Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

/sem•bi•lan/

Tangan keduanya kini telah kembali bertautan. Entah sejak kapan, namun dapat dipastikan sejak saat itu pula jantung Asha berdegup tak karuan.

Asha bahkan lebih fokus berupaya menetralkan degup jantungnya daripada memperhatikan sekitarnya. "Kita dekor tema apa?"

"Eh? Terserah, Bapak."

"Sha..."

Asha sebenarnya juga tak menyadari panggilannya tadi, untungnya pernyataan kesal Aksa tadi membuatnya samasekali tak merasa bersalah. "Iya-iya, Kak Aksa."

"Ih tapi lebih cocok Bapak. Eh, atau Om aja?" Tawa menghambur dari bibirnya. Secara jahat terang-terangan tak memedulikan lelaki yang tengah mengambek di hadapannya.

Aksa pun memanfaatkan waktu menikmati manisnya senyum yang dirindukan. Ia memilih diam membiarkan senyum tersebut memamerkan kecantikannya.

Merasa diperhatikan, Asha akhirnya menghentikan tawanya. Senyum manis yang berubah salah tingkah hanya memancing senyuman Aksa.

"Ish ngeliatinnya gitu banget."

"Gitu gimana? Kan kamu yang duluan."

Asha mencebikkan bibirnya kalah. Pernyataan itu -seperti orang-orang pada umumnya- membuat Aksa balik mengalah. "Iya-iya. Yaudah, kita beli apa aja sekarang?"

"Um.. nggak tau. Terserah."

"Kan saya ngajak kamu karena mau minta saran kamu, Sha."

Asha akan saja mengedikkan bahunya untuk kesekian kali jika ia tak menangkap lampu tumblr yang tiba-tiba memunculkan ide iseng di otak kreatifnya.

"Berarti terserah saya?"

Anggukan dari Aksa membuat gadis itu tersenyum usil, "All over pink, gimana?" tanyanya sambil menunjuk lampu pink yang berkelap-kelip.

"Bantal sofa pink, taplak meja pink, teddy bear di sudut ruangan, lampu tumblr di sekeliling ruangan, wallpaper motif bunga?"

Ashlesha dengan sengaja menyebutkan beberapa hal barusan karena ia yakin Aksa tidak menyukainya tapi tidak akan menolak sarannya. Apalagi setelah pernyataan 'terserah' barusan.

Benar saja, tatapan segan Aksa amat kontras dengan anggukan persetujuannya. "Ya... terserah kamu."

Tawa gadis itu lagi-lagi pecah. "Saya bercanda kali, Kak. Lagian kalau mau nolak ya nolak aja. Lucu banget sih, Kak Aksa."

Niat Aksa mendengus karena candaan gadisnya, berubah kembali menjadi senyum. Tangannya tanpa sadar terulur menuju pipi mulus Asha. Jarinya yang telah mendapat kenyamanannya, tanpa izin mengelus lembut pipi tersebut. Bisa-bisanya menyetrum Asha dengan sengatan aneh hanya dengan satu sentuhan disertai senyuman.

"Kamu juga lucu, Sha."

*

Yang awalnya kegiatan jalan-jalan mereka dapat dibilang cukup riang, kini sepertinya dapat dikelompokkan menjadi amat hangat. Tawa murni Asha kian mengiringi. Bukan tanpa alasan, si iseng Asha tentu dengan mudah tertawa karena ketidakberuntungan lelaki di hadapan nya.

Ya, sayangnya tadi ada balita yang menumpahkan es krim di kemeja seorang Angkasa Virgo Zeromme. Alhasil lelaki itu harus menahan lengket selama berbelanja.

Sebenarnya itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Apalagi melihat timbal balik yang didapatkannya. Ketumpahan es krim bukan suatu hal besar jika berjalan-jalan dengan Asha menjadi bayarannya.

Hanya saja kini ia ingin lebih mendalami peran dengan berlagak kesal agar senyum dan tawa itu tetap bertahan di wajah manis yang ia rindukan.

"Baru dua jam di Mall. Nggak seru banget kalau langsung balik." ucap Asha secara tidak langsung meledek Aksa yang menurutnya ingin cepat-cepat kembali untuk mengganti pakaian.

Padahal Aksa sendiri tak peduli dengan pakaiannya dan rela berlama-lama demi bersama gadisnya.

"Kita kembali ke sekolah, Sha. Nggak langsung balik." balas Aksa cukup mengejutkan gadis itu.

Yang benar saja, ini sudah pukul lima sore dan mereka masih berniat kembali ke sekolah? Untuk langsung mendekor ruang kerja Aksa? Lalu ia akan pulang pukul berapa jika seperti ini ceritanya?!

"Hah, nggak besok aja?"

"Saya maunya hari ini."

Gadis itu dibuat berdecak kesal menanggapi keputusan sepihak lelakinya. "Seneng banget sih merintah."

"Asha, dari awal kan saya minta kamu menemani saya. Saya nggak berniat memerintah samasekali."

"Yaudah berarti saya yang merintah. Perintahnya itu, sekarang langsung pulang, nggak ke sekolah dulu."

Perdebatan kecil yang sebenarnya tak terlalu dibutuhkan itu sebenarnya bermakna lebih bagi Aksa. Entah ia terlalu membesar-besarkan atau bagaimana, namun kini ia selalu bersyukur atas perkembangan kecil hubungannya dengan Asha. Setidaknya gadis itu mulai menerimanya kembali.

"Memangnya ada apa di sekolah sampai kamu kekeh nggak mau ke sana?"

"Enggak ada apa-apa sih." ujarnya berubah santai, melupakan argumen membara nya barusan.

"Ih tapi kalau ke sekolah lagi, mau pulang jam berapa? Saya belum izin Mama, Kak."

Bukannya melemparkan kalimat menenangkan, Aksa malah dengan tidak pedulinya menarik tangan gadisnya menuju parkiran sambil sebelumnya dengan sengaja, "Nggak peduli, nanti juga kamu yang kena omel."

Keadaan berbalik sepertinya. Bukan lagi Aksa yang ngambek karena es krim yang tumpah di kemejanya. Kini Asha yang setia membungkam mulutnya dan bersidekap sinis.

Buktinya sampai mereka kembali tiba di sekolah pun Asha berupaya meninggikan dagu nya angkuh agar akting marahnya sesuai dengan gelarnya sebagai anggota FKP.

Aksa lebih dulu turun, dan seperti biasa membukakan pintu untuk gadisnya. Kini ia terkekeh menghadapi anak kecil di depannya. "Makin lama ngambeknya, makin lama pulangnya."

Ucapan itu berhasil membuat Asha membuka mulut, mendesis kesal. Sayangnya kini pendalaman peran marahnya bertolakbelakang dengan gerak tubuhnya yang tanpa sadar mengambil alih beberapa barang belanjaan dari tangan penuh Aksa.

Sesaat Asha bersyukur keadaan sekolah telah sepi sehingga ia tak perlu begitu was-was dengan kecurigaan yang mungkin saja muncul. Seapatis-apatisnya Asha, ia juga tidak mau mendengar namanya kotor karena kasus bertanda kutip dengan seorang guru.

"Kenapa nggak besok aja sih? Kan kalau ribet bisa ditinggalin aja di mobil."

Aksa membuka pintu ruangannya sebelum menjawab pertanyaan gadisnya. "Karena besok saya nggak akan ke sekolah."

"Hah? Kak Aksa ngajar di sini cuma tiga hari?"

"Tujuan saya ke sini kan menemui kamu. Dan ternyata kamu nya belum siap saya ajak menikah. Ya, sekarang saya lebih baik kembali menyelesaikan studi saya." ujar Aksa serius.

Raut wajah Asha berubah lemas. Kan! Sudah diperingatkan jangan berani-berani cepat jatuh hati-

"Saya bercanda, Sha."

Tangannya terulur menarik gadisnya masuk dan menutup pintu. Ia sendiri tak sadar telah mengatakan perihal pernikahan di sekolah, pada Asha yang notabene hanya muridnya. Gadis itu yang akan menerima stereotip dari masyarakat sekolah masalahnya.

"Saya bakal lanjutin studi saya. Tapi nggak sekarang. Dan saya juga nggak akan lagi ngulangin kebodohan saya dengan ninggalin kamu tanpa kepastian."

Asha yang tadinya menunduk, mengangkat pandangannya. Mata keduanya beradu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Asha kembali mengalihkan tatapan karena jantungnya yang tak bisa diajak berkompromi dengan suasana ala-ala romantis seperti ini.

"Saya nggak akan pergi sebelum kamu menerima ajakan menikah saya."

Bukan menanggapi, Asha malah berbalik. Berpura-pura sibuk meletakkan barang bawaannya. "Kalau gitu mah nggak usah diterima aja." ucapnya kecil.

Indra pendengaran Aksa masih mampu menangkap kalimat barusan sehingga kekehan kecil keluar dari mulutnya. "Lalu kita menikahnya kapan kalau begitu?"

Pipinya bersemu. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan kembali mereka, Aksa berhasil benar-benar menciptakan rona merah menggemaskan di pipi gadis incarannya.

"Apaan sih, Kak. Tadi Kak Aksa bilang kalau akan pergi setelah aku nerima. Berarti-"

"Oke, saya revisi kalimat saya tadi. Saya nggak akan pernah lagi pergi, dan akan tetap menikah dengan kamu gimanapun ceritanya."

Melupakan bagian kupu-kupu berterbangan dari perutnya barusan, Asha kini kembali ke watak alaminya, songong. Ia melipat tangan di dada disertai tatapan menantangnya.

"Kalau saya nggak mau gimana?"

"Harus mau."

"Kalau saya tetep nggak mau?"

"Saya paksa."

Jawaban santai itu membuat si penanya mendesis. "Kalau... apa lagi ya?" monolognya sambil mencoba memikirkan hal yang tak bisa dijawab oleh lelaki ini. "Kalau saya maunya nikah sama orang lain gimana?"

"Saya larang."

"Ih, emang Kak Aksa siapa?"

"Calon suami kamu."

Gadis itu mendesah kesal karena lagi-lagi gagal beradu debat dengan seorang Aksa.

"Hubungannya masih guru-murid aja debat tiap saat. Gimana kalau suami-istri coba?"

"Saya juga nggak tau. Ayo menikah biar kita sama-sama tau."

"Tau ah." Sebenarnya masih segunung argumen disiapkannya untuk menghadapi Aksa. Namun ia juga yakin kalau Aksa sudah sedia rentetan argumen untuk menghadapinya. Dan jika terus-terusan berdebat ia tak akan pulang cepat. Menghadapi omelan Mama nya juga bukan pilihan yang tepat.

Aksa yang cukup puas memenangkan perdebatan kali ini, ikut menyusun barang-barang di sudut ruangan. Setelah dirasa pas, tanpa pikir panjang Aksa membuka kemejanya. Berniat mengganti kemejanya yang terkena noda es krim dengan baju ganti yang kebetulan ia bawa.

Asha yang tak sengaja menangkap tubuh atletis seorang lelaki dewasa di hadapannya, spontan menutup mata dan merutuk dalam hati karena perut kotak-kotak yang ternyata benar ada di bumi. Ia kira hal seperti itu hanya diciptakan demi iklan dan keperluan promosi.

Ah, itu tidak penting! Yang jadi masalahnya kini itu Aksa yang dengan santainya mengganti pakaian di depan Asha!

"Kak Aksa ih, kenapa ganti baju di sini sih?"

"Baju saya kena es krim, Sha. Lengket."

"Saya tau, tapi kan nggak harus ganti di depan saya juga!"

Tanpa rasa bersalah, Aksa kembali memancing perdebatan yang sepertinya menjadi candu barunya.

"Saya ganti baju di belakang kamu, bukan di depan. Kamu aja yang ngeliatin saya."

"Tau ah. Terserah."

Asha setia menutup matanya. Tak berniat mengecek apakah Aksa telah selesai atau belum walaupun hampir lima menit telah berlalu.

Sedangkan Aksa yang sebenarnya sudah selesai mengganti kemejanya dengan iseng hanya diam. Berdiri bersandar di mejanya sambil menatap Asha yang membelakanginya.

Hal seperti ini akan sedikit tidak mungkin terjadi lagi kan. Jadi biarkan Aksa menikmatinya sedikit lebih lama.

"Kak Aksa udah belom sih?"

"Udah atau belum coba."

Asha akhirnya berbalik setelah yakin Aksa benar sudah berpakaian. "Kalau mau ganti baju kan bisa suruh saya keluar dulu, Kak."

"Katanya nggak boleh merintah. Lagian emang saya larang kalau kamu mau keluar tadi?"

Gadis itu memincing. Tak rela kalah terus berdebat dengan Aksa. Dimana-mana kan perempuan yang menang.

"Ya, tapi kan..." Asha berdecak, bingung melanjutkan ucapannya. "Lagian kalau di ruangan ini ada CCTV gimana?"

"Memangnya kenapa kalau ada CCTV? Kan saya cuma mau ganti baju, kecuali kalau kita-"

"STOP!" Asha menutup telinganya, "Jangan dilanjutin. Nggak mau denger. Iya, Kak Aksa menang!"

Aksa berjalan mendekat sambil terkekeh. Menurunkan tangan gadisnya, "Emang saya mau ngomong apa?"

"Tau ah, terserah Kak Aksa." Kini Asha kembali mengambek. Ia keluar dari ruangan itu tanpa pamit, meninggalkan Aksa yang tidak mengejarnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel