Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7

HAPPY READING

***

Sophia mengikuti langkah Leon menuju restoran di sebelah café. Mereka duduk di table kosong, Sophia melihat Leon memesan beberapa makanan khas Belanda berupa haring yaitu ikan kering yang segar disajikan mentah di makan dengan irisan roti dan bawang merah. Texel lamb yaitu daging domba yang memiliki tekstur lembut dan gurih, dan menu selanjutnya Leon memesan erwtensoep yaitu sup kacang polong disajikan dengan sosis asap dan ham serta roti. Satu hal yang ia tidak bisa percaya, bahwa Leon bisa berbahasa Nederland dengan sangat baik. Sophia yakin, Leon sering ke Negara ini, dia terlihat sangat familiar melihat kota ini.

Sophia menatap Leon makan dengan tenang, sementara dirinya meneguk air mineral secara perlahan. Entah kenapa setiap berhadapan dengan Leon jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Sophia mengambil sendok dan memasukan makanan ke dalam mulutnya.

“Ceritakan kehamilan kamu kepada saya,” ucap Leon menatap Sophia dengan intens.

“Saya baru hamil tiga bulan Leon. Baru dua bulan yang lalu saya tahu kalau saya sedang berbadan dua.”

“Ya ceritakan saja apa yang telah terjadi selama saya tidak mengetahuinya. Saya perlu tau bagaimana proses kamu mengetahuina.”

Sophia menatap leon, ia menarik napas, “Awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang kehamilan saya. Saya kerja menjalani kehidupan yang normal. Saat itu kita sudah tidak bersama, saya berusaha untuk melupakan kamu dan segalanya tentang kita. Saya ke gereja berdoa kepada Tuhan, agar saya tetap keadaan sehat. Setelah itu saya menjenguk mama dibiara. Saya pun langsungg pulang ke apartemen, setibanya di apartemen perut saya kram, namun masih normal. Malam harinya saya flek selama dua hari. Saya pikir saya akan datang bulan.”

“Lalu saya tunggu berapa hari namun tidak kunjung mens lagi. Saya juga sedang hectic banget di klinik, sampai hari weekend pun saya masih kerja. Saya ingat betul waktu itu hari sabtu di mana saya sadar bahwa itu bukan cuma flek saja, melainkan flek yang menandai awal kehamilan.”

“Namun saya saat itu tidak mau panic, saya segera membeli tespack di apotek terdekat dan benar setelah saya cek dua garis pada alat tespack yang saya beli.”

“Saya langsung ke dokter obgyn memastikan apakah saya hamil atau tidak. Hasilnya benar, saya hamil. Kehamilan saya sudah enam minggu dihitung saat pertama kali haid.”

“Kenapa tidak memberitahu saya?”

“Buat apa?”

“Saya yang menghamili kamu Sofie, kamu pikir saya tidak akan bertanggung jawab.”

“Saya bukan teen pregnancy Leon, saya sudah berkepala tiga.”

“Entahlah saat itu pikiran saya, hanyalah saya yang harus mengetahuinya. Saya menjalani hari-hari saya seperti biasa, saya kerja seperti biasa, beraktifitas, tidur seharian di kamar saat weekend. Saya sadar kalau saya sedang berbadan dua. Lama kelamaan perut saya akan membesar dan semua orang akan mengetahuinya.”

“Akhirnya saya memilih Amsterdam sebagai tempat tinggal saya selama masa kehamilan. Kebetulan di sini ada Mila sahabat saya waktu di kampus dulu.”

“Dia tinggal di Amsterdam karena kedua orang tuanya tinggal di sini. Saya menghubungi Mila kalau saya mau tinggal di Belanda sementara waktu, dan Mila menyetujuinya. Dokumen-dokumen saya beres, saya lalu pamit kepada clara dan ibu saya.”

“Jujur, satu-satunya orang yang tahu kehamilannya adalah Clara. Karena saya merasa kalau adik sayaitu harus tahu apa yang terjadi pada saya, kenapa saya move Amsterdam. Ternyata Clara tidak amanah, justru dia membocorkan kepada kamu. Saya salah pilih orang untuk cerita, harusnya saya cerita kepada Bianca daripada Clara.”

“Saya justru bersyukur kalau Clara menceritakan kehamilan kamu kepada saya,” timpal Leon.

“Ibu kamu tahu kalau kamu hamil?”

“Sama sekali tidak. Saya merasa bahwa saya tidak pantas menceritakan kepada ibu saya. Karena ibu saya selalu membanggakan saya kepada teman-temannya bahwa saya adalah seorang dokter dan saya cerdas selama di sekolah. Namun yang terjadi saya hamil di luar nikah.”

“Kamu tau sendiri Negara Indonesia bagaimana, stigma agama di Indonesia yang mendarah daging. Anak yang hamil di luar nikah itu sangat hina.”

Leon mengangguk paham, inti dari cerita Sophia, “Terus tindakan kamu memilih pergi ke Belanda? Untuk menutupi kehamilan kamu? Mau sampai kapan kamu menutupinya? Toh, tetap ketahuan juga kan setelah anak itu dilahirkan. Atau kamu mau mengatakan kalau anak kamu itu, anak sahabat kamu.”

Sophia menghela napas, “Enggak gitu Leon. Saya sama sekali tidak berpikiran jauh seperti itu?”

“Lantas apa?” Timpal Leon.

“Saya ke Amsterdam hanya untuk ketenangan, saya butuh privasi, saya tidak mau orang ngomongin saya, Di Jakarta banyak mengenal saya. Saya ke Amsterdam mau menikmati kehamilan saya, itu saja tidak lebih.”

“Kalau kamu mau menikmati ketenangan kamu, harusnya kamu tidak bekerja, right? Kamu bisa menikmati kehamilan kamu di Bali, kamu bisa sewa villa selama setahun di sana, bukan malah bekerja di klinik. Banyak resiko terjadi kalau kamu bekerja seharian”

“Saya sudah bilang, kalau saya itu tidak bisa kalau tidak kerja Leon. Saya sudah terbiasa kerja, kalau nggak kerja itu rasanya aneh.”

“Sahabat kamu tahu kalau kamu hamil?”

“Iya, dia tahu.”

“Bagaimana tanggapannya.”

“Dia tidak bertanya lebih lanjut, karena dia tidak mau menganggu privasi saya. Mungkin next time dia akan tanya karena saya pun baru juga di Amsterdam. Dia hanya mengatakan kalau saya jangan terlalu lelah, dia turut menghawatirkan kondisi saya.”

“Saya ingin kenalan dengan sahabat kamu.”

“Untuk apa Leon.”

“Masa saya tidak boleh kenalan sahabat kamu. Satu-satunya orang yang bisa minta pertolangan jika saya dan kamu kenapa-napa, selama di Belanda.”

“Mulai besok kamu tinggal dengan saya.”

“What!” Sophia menghentikan makannya.

Leon memasukan daging ke dalam mulutnya, “Iya, kamu tinggal dengan saya. Selama di sini kamu tinggal bersama saya. Saya tidak ingin ada kata penolakan dair kamu.”

“Kamu tidak bisa memutuskan seperti itu Leon,” tandas Sophia.

“Apa yang tidak bisa! Tinggal pindah saja kan. Bukannya tadi kita sudah diskusi untuk tinggal bersama.”

“Kapan, obrolan yang mana?” Tanya Sophia.

“Di café, apa kamu tidak ingat?”

Alis Sophia berkerut, “Owh ya? Yang mana?” Mendadak Sophia tidak ingat dan ia tidak tahu obrolan yang mana yang dimaksud.

“Saya mengatakan kepada kamu, saya ikut skenario kamu, tanpa menikah tidak apa-apa. Kita membesarkan anak itu bersama-sama. Itu artinya kita tinggal bersama selama di Amsterdam.”

“Tapi obrolan kamu tadi tidak ada mengatakan tinggal bersamaa Leon.”

“Membersarkan anak-anak kita itu maksudnya tinggal bersama.”

Sophia mengambil air mineralnya ia meneguknya secara perlahan, ia memandang Leon. Ia tahu pria itu sudah mengambil keputusan yang bulat. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan tercongkol dikepalanya prihal pernikahan yang batal digelar. Namun ia berpikir ini bukanlah waktu yang tepat untuk dirinya bertanya.

“Kamu menginap di mana?” Tanya Sophia penasaran.

“Di Consevatorium Hotel, tidak jauh dari sini.”

Conservatorium? Oh God, Sophia hampir tidak percaya kalau Leon menginap ditempat yang sama dengan pria bernama Malvyn. Ini benar-benar gila menurutnya, Sophia menelan ludah. Ia melihat paperbag di atas meja. Ia berharap bahwa ia tidak lagi bertemu dengan pria bernama Malvyn.

“Atau kita tinggal di conservatorium selama berada di Amsterdam.”

“No, no, saya tidak mau Leon.”

“Okay, nanti saya cari apartemen untuk kita berdua.”

“Tapi Leon.”

“Saya tidak mau kamu menolaknya Sofie.”

“Kamu harus tau, kalau saat ini saya hanya punya kamu dihidup saya, tidak ada siapa-siapa lagi selain kamu.”

Hati Sophia seketika terhenyuh, rasanya ingin menangis sekarang juga. Sophia menundukan wajahnya, air matanya jatuh dengan sendirinya, ia dengan cepat menepisnya, bagaimana bisa Leon yang sempurna, terlahir dari keluarga harmonis, seketika mengatakan hanya ada dirinya di dunia ini. Sophia tau, perjuangan apa yang dilakukan Leon hingga datang ke Amsterdam menemuinya. Semua dia tinggalkan hanya untuknya.

“Saya harus ke klinik, sahabat saya pasti sudah menunggu saya,” ucap Sofie.

“Saya antar kamu hingga ke klinik.”

Sophia dan Leon keluar dari restoran, mereka melangkahkan kakinya menuju klinik dan memang jaraknya tidak terlalu jauh. Leon meraih jemari Sophia, ia genggam jemari itu dan ia selipkan jemari-jemari itu ke tangannya.

Sophia merasakan tangan hangan Leon menggenggamnya erat, mereka saling menatap satu sama lain.

“Saya sudah lama tidak pegang tangan kamu,” ucap Leon.

Sophia tidak menolak dan ia lebih meneruskan langkahnya, sepanjang perjalanan jantungnya tidak berhenti maraton. Ia merasa seperti ABG yang baru pertama kali berpegangan tangan dengan seorang pria.

“Kamu tinggal di klinik itu?” Tanya Leon membuka topic pembicaraan ia melihat sebuah klinik di sana ada benner bertulisan Smile Animal and Care.

“Iya, saya tinggal di atasnya.”

“Apa tempat tinggal kamu, mirip apartemen?”

“Iya, seperti apartemen studio.”

“Layak untuk ditinggali?”

“Come on, tentu saja layak Leon.”

“Saya ingin kamu dan anak kita hidup ditempat yang nyaman.”

“Menurut saya itu sudah nyaman.”

Akhirnya Sophia dan Leon kini tiba di depan klinik, “Thank’s sudah antar saya,” ucap Sophia.

“Jam berapa kamu selesai kerja?”

“Jam lima sore.”

Sophia tahu kalau ini bukanlah pertama kalinya Leon mengantarnya ke klinik. Dulu di Jakarta selama mereka bersama, Leon sering mengantarnya dan menjemputnya ke klinik. Sophia menatap Mila keluar dari klinik dan mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Itu temen kamu?” Tanya Leon.

“Iya.”

“Mila, kenalin ini Leon,” Sophia memperkenalkan Mila kepada Leon.

Leon mengulurkan tangannya kepada Mila. Mila memperhatikan Leon, ia hampir saja menjerit melihat sosok laki-laki tampan yang mirip Chris Evans. Rambutnya tersisir rapi, mengenakan kaos hitam berlengan panjang. Otot-otot bisepnya terlihat dibalik baju.

“Saya Mila,” ucap Mila, ia merasakan tangan Leon menyentuhnya.

“Senang berkenalan dengan anda,” ucap Mila lagi, ia tidak menyangka kalau Sophia memiliki temann setampan ini di Amsterdam.

Leon melepaskan tangannya, ia menatap Sophia berada di sampingnya, mereka saling berpandangan satu sama lain. Leon memasukan tangannya ke celana memandang Sophia.

“Jam lima saya ke sini lagi.”

“Iya.”

“Jangan terlalu lelah.’

Sophia mengangguk, “Iya.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel