Bab 10 Pesona Si Mata Biru
Bab 10 Pesona Si Mata Biru
"Jangan dengarkan apa yang mereka katakan tadi," imbuhnya seperti tahu apa yang menjadi kegelisahan Rina.
"Kamu ...."
Frank segera membuka pintu tersebut dengan sekali dorong dan kemudian mendudukkan Rina di sofa panjang yang ada di tengah ruangannya.
"Kenapa? Bingung aku bicara begitu?" Kemudian dengan hati-hati dia membuka sepatu yang dikenakan Rina.
"Eh, aku bisa lepas sendiri," tolak Rina saat Frank akan melepas sepatunya. Namun, sebelum Rina menunduk untuk melepas sepatu itu, Frank sudah lebih dulu menarik kakinya pelan dan melepaskan sepatunya hingga tubuh gadis itu terpaksa ditegakkannya kembali.
"Seharusnya kamu tidak perlu melakukannya. Aku bisa melepasnya sendiri."
"Tidak apa-apa," sahutnya singkat. Frank pun melakukan itu tanpa ada rasa canggung sama sekali. Sedangkan Rina mendapatkan perlakuan seperti itu dari seorang pria hatinya merasa tersanjung. Karena itu menjadi pengalaman pertama baginya bersama dengan seorang laki-laki selain Bintang.
Rina terus memandangi wajah Frank untuk sekian menit tanpa berniat mengatakan sepatah kata pun. Dia terus memperhatikan laki-laki tersebut hingga selesai melakukan apa yang dikerjakannya.
"Sudah jangan terus-terusan melihatiku seperti itu. Nanti kamu jadi tertarik padaku."
"Apa? Itu tidak mungkin," kilah Rina yang seketika itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya terasa panas akibat teguran Frank padanya. "Ada-ada saja."
"Ya, kalau tidak percaya tidak apa-apa. Tapi, jangan salahkan aku kalau kamu benar-benar jatuh hati padaku nanti," ucapnya penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Rina tidak menyangka jika orang seperti Frank ternyata memiliki tingkat kepercayaan diri yang luar biasa tinggi. Hingga membuat gadis itu merutuki dirinya sendiri karena telah bertemu dengan laki-laki seperti Frank.
"Sekarang coba kamu luruskan dulu kakinya. Letakkan kaki kamu di atas bantal ini. Tapi, sambil berbaring," pinta Frank mengembalikan fokus Rina. Dan dia pun mengikuti apa yang dikatakan laki-laki itu padanya. Namun, Rina kembali meringis saat kakinya dia coba angkat ke atas
"Pelan-pelan supaya tidak sakit," ucap Frank memperingatkan. Dia terus memperhatikan cara Rina mengangkat kakinya hingga gadis itu benar-benar merasa nyaman. "Masih terasa sakit?"
"Masih sedikit," jawab Rina.
"Tunggu sebentar. Aku keluar dulu mencari obat pereda nyerinya." Rina pun mengiakan permintaan tersebut dan setelah mendapatkan jawaban darinya, laki-laki itu lantas melesat pergi meninggalkan Rina sendirian di ruangannya.
Selama kepergian Frank, Rina tidak dapat melakukan kegiatan apa-apa selain berbaring. Dirinya mengikuti apa yang laki-laki itu katakan dengan baik. Berbaring dengan salah satu kakinya berada ditumpukan batal.
Selang beberapa menit kemudian, Frank datang dengan membawa obat dan beberapa peralatan saat Rina hampir saja terlelap.
"Tidur ya?" kata Frank begitu melihat Rina mengerjap-ngerjapkan matanya.
‘Maaf, aku ketiduran," aku Rina tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Lanjutkan saja tidurnya. Justru itu baik untukmu."
"Maksudnya?"
"Itu salah satu cara meredakan sakit di kaki kamu. Kamu istirahatkan kaki kamu beberapa jam ke depan."
"Jadi, maksud kamu aku harus seperti ini selama berjam-jam?"
"Iya, benar. Paling tidak dua jam."
"Dua jam? Tapi, aku tidak bisa melakukannya kalau selama itu."
"Kenapa? Kamu terburu-buru?"
"Iya, aku terburu-buru. Aku harus menemui seseorang."
"Kamu minta dia datang ke sini saja kalau begitu. Kalau kamu tetap memaksakan diri itu akan membuat kakimu semakin membengkak," ujar Frank sambil terus meletakkan potongan-potongan es batu ke handuk yang terbentang di tangannya lalu membungkusnya dalam sekali gerakan.
Frank kemudian duduk di samping Rina dan meletakkan buntalan handuk itu di kakinya yang membengkak. "Ini akan membantu mengempiskan bengkaknya," kata Frank menjelaskan.
Sekali lagi Rina memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu pada kakinya. Frank melakukannya dengan sangat telaten. Apa setiap laki-laki selalu berbuat seperti yang dia lakukan? Atau hanya dia saja yang mempunyai sikap seperti itu? Pasti menyenangkan jika memiliki pasangan yang seperhatian itu. Dan tanpa sadar Rina pun mengembangkan senyum tipisnya.
Lalu digeleng-gelengkan kepalanya begitu sadar akan apa yang dia pikirkan tadi. Dehaman kecil pun diloloskannya untuk mengusir pemikiran tersebut.
"Eeehemm ... bukannya, kalau menyembuhkan kaki terkilir itu di urut, ya? Kenapa kamu tidak melakukannya?" tanya Rina mengalihkan andai-andai yang dia miliki.
"Tahu dari mana kamu kalau kaki terkilir itu disembuhkannya dengan di urut?"
"Aku lihat dari film-film. Biasanya begitu," jawab Rina dengan polos.
"Kamu pikir semua orang bisa melakukan tehnik urut yang baik dan benar?"
"Siapa tahu kamu bisa melakukannya, kan?"
"Kenapa? Kamu ingin aku melakukan itu?" Frank balik bertanya pada Rina diikuti kepalanya yang bergerak untuk menatap gadis tersebut. Kini kedua mata mereka saling tatap satu sama lain. Mencari jawaban atas pertanyaan masing-masing. Dan untuk seperkian detik, Rina tidak berkedip sedikit pun saat mendapati mata biru itu menatapnya intens.
Tidak ingin semakin terhanyut oleh pesona yang dimiliki laki-laki itu, akhirnya Rina memutus lebih dahulu tatapannya. Lalu mengarahkan netranya ke arah lain untuk menghilangkan gugup yang tiba-tiba menyerangnya. Kenapa aku baru tahu kalau dia memiliki mata seindah itu?
Kemudian Rina berdeham setelah berhasil menguasai dirinya kembali. "Bukan seperti itu. aku hanya ingin tahu kenapa kamu tidak melakukan tehnik itu untuk menyembuhkan kaki terkilirku? Kalau dengan tehnik itu aku bisa kembali berjalan lagi bukankah itu lebih baik?"
"Aku tidak berani melakukannya. Kaki kamu sudah bengkak. Salah pijat bisa-bisa akan semakin mencederai dan semakin lama kamu bisa jalan lagi kecuali kamu mau pakai kruk. Tapi, aku yakin kamu tidak mau berjalan pakai kruk, kan?"
"Jadi, yang ada di film-film itu tidak benar?"
"Mungkin," jawab Frank pendek. "Kalau besok masih belum ada perubahan, kamu periksa ke dokter, ya?"
"Harus ke dokter?"
"Iya, kalau nyerinya tidak hilang-hilang juga. Supaya bisa ditangani ahlinya."
"Semoga ini hanya cedera biasa," lirih Rina namun masih terdengar di telinga Frank yang masih terus mengompres kakinya.
"Ya, semoga hanya cedera biasa," timpal Frank. "Sayang kalau kaki secantik ini harus menggunakan kruk dan dibebat perban elastis."
"Eh? Maksud kamu apa?"
Frank hanya tersenyum tipis mendengar respon Rina. Wajah gadis itu -yang posisinya berubah menjadi duduk bersandar- kini terlihat memerah setelah dirinya mengucapkan kalimat tersebut.
"Maksudku, kamu pasti akan kesulitan melakukan aktivitas kamu jika harus pakai kruk. Ruang geraknya jadi terhambat, kan?" terang Frank berkilah. Dirinya tidak ingin membuat gadis yang ada di dekatnya semakin tersipu-sipu. Meski dia juga sebenarnya menikmati pemandangan tersebut. Rasanya wajah itu tidak begitu asing dalam ingatannya.
"Oh, itu. Iya aku tidak mau kalau harus pakai kruk. Pasti akan susah ke mana-mana. Dan akan merepotkan banyak orang. Dan omong-omong, terima kasih banyak sudah membantuku tadi. Maaf, jadi merepotkan kamu," ucap Rina tulus.
"It’s oke. Kebetulan aku lewat. Tapi, sebenarnya kamu mau ke mana?"
"Aku mau menemui temanku. Dia sedang latihan balet di sini."
"Oh ... janji pulang bersama?"
"Bukan. Aku ingin melihat dia latihan balet."
"Sering latihan di sini teman kamu?"
"Dulu iya, sering di sini latihannya. Tapi, setelah dia pindah ke luar kota baru hari ini dia kembali ke sini lagi."
"Jadi, sudah sering datang ke sini?"
"Iya."
"Ya sudah, kalau begitu kamu tunggu teman kamu di sini saja. Kamu hubungi dia. Setelah latihannya selesai biar dia menyusul ke sini."
"Tapi, ini ruangan kamu."
"Terus kenapa kalau ini ruanganku? Kamu merasa sungkan? Sudah tidak perlu memikirkan itu. Tidak apa-apa. Minta ke sini saja nanti. Sekarang kamu telepon dia," pinta Frank seraya memberikan senyumannya kepada Rina.
Rina kembali dibuat terpesona oleh sikap Frank yang menurutnya sanggup membuatnya meleleh. "Kenapa dia bisa sepercaya ini padaku? Padahal tidak kenal sama sekali," gumam Rina lirih. Dan tanpa Rina sadari Frank mendengar apa yang dia ucapkan. Meski samar-samar laki-laki itu masih bisa mendengarnya.
"Kalau begitu boleh aku berkenalan dengan kamu?" ajak Frank tiba-tiba seraya mengulurkan tangannya ke hadapan Rina. Rina yang tidak menyangka dengan ajakan tersebut hanya menatap tangan itu dengan tatapan tidak percayanya. Benarkah ini? Benarkah laki-laki itu mengajaknya berkenalan?