/Se•pu•luh/
Ashlesha beralih dari ruangan sang guru baru dengan terlalu cepat hingga kepala nya yang menunduk terantuk sesuatu. Untung itu sesuatu yang lunak sehingga setidaknya tak akan tercetak benjol di dahi nya.
Ia mengangkat kepala nya, menatap apapun itu yang ditabrak nya.
"Lo tuh ya. Udah pernah dibilangin buka tutorial jalan dulu, nggak percaya."
Gadis itu hanya memutar bola matanya jengah mendapati lagi, lagi, dan lagi Revaldo di hadapannya. Cowok itu selalu saja muncul-
Eh?
Sesuatu terlintas di otak pintarnya -aminkan saja dulu. Mengakibatkan tatapan jengah itu berubah penuh selidik juga kecurigaan.
"Lo ngapain di sini?"
"Jalan."
"Bego, bukan itu maksud gw." celetuk Asha ringan membuat Revaldo meringis. Gadis ini jago juga perihal tak memedulikan perasaan orang. Ya walaupun bukan karena sekedar celetukan kasar Revaldo jadi merasa sakit hati. Tapi bisa saja kan ada orang yang seperti itu. Dan Asha biasa saja nampaknya.
"Ya... Gw abis ekskul."
"Jadwal ekskul basket bukan hari ini." tembak Asha telak. Memukau Revaldo juga dengan pengetahuan Asha soal kegiatan non-KBM nya. Kalau saja posisinya bukan tengah dalam introgasi seperti ini, pasti gurauan iseng seperti siang tadi sudah terlontar.
“Gw nemenin temen gw ekskul.”
"Nemenin temen?" ulang Asha sengaja. "Owh, nemenin temen."
"Lo sendiri kenapa balik ke sini? Katanya ada bisnis sama tuh bule. Tadi juga gw liat lo pergi naik mobilnya. Kalian kemana? Ngapain?"
Asha mengernyit mendengar rentetan pertanyaan yang menjelaskan kekhawatiran Revaldo. "Lo nge-fans sama gw atau gimana sih? Ampe jadi stalker gitu." ucap Asha samasekali tak menjawab satupun dari rentetan pertanyaan Revaldo, dan malah langsung berbalik meninggalkan.
"Sha... Lo mau kemana lagi? Udah sore, balik." Ucapan Revaldo kali ini menarik perhatian Asha. Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap lawan bicaranya.
Dengus sinis terdengar dari nya, "Gw nggak suka sok perhatian yang modelnya kayak lo barusan-"
"Gw ngajak lo balik bareng, Sha." potong Revaldo mencoba mengagalkan emosi yang sepertinya hampir tersulut.
Namun salah pemahaman laki-laki itu. Asha bukan tipe gadis sensitif yang emosi atau merajuk hanya dengan hal-hal kecil. Hanya saja, persiapan mental harus benar disiapkan jika ingin menghadapi gadis ini. Jangan lupa, Ashlesha termasuk gadis penggemar sarkas.
Kekeh kecil keluar dari mulutnya yang baru saja berkoar sinis, "Apaan sih, ntar cewek lo marah. Drama labrak-labrakan. Gw sih ogah." Langkah tersebut samasekali tak terinterupsi. Meninggalkan hela napas kecewa dari laki-laki yang baru saja membuang beberapa jam kebelakang, yang sebenarnya hanya untuk menunggu gadis itu.
Salahkan dirinya. Untuk apa berlagak berkorban untuk seseorang yang bahkan bukan siapa-siapa. Tak ada yang meminta, tak ada yang memaksa. Jelas kan salah siapa?
*
Jika dipikir-pikir, aneh juga sikap cenayang receh nya itu. Ashlesha jelas tau jika Revaldo samasekali tidak menunggu teman nya. Ya walaupun ia tak memiliki bukti untuk menguatkan pemikiran nya barusan, hanya saja dari tingkah tengil yang tiba-tiba berubah ragu itu menyatakan sesuatu.
Masa iya dia nunggu gw? Dia siapa, gw siapa?
Gadis itu terbelalak dengan pemikirannya sendiri. Kemarin dan hari ini ia mengorbankan waktunya untuk menunggu Aksa. Memangnya Aksa siapa, dia siapa?
Gadis itu mengalihkan pikiran dengan memanfaatkan indra nya yang lain. Mengetuk-ngetukan ujung kakinya, menunggu kedatangan si pria menyebalkan. Dan untungnya, tak begitu lama Aksa datang. Tak memberi kesempatan Asha kembali menyiapkan rentet omelan.
"Saya besok harus laporan ke fakultas. Jadi absen dua hari. Makanya saya mau taruh barang-barang nya sekarang. Mungkin setelah itu baru kita bisa mulai dekor."
"Hah?"
Asha yang belum memusatkan kemampuan indra pendengarannya hanya melemparkan pernyataan ketidakmengertiannya yang malah mengundang kekeh Aksa.
Ah, bukan-bukan. Bukan pertanyaannya yang mengundang senyum Aksa. Namun semua tentang Asha lah yang memancing lengkung bahagia bibir Aksa.
"Kan saya sempet bilang kalau besok saya nggak ke sekolah. Itu karena saya harus laporan Kuliah Kerja Nyata ke fakultas. Saya baru akan balik lagi hari Jumat."
"Ih hari kejepit, saya sih males masuk."
Aksa membukakan pintu untuk gadis nya. Bukan ingin cepat-cepat pergi dan berpisah, namun ia memikirkan matahari yang kian tenggelam meninggalkan singgasana nya. Ia tak mau Trisha jadi khawatir dan malah tak mengizinkannya kembali keluar bersama putri semata wayang nya.
Seperti biasa setelah memasuki mobil, Aksa mengulurkan tangan untuk memasangkan seatbelt pada gadis pelupanya ini. Hal itu tak menjadi masalah, Aksa suka melakukan hal ini. Sebab secara tidak langsung, ia diberi kesempatan untuk menatap wajah manis kesukaannya itu lebih dekat untuk beberapa waktu kan. Hanya saja ia sedikit khawatir jika kebiasaan ini dibawa saat Asha tengah tak bersama nya. Sekedar pesan sepertinya tak terlalu berguna jika sampai sekarang saja Asha masih melupakannya.
"Kalau gitu kita bolos bareng aja."
"Idih enak banget ngomongnya. Lagian kan hari kejepitnya buat Kak Aksa doang, saya tetep sekolah." balas gadis itu bukan mempermasalahkan ajakan bolosnya, namun malah soal teori hari kejepitnya.
"Ya udah berarti Sabtu-Minggu aja kita pergi nya." saran Aksa bisa saja mengambil sela.
Kesimpulan sepihak itu berhasil menarik pandangan sang lawan bicara. Alisnya bertaut, selaras kalimat pertidaksetujuan yang dilayangkannya. "Sejak kapan ada ajakan pergi coba? Tapi saya juga nggak mau pergi, gimana dong? Sabtu-Minggu saya pengen nyantai di rumah."
"Tapi saya juga nggak nerima penolakan, gimana dong?" ujar Aksa dengan sengaja memperagakan bagaimana gadis nya berbicara.
Tawa yang menghambur dari bibir nya, seketika membawa cuplikan kenangan mereka. Ke empat tahun lalu. Kala ruang panitia menjadi latar, dan seragam berbeda warna sama model menambahkan kehangatan antar kedua insan.
Adegan nya masih sama. Tawa di bibir sang adam, dan decakan kesal dari wanitanya. Alasan sepele yang rasanya memancing konflik yang sebentar lagi terjadi, hanya memperjelas bagaimana tatapan beraksen lebih itu saling terlempar.
"Kak Aksa mah..." ledek sang adam berulang. "Kak Aksa mah nggak bisa nepatin janji." cibirnya lagi merepetisi apa yang baru saja memancing emosi sang gadis.
"Ih emang Kak Aksa nggak pernah bisa nepatin janji!" omel gadisnya membenarkan apa yang direpetisi lawan bicaranya adalah sesuai fakta.
Tawa Aksa perlahan menyurut. Berniat mengubah atmosfer menjadi lebih serius demi menegaskan apa yang sebentar lagi ia katakan, "Tapi sekarang kamu bisa pegang janji aku yang satu ini. Nggak akan aku ingkarin sampai kapanpun."
Tatapan menantang yang diiringi gurat penasaran menarik senyum Aksa. "Aku akan kasih kamu hadiah paling spesial yang pernah kamu terima di ulang tahun kamu ke dua puluh satu."
Seperti tak begitu percaya dengan si pengingkar janji membuat Asha tanpa sedikit pun pikir panjang menanggapi setuju perjanjian itu. "Janji?"
"Janji."
