Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 9

BAB 9

"Bersin kamu ganggu momen aja," geram Selena.

Lelaki yang ditatap sang istri hanya memamerkan seringai, ia menangkupkan tangan tanda minta maaf.

"Maaf, udah gak bisa ditahan Sayang," balas lelaki tersebut.

Melihat adu mulut sepasang suami istri itu, Ica hanya memutarkan bola mata malas.

"Udah berantemnya? Mau lanjut gak," seru wanita tersebut.

Seruan Ica membuat dua manusia itu langsung memandangnya lalu berucap sambil mengangguk.

"Iya, Oma. Ayo lanjutin, kami penasaran soalnya," balas keduanya.

Wanita paruh baya itu sekilas melirik Amara lalu menatap dua manusia dihadapannya sekarang.

"Ayo kita nikahin Amara sama Kean," seru Ica penuh semangat.

Mendengar perkataan perempuan itu, Amara membulatkan mata bahkan langsung berdiri. Semua langsung memandang wanita tersebut, kedua orang tua Kean menganggukan kepala. Sedangkan lelaki yang namanya disebut segera mendekat dan mengambil handphonenya.

"Apaan sih, Oma. Main nikah-nikahin aja! Emang zaman apa sekarang."

Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung menatap tajam kedua orang tuanya dan Amara.

"Kalian juga, kenapa main setuju-setuju aja! Kalian aja baru kenal dia, dan belum tau asal usul wanita ini."

Setelah berkata demikian Kean menunjuk wajah Amara membuat wanita tersebut menunduk.

"Kamu juga, ngapain diam aja! bukannya nolak," cecar cucu Ica.

Sedangkan Sang Oma langsung menangkap jari Kean yang menunjuk wajah Amara. Dia menatap geram pada lelaki tersebut.

"Jaga sikapmu! Emang Oma pernah ngajarin ini, ha!" omel wanita tersebut.

Kean mendengkus mendapatkan omelan dari wanita yang sangat ia sayangi, lalu lelaki itu hanya menatap tajam Amara.

"Eum ... Oma. Bener kata Tuan, jangan main nikah-nikahin aja. Mara gak pantes bersanding sama Tuan Kean. Lagian Mara belum selesai masa iddah," ujar Amara pelan.

Perempuan itu memainkan jarinya dengan wajah masih menunduk, sedangkan kedua orang tua lelaki itu terkejut mendengar perkataan Amara.

"Ka-kamu janda? Tante kira masih gadis. Karna masih keliatan kaya anak baru lulus SMA," lontar Selena.

Dia semakin menundukan kepala, sedangkan Kean tersenyum sinis melihat hal tersebut. Amara segera menganggukan kepala karena tak sanggup bersuara, bahkan matanya berkaca-kaca. Walau dia sudah menguatkan, karena status ini pasti dipandang rendah orang lain.

"Tapi gak papa, kalau pilihan Oma pasti oke," lanjut wanita tersebut.

Kean langsung menatap tajam sang Ibu, merasakan hawa mencengkram membuat wanita itu memeluk tubuhnya sendiri.

"Oke-oke aja, Kean yang gak setuju, Mah!" ketus lelaki tersebut.

Amara langsung menimpali perkataan lelaki yang berstatus cucu majikannya.

"Aku juga gak mau, Oma," ucap Amara kembali.

Pria tersebut melirik sinis wanita yang dijodohkan padanya, lalu melangkah pergi meninggalkan semua. Karena merasa sudah selesai urutan dengan kedua belah pihak menolak. Tapi ia lupa jika sang nenek sangat keras kepala.

"Oma ...."

Amara memanggil Ica dengan suara sendu, yang dipanggil itu hanya menghela napas.

"Nanti kamu pikirkan pelan-pelan aja, Mara. Jangan langsung memutuskan aja," lontar wanita paruh baya tersebut.

Amara ikut menghela napas, ia kini memilih mengangguk dan memilih memikirkan cara menolak tanpa menyakiti hati wanita yang memberikan dia tempat tinggal dan pekerjaan.

"Ya udah, kamu cuci piring gih! Nanti setelah itu istirahat."

Perempuan tersebut segera melaksanakan perintah, ia mengambil piring kotor dan semuanya untuk di cuci. Banyak hidangan yang telah habis, ada beberapa tersisa dan lekas dia rapikan.

"Oma ... ajak aku jalan-jalan, udah lama aku gak ke sini," rengek Selena.

Sang anak langsung memeluk lengan Ica, baru sadar mendengar panggilan dari perempuan tersebut. Wanita itu mengerucutkan bibir kesal.

"Aku ibumu, bukan nenekmu! Kenapa ikut-ikutan manggil Oma," gerundel Ica.

Selena menggaruk kepalanya.

" Hehe ... maaf, Oma. Lagian udah kebiasaan karena dulu mengajarkan Kean buat memanggilmu begitu," balas perempuan itu.

Dia langsung terdiam, mengingat kenangan saat masih mengurus putranya.

"Dasar! Aku jadi terdengar semakin tua," desisnya.

Sang Ibu langsung tertawa saat melihat wajah anaknya yang berubah pucat

"Hahaha ... aku hanya bercanda, Sayang. Ayo nanti kita jalan-jalan bareng," lontar Oma Ucap.

Ia menautkan jemari mereka lalu melemparkan semuanya. Selena mendekati bibir ditelinga sang Ibu dan membisikan sesuatu.

"Bareng Kean ya, aku rindu bersamanya," bisik Selena pelan.

Oma Ica menganggukkan kepala, Selena langsung memeluk Ibunya. Sedangkan suami wanita itu hanya diam menatap sang istri.

"Iya, kita jalan-jalan bareng, termasuk Amara."

Matahari semakin terik, bahkan diatas kepala mereka. Seperti memberitahu jika dirinya sangat bersinar terang menemani manusia. Kean dan sang Papa bersidekap bersandar di kendaraan roda empat. Memandang pintu rumah yang masih tertutup, kedua tengah menunggu para wanita yang sedang bersiap.Mereka mengembuskan napas lega bersama saat melihat makhluk yang ditunggu keluar.

"Lamban banget," gerutu lelaki tersebut.

Ketiga perempuan itu segera mendekati mereka lalu Oma Ica mendengus dan mengangkat tas untuk menggeplak kepala Kean membuat pria tersebut memekik karena sakit.

"Oma, kalau Kean geger otak gimana," keluh pria tersebut.

Pria tersebut mengusap kepalanya, mereka terkejut dengan gerakan Ica. Bahkan Selena segera mendekati dan hendak mengusap kepala Kean. Tetapi, lelaki itu langsung minggir menjauh, membuatnya tersenyum kecut lalu melangkah mundur kembali.

"Jangan kasihani pria ini, dia sangat menyebalkan!" seru Ica.

Dia memandang sinis cucunya, membuat Kean menghela napas dan segera membukan pintu mobil agar mereka masuk.

"Ayo cepat masuk! Apa kalian mau kulitnya jadi gosong."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel