghantui.

Dunianya hanya seputar tempat tinggal, sekolah, dan sesekali bersinggungan dengan perusahaan yang dikelola ayahnya. Semua itu sungguh melelahkan bagi gadis seperti Rina. Di mana usianya masih sangat belia untuk menerima tanggung jawab sebesar itu dari sang ayah. Dengan tuntutannya yang sangat tinggi membuat Rina semakin hari semakin tertekan.

Gadis belia yang dulu ceria dan memiliki kedekatan dengan siapa pun kini berubah menjadi gadis pendiam. Selalu menjauhi segala sesuatu yang akan menimbulkan kemurkaan ayahnya. Di depan Wira, Rina akan menampilkan sosok yang sempurna. Kebanggaan sang ayah. Meski kenyataannya sangat berbanding terbalik.

"Kamu pulang jam berapa nanti?" tanya Wira memecah keheningan.

"Rina pulang sore, Pa. Jam tiga," jawab Rina.

"Nanti kamu akan dijemput sopir kantor. Mamang tidak bisa menjemput kamu," ujarnya memberi tahu Rina.

"Iya, Pa."

Tepat saat itu mobil mereka berhenti di depan kampus. Rina pun berpamitan kepada ayahnya dan bergegas turun. Setelah memastikan keberadaan Rina, Wira kembali melajukan mobilnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel