Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
Setiap orang pada dasarnya memiliki keluarga. Sebuah keluarga harusnya bisa membuat hidup lebih tenang, bahkan bahagia. Keluarga harusnya juga menaungi orang-orang di dalamnya. Di dalam keluarga, kita bisa berbagi apa saja, saling dukung satu sama lain, terutama tentang harapan dan cita-cita. Sayangnya, tidak semua keluarga seperti itu.
Rina Pramudya. Ya, dia adalah salah seorang keturunan dari keluarga Pramudya. Gadis belia yang memiliki impian besar menjadi seorang balerina. Namun, impian tersebut harus kandas saat orang tuanya menginginkannya menjadi penerus perusahaan. Perusahaan yang sudah berdiri sekian lama itu membutuhkan seorang calon penerus, dan pilihan itu akhirnya terpaksa jatuh ke tangan Rina setelah peristiwa itu terjadi.
Sebuah prahara telah menimpa keluarga Pramudya yang akhirnya membuat Rina harus mengubur dalam-dalam impian tersebut, dan menjadikannya hidup dalam tekanan yang diberikan sang ayah sejak kepergian Bintang kala itu.
Ayahnya, Wira Pramudya melakukan sesuatu yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Dengan sifatnya yang sangat otoriter itu siapa pun tidak akan dibiarkannya menjadi seorang pembangkang. Bahkan istrinya pun tidak mampu membuat Wira melunak kepada anak-anaknya.
Puncak peristiwa tersebut adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Bintang. Anak yang dijadikan fokus utamanya sebagai penerusnya kelak. Keinginan sang ayah bertolak belakang dengan keinginan Bintang. Hal itu disebabkan karena hobi Bintang yang tidak pernah disukai oleh Wira. Hingga akhirnya sang ayah mengusirnya dari kediaman Pramudya.
Kala itu, Rina berada di dalam kamarnya sedang menyelesaikan tugas ketika mendengar suara-suara yang membuatnya tidak berani untuk mendekat. Di bawah sana, suara ayahnya terdengar menggelegar keras. Segala kalimat cacian diberikan kepada Bintang sebagai luapan amarahnya. Sang ayah terlajur kecewa dengan perbuatan Bintang yang lebih memilih menekuni hobi bermusiknya dari pada mempersiapkan diri sebagai penerusnya.
"Anak tidak tahu diri! Papa berusaha keras untuk menjadikan kamu pewaris keluarga Pramudya. Tetapi, lihat! Lihat apa yang kamu berikan sebagai balasannya?" teriak Wira keras penuh amarah.
Lalu ayahnya melempar sebuah kertas yang berisi pemberitahuan DO dari kampus tempat Bintang mengenyam pendidikan tepat di hadapannya dan kemudian terjatuh di bawah kaki Bintang.
"Surat DO yang kampus keluarkan membuat Papa malu dengan sikap kamu. Kamu calon penerus keluarga Pramudya, Bintang! Tetapi, kamu justru mempermalukan nama keluarga kita dengan perbuatan kamu itu." Wira menggemelutukkan giginya penuh geram. "Kamu berhenti jadi pengamen!”
"Yang aku lakukan bukan seperti itu, Pa! Aku menyanyi di cafe. Bukan berkeliaran di jalanan seperti yang Papa katakan itu," ujar Bintang berusaha menjelaskan semuanya pada ayahnya.
"Bagi Papa itu sama saja. Kamu menyanyi di manapun tempatnya tetap sama, itu namanya mengamen. Hidup kamu, kamu habiskan untuk sesuatu yang tidak berguna dan menghancurkan keinginan Papa untuk menjadikanmu penerus keluarga kita."
"Mulai sekarang Papa tidak ingin mendengar alasan kamu lagi. Hentikan kegiatan tidak berguna itu dan lanjutkan kuliahmu!"
"Tidak, Pa! Aku tetap dengan pendirianku. Musik sudah menjadi bagian hidupku. Aku tidak akan berhenti hanya karena Papa tidak suka!"
Bintang tidak akan membuang apa yang sudah diimpikannya sejak dulu. Sudah cukup baginya mengikuti keinginan sang ayah. Sekarang adalah saatnya di mana dia harus berani melepaskan diri dari kekangan tersebut.
"Kalau itu menjadi keinginanmu, lebih baik kamu tinggalkan rumah ini. Jangan pernah kamu menginjakkan kakimu kembali ke sini sebelum bisa mewujudkan keinginan Papa!" putus Wira pada akhirnya. Ya, dia telah memutuskan mengusir Bintang dari kediamannya. Memberikan pelajaran kepada anak laki-lakinya agar tidak berani melawan peraturan yang telah dia buat.
Bintang hanya diam menunduk menghadapi kemurkaan sang ayah. Dirinya lebih memilih diam tidak melakukan perlawanan apa pun Karena dia tahu itu akan sia-sia. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti perintah ayahnya Termasuk pergi dari rumah yang selama ini ditinggalinya.
Tekad Bintang sudah bulat. Demi mengembangkan hobi yang dimilikinya dia harus lepas dari kekangan sang ayah. Ayahnya tidak akan bisa membelenggunya lagi jika dia keluar dari rumah itu. Namun, sebelum dirinya benar-benar pergi dia harus bertemu dengan adiknya lebih dulu. Berpamitan pada gadis itu.
Lalu, Bintang pun menghampiri kamar Rina yang berada di lantai dua, tidak jauh dari kamarnya. Begitu sampai di depan kamar Rina, Bintang mengetuk pintunya pelan.
"Dek, boleh masuk?"
Rina yang mendengar suara Bintang segera membukakan pintu untuknya.
"Mas Bintang ...," lirih Rina dengan mata yang berkaca-kaca.
"Hei, kenapa? Apa ada masalah?" tanya Bintang berusaha menenangkan.
"Aku dengar tadi. Mas Bintang bertengkar dengan Papa, kan?"
Bintang yang masih berada di ambang pintu merangkul bahu adiknya kemudian mengajaknya duduk di ranjang milik Rina.
"Kamu dengar yang Papa ucapkan?"
Rina menganggukkan kepalanya pelan.
"Maaf, ya, karena sudah membuat masalah besar untuk kita semua. Aku tidak bisa meneruskan apa yang menjadi keinginan Papa."
"Maksud Mas Bintang apa? Mas benar mau pergi dari rumah?"
"Iya."
"Mas ...."
"Kamu baik-baik di rumah, ya. Terus pegang impian kamu untuk jadi balerina profesional. Jangan menyerah. Hhmm?"
Rina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak suka dengan ide kakaknya itu. Jika Bintang pergi siapa yang akan menemaninya pergi ke kelas balet? Dia juga akan kehilangan tempat berkeluh kesahnya jika Bintang benar pergi dari rumah mereka.
"Tidak. Aku tidak mau Mas Bintang pergi!"
"Tapi aku tetap harus pergi. Di sini aku tidak bisa berkembang. Tidak ada yang bisa dilakukan kalau tetap di sini. Kamu tahu, kan, kalau Papa tidak pernah setuju dengan apa yang aku lakukan selama ini?"
"Mas bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Aku akan bantu Mas Bintang mengatur itu agar Papa tidak tahu. Jadi, Mas masih bisa melakukan keduanya. Ya?" bujuk Rina berharap bisa memengaruhi keputusan kakaknya. Namun, sayangnya pendirian Bintang jauh lebih kuat dari yang dia kira.
"Tidak bisa, Dek. Aku harus pergi sekarang."
"Sekarang?" Anggukan kepala Bintang menjadi jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan pada kakak laki-lakinya itu.
"Tapi, ini sudah malam. Mas mau pergi ke mana malam-malam seperti ini?"
"Jangan khawatir. Seorang laki-laki tidak akan takut untuk pergi ke mana saja dan tidak pernah khawatir tidak mendapat tempat tujuan. Apalagi harus pergi di waktu-waktu tak terduga seperti ini," kata Bintang seraya mengulas senyumnya.
"Tapi, Mas ...."
"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja," ulang Bintang sekali lagi meyakinkan Rina.
"Kalau begitu aku bantu bicara sama Papa. Papa pasti mau mendengar kata-kataku." Rina tidak menghiraukan ucapan Bintang. Dia terus mencoba agar kakaknya tersebut mengurungkan niatnya.
"Jangan!" tahan Bintang saat Rina akan beranjak dari tempatnya.
"Jangan libatkan diri kamu dalam masalah ini. Jika Papa tahu kamu membelaku, kamu akan terkena imbasnya. Kamu tidak ingin itu terjadi, kan?"
Kepala Rina bergerak ke kanan dan ke kiri saat membayangkan kemungkinan itu. Dia pun tidak ingin mendapat amarah dari sang ayah. Tetapi, dirinya juga tidak ingin kehilangan Bintang.
"Maka dari itu jangan sesekali ikut campur urusan ini. Oke? Sekarang aku mau ke kamar mengambil barang-barang yang aku butuhkan. Ya?" ucap Bintang lalu berdiri seraya mengacak pelan puncak kepala Rina dan meninggalkannya termangu seorang diri.
Selang beberapa menit, Bintang sudah kembali lagi dengan tas ransel yang sudah menempel di punggungnya.
"Mas pamit ya! Kamu jaga diri baik-baik. Jaga mama juga. Dan ingat pesanku tadi. Jangan lepaskan impian kamu itu. Jangan malas berlatih. Oke? Nanti aku akan sering-sering memberi kamu kabar. Sekarang aku pergi dulu."
Dengan perasaan terpaksa Bintang meninggalkan Rina yang masih tidak membiarkannya pergi. Bintang pun mempercepat langkahnya agar Rina tidak bisa mengejarnya.
"Jangan pergi, Mas!" seru Rina terus berusaha mengejar Bintang.
Sesampainya di lantai bawah Bintang berpapasan dengan ayahnya. Di sana Wira masih dengan sisa-sisa amarahnya memandang acuh tak acuh pada Bintang yang berpamitan padanya.
"Bintang pergi, Pa. Jaga kesehatan Papa."
Wira bergeming tidak menanggapi.
Karena tidak ada tanggapan dari sang ayah akhirnya Bintang beralih kepada mamanya. Di sana sang mama menatapnya dengan pandangan yang sudah berurai dengan air mata.
"Ma, maaf. Aku belum bisa menjadi kebanggaan Mama. Jaga diri Mama baik-baik, ya?" pamitnya pada sang mama. Setelah mencium pipi sang mama, dengan langkahnya yang lebar Bintang meninggalkan kediaman Pramudya.
Di belakangnya Rina berteriak memanggil dan berusaha mengejarnya.
"Mas Bintang!! Mas Bintang tunggu. Jangan pergi!!"
Namun, saat hendak melewati ayahnya, tangan Rina sudah dicekal oleh Wira dan membuatnya tidak terima.
"Ini semua gara-gara Papa, akhirnya Mas Bintang pergi. Papa egois! Papa jahat! Kejam! Memaksakan kehendak!" teriak Rina berapi-api. Dia marah, kecewa, dan tidak terima dengan kepergian Bintang karena perbuatan ayahnya.
Lalu tanpa diduga, sebuah tamparan keras melayang di pipi sebelah kirinya. Tamparan yang diberikan oleh sang ayah untuk pertama kali karena tidak terima dengan sikap Rina yang berani melawannya.
"Papa ...," lirih Rina sembari memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Air matanya mulai mengalir perlahan karena tidak bisa menahan rasa sakit yang baru saja dia dapat. Juga sesak yang ada di hati, lantaran sikap ayahnya yang keras.
"Jangan sekali-kali kamu menentang Papa, Rina. Jika kamu masih ingin Papa anggap sebagai anak, menurutlah kamu. Jangan melawan! Kalau kamu mau mengikuti jejak Kakakmu, sebaiknya kamu juga angkat kaki dari rumah ini."
Rina hanya diam menunduk.
"Papa tidak membutuhkan anak yang tidak bisa diatur. Mengerti kamu?"
Masih dengan posisinya, Rina belum memberikan tanggapan apa pun.
"Papa bertanya padamu, Rina!" ucap Wira dingin.
"Mengerti, Pa," jawab Rina patuh dengan suara seraknya.
"Mulai sekarang kamu yang akan menerima tanggung jawab besar dari Papa sebagai penerus keluarga Pramudya. Kelak kuliah kamu akan Papa yang menentukannya. Juga balet kamu, Papa tidak mengijinkan itu lagi."
Rina terperangah mendengar apa yang ayahnya katakan. Dia tidak pernah membayangkan ini akan menimpanya setelah ayahnya tidak berhasil menaklukkan Bintang dan memaksakan kehendaknya? Tidak cukupkah itu, hingga mengharuskan dirinya menjadi sasaran selanjutnya?
"Papa tidak bisa melakukan itu!" protes Rina tidak terima. "Rina tidak mau, Pa. Balet impian Rina!"
"Papa bisa melakukan apa pun yang Papa mau."
"Pa …."
"Mulai sekarang kamu harus belajar tentang cara mengelola perusahaan sebelum kamu terjun langsung di dalamnya."
"Tapi, Pa ...."
"Tidak ada kata tapi, Rina. Papa tidak ingin mendengar alasan apa pun dari kamu. Lakukan tugas kamu dengan baik sebagai penerus keluarga Pramudya. Paham?"
"Jawab pertanyaan Papa, Rina! Rina ...," desis Wira dingin memanggil nama Rina.
"Paham, Pa," jawab Rina lemah. Dirinya tidak memiliki pilihan selain menerima apa yang telah diputuskan ayahnya. Karena dia tidak seperti Bintang yang berani menentang keputusan itu.
"Bagus. Papa berharap banyak dari kamu. Jangan mengecewakan Papa. Sekarang masuk ke kamar kamu!" perintah Wira tidak ingin dibantah.
Sejak itulah dunia Rina terasa semakin berat. Hari demi hari dilaluinya dengan penuh tekanan. Dan tidak ada kesempatan untuknya melakukan apa yang dia inginkan. Karena sang ayah tidak membiarkan celah itu ada.