Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 8

BAB 8

Sang Ibu menepuk pundak anaknya lalu menggeleng, ia menggenggam jemari Selena dan mengajak masuk. Suami wanita itu segera mengikuti dibelakang. Terlihat di ruang makan sudah ada Kean dan Amara yang sedang menyendokan hidangan untuk pria tersebut.

"Ayo makan," ajak Ica.

Wanita yang paling berumur diantara dua perempuan itu segera mengajak Selena untuk duduk di kursi. Senyuman terus terukir di bibir Ica, ia segera mendaratkan bokong di samping sang anak.

"Makanan ini ...."

Perempuan yang biasanya makan hidangan mewah ini menatap ragu makanan yang berada di atas meja. Lalu Kean hanya tersenyum sinis, lelaki itu segera mengisi perutnya.

"Udah, kalian makan aja! Pasti kalian bakal ketagihan," lontar wanita tersebut.

Mendengar ucapan sang Ibu yang tak mau dibantah itu, Selena menghela napas. Ia menganggukan kepala lalu mengajak suaminya pula untuk mengambil makanan tetapi hanya sedikit.

"Amara ...," panggil Ica.

Wanita itu menghentikan langkah kaki kala mendengar panggilan Ica. Baru saja perempuan tersebut hendak pergi dan tidak mau menganggu moment pertemuan mereka.

"Ayo ikut makan!" lanjut perempuan itu.

Amara menggelengkan kepala, sedang Selena dan suaminya mengeryitkan alis menatap perempuan asing dihadapan mereka.

"Aku belum lapar, Oma. Nanti aja," tolak perempuan tersebut.

Ica mendelik mendengar penolakan perempuan tersebut. Dia menatap kesal dan bersidekap.

"Kamu harus menuruti perkataan Oma, pokoknya jangan membantah, Sayang ... ayo cepat duduk dan makan bersama," serunya.

"Siapa gadis ini, wajahnya gemesin banget sih. Berasa ngeliat diriku saat muda dulu," jerit Selena dalam hati.

"Kalau dia disentuh perawat dan make-up pasti makin cetar," lanjutnya.

"Rasanya pengen jadiin mantu nih cewek, cocok sama anakku ini," batin suami Selena.

Mendapatkan perintah yang tidak bisa ia bantah membuat Amara mengembuskan napas, lalu wanita itu menganggukan kepala dan mendaratkan bokong di samping sang majikan.

"Baik, Oma."

Ica mengulum senyum melihat Amara yang kini ada di sampingnya dan menyendok makanan tak lupa izin dulu dengan sang majikan. Sedangkan Kean, lelaki itu seperti hidup di dunia sendiri, dia terus menyuapkan hidangkan ke mulutnya.

"Oma," panggil Selena.

Ibu wanita itu langsung menoleh dan menaikan alis.

"Iya."

Selena menarik napas terlebih dahulu, karena wanita itu hendak mengeluarkan kata-kata yang lumayan panjang.

"Kata Oma, kan beberapa hari lalu ketabrak, sekarang udah baikan belum? katanya mau kasih tau siapa yang nolongin, Oma."

Wanita paruh baya itu menghela napas dan menggelengkan kepala.

"Kamu ini! lagi ngomong atau lagi dikejar setan sih, gak ada remnya sama sekali," keluh sang Ibu.

Anak perempuannya itu hanya membalasan dengan senyuman kecil yang memamerkan sedikit gigi.

"Maafin Selena, ya Oma," lontarnya.

Dia mengulurkan tangan dan memegang jemari sang Ibu.

"Kata Oma kan beberapa hari lalu ketabrak, sekarang Oma gak papa'kan?" tanya Selena kembali.

Oma Kean ini menganggukan kepala lalu menepuk pelan lengan sang Putri.

"Iya, gak papa kok. Untung ada Amara yang nolongin," balas perempuan itu.

Wanita itu memegang pundak Amara, sedangkan perempuan tersebut menoleh dan mengulum senyum kecil.

"Makasih ya, Mara. Kamu udah nolongin Ibuku," lontar Selena.

Kini perempuan paling muda diantara mereka itu menatap Selena. Dia langsung mengangguk tanda mengiyakan.

"Sama-sama, Nyonya. Kita sesama manusia saling membantu."

Selena mengulum senyum saat mendengar balasan Amara yang suaranya sangat enak di dengar.

"Kamu gak perlu panggil aku, Nyonya. Cukup Tante Sele aja," kata perempuan tersebut.

Amara yang hendak mengeluarkan kata penolakan langsung bungkam saat mendengar perkataan Selena lagi.

"Tante gak nerima penolakan ya, kamu harus manggil Tante Sele jangan Nyonya!" ucap Ibu Kean.

Amara menghela napas lalu menganggukan kepala.

"I-ya, Nyo ... Tante Sele."

Selena tersenyum geli melihat Amara yang berucap sangat gugup.

"Jangan gugup gitu, Sayang. Tante gak gigit kok."

Amara segera menunduk mendengar itu, sedangkan Kean yang mendengar percakapan mereka hanya menggelengkan kepala. Setelah makanan di piring telah tandas, ia segera bangkit dari kursi lalu pamit dan melangkah menjauh.

"Kenapa kalau ada kami kamu selalu ingin segera menjauh, Nak," gumam selena.

Dia menatap sendu kepergian sang anak, memandang punggung Kean dan perlahan menghilang dari penglihatan.

"Bersabarlah, lagi. Nanti juga ada waktunya, kamu harus pelan-pelan mendekati Kean, makanya kalian jangan terus sibuk bekerja," seru Oma Ica.

Kini pandangan Selena menatap sang Ibu yang mengelus lembut bahnya lalu ia segera mengangguk dan mengulas senyum kecil.

"Iya, Sayang. Kita harus lebih bersabar."

Suami Selena langsung menggenggam jemari sang istri untuk menguatkan.

"Kami berusaha biar gak terlalu sibuk kerja, Bu. Tetapi kerjaan perusahaan sangat menumpuk," ucap menantunya pelan.

Ica menghela napas, dia paham jika menantu dan anaknya tidak ingin keluarga mereka kembali di ambang kehancuran.

"Oma ... Kapan Selena bisa merasakan mendekap dia dalam pelukanku, seperti anak lain mencurahkan isi hati pada Ibumu. Kean terlihat sangat jauh di depan mata, ini salahku karena harusnya kerja sambil merawatnya."

Melihat anaknya menangis, Ica segera mendekap wanita itu ke dalam pelukannya. Air mata Selena menetes dan membasahi baju sang Ibu.

"Jangan nangis, dimana Selenaku yang begitu kuat. Kamu udah berjanji gak akan menangis lagi kan," lontar sang suami.

Lelaki itu kini beralih ke belakang sang mertua, ia perlahan mengusap air mata yang menetes ke pipi perempuan sangat dia cintai.

"Aku orang tua yang gak berguna," gumam Selena pelan.

Ica melepaskan dekapan pada anaknya, ia berusaha agar tidak meneteskan air mata.

"Udahlah, jangan nangis terus kamu jadi jelek tuh. Liat make-up mu luntur," seru Ica.

Selena memajukan bibirnya mendengar perkataan sang Ibu. Sedangkan Ica terus menatap perempuan yang dilahirkan dan lelaki yang di samping kini sudah duduk di tempatnya kembali.

"Oma mau ngomong serius sama kalian berdua."

Mendengar perkataan sang majikan, Amara sefera bangkit dari duduk. Dia sejak tadi sangat tidak nyaman, dan gak enak pada keluarga Ica.

"Oma," panggilnya.

Mendengar perempuan yang menolongnya memanggil, ia segera menoleh.

"Ada apa, Sayang?"

Ica mengerutkan kening melihat riak tidak nyaman terlihat di wajah Amara.

"Mara pamit ya, Mara udah selesai makan."

Perempuan tersebut segera menggeleng mendengar perkataan Amara, membuat wanita tersebut tanpa sadar menghela napas.

"Kamu jangan pergi dulu, Oma juga mau ngomong sama kamu."

Larangan perempuan yang ia tolong, membuatnya kembali mendaratkan bokong ke kursi. Sedangkan Ica mengulum senyum, manusia yang paling tua diantara mereka kini menjadi pusat perhatian semua.

"Mau ngomongin soal apa, Oma? kayanya serius banget. Apa jangan-jangan Oma mau ngusir Amara dari sini, karena Tante dan ... Om mau nginep di sini," lontar Amara.

Wanita itu berkata bertepatan Kean yang heneak kembali mengambil handphone yang tertinggal. Lelaki tersebut segera menghentikan langkah kaki karena tanpa sadar dia ingin mendengar pembicaraan mereka. Sedangkan Ica yang gemas mendengar lontaran Amara hanya membalas dengan cubitan dihidung perempuan yang menolongnya laku menggeleng.

"Gini ... gimana kalau Amara ...."

Ucapan Oma Kean terhenri karena mendengar suara bersin dari menantunya. Semua mata langsung tertuju ke arah suami Selena berada.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel