BAB 8
HAPPY READING
***
“Itu Leon temen yang ngajak kamu nginap di hotel kemarin?” Tanya Mila kepada Sophia setelah kepergian Leon.
“Bukan.”
Alis Mila terangkat, “Owh ya? Jadi beda orang?”
Sophia mengangguk, “Iya, beda. Tadi itu mantan saya Leon. Dia baru datang dari Jakarta nyusul saya ke Amsterdam,” Sophia menjelaskan.
“Really?”
“Iya.”
“Kalau dilihat-lihat, Leon itu mirip Chris Evans ya. Sumpah, dia tampan sekali!” ucap Mila mengagumi ketampanan Leon.
“Baru kali ini saya melihat orang Indonesia setampan dia. Apa dia blasteran? Keturuan Spanyol? Keturunan Belanda?”
Sophia mengedikan bahu, “Mungkin dari kakek atau neneknya ada keturunan eropa, saya tidak tahu pastinya seperti apa, karena Leon tidak cerita sama saya, hingga dia bisa setampan itu.”
Mila mengambil coffee dari paperbag dan ia menyesap secara perlahan, ia menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap Sophia. Sophia dulu merupakan sahabatnya di kampus, Semasa kuliah Sophia secara fisik tidak ada yang menonjol, sama seperti dirinya. Mereka berdua bukan idola kampus, rambut hitam, kulit sawo matang, mungkin karena dulu tidak sempat perawatan, sering terpapar sinar matahari.
Sekarang ia akui kalau Sophia bisa di bilang sangat cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya coklat kemerahan, hidungnya kecil mancung, dan ia baru sadar kalau Sophie itu sangat cantik. Bentuk wajahnya sering ditiru orang-orang yang plastic surgery, namun ia tahu kalau wajah Sophia itu benar-benar belum tersentuh meja operasi.
Mila menyandarkan punggungnya di kursi sambil memperhatikan Sophia. Sekarang Sophia menjelma menjadi wanita yang cantik dan anggun, dia sangat mandiri dan cerdas. Katanya dia juga punya klinik hewan di Kemang, jauh lebih besar dari kliniknya di sini.
Mila mengalihkan pandangannya ke perut Sophia, perut itu sedikit membuncit dan ia tahu kalau Sophia hamil. Ia lalu sadar seolah otaknya bereaksi, Mila menutup mulutnya dengan tangan,
“Jangan bilang kalau Leon yang buat lo hamil.”
Sophia menatap Mila, ia meneguk air mineralnya, ia melihat beberapa anjing yang sedang dalam keadaan bius total setelah di steril oleh Mila. Ia tidak tahu apakah ia harus menceritakan ini kepada Mila atau tidak, atas kondisi menimpanya saat ini.
Sophia mengangguk, “Iya, Leon orangnya.”
Mila menutup wajahnya dengan tangan, benar dugaanya kalau Leon lah yang menghamili Sophia. Untuk apa datang jauh-jauh dari Jakarta ke Amsterdam, kalau bukan alasan ini.
“Kenapa sih nggak nikah aja? Sama-sama cinta kan?” Tanya Mila hampir tidak habis pikir.
Sophia me menghela napas, “Panjang ceritanya.”
“Ceritakan saja secara singkat apa yang terjadi.”
Sophia terdiam beberapa detik, “Saya dan Leon itu sangat dekat, bisa dikatakan sepasang kekasih. Hubungan saya dan dia sangat intens, Leon memang tipe saya, dia dewasa, dia cerdas, dia juga bukan pria toxic dan dia sangat open minded, dia pria perfect yang pernah saya temui di dunia ini.”
“Lalu hubungan saya dan dia kandas karena saya yang enggan menikah, lalu dia memilih wanita lain sebagai calon istrinya. Beberapa bulan berlalu pasca putus, saya hamil. Awalnya saya tidak mau menceritakan siapa-siapa atas kehamilan saya. Namun adik saya Clara yang memberitahu Leon, kalau saya hamil dan kabur ke Belanda.”
“Leon meninggalkan Jakarta saat satu Minggu pernikahannya di gelar.”
“OMG, serius!”
Sophia mengangguk, mungkin ini terdengar tidak masuk akal, bahwa Leon lari saat pernikahannya yang akan digelar. Ia juga tidak habis pikir kenapa Leon melakukan hal nekat seperti itu. Sebenarnya kasus batal menikah banyak terjadi, bahkan menjelang hari H si mempelai kabur juga sering terjadi.
“Terus-terus.”
“Dia ke sini, nemuin saya dan dia mengatakan kalau dia ingin membesarkan anak ini bersama-sama. Dia meninggalkan semua yang di Jakarta.”
“Terus kamu?”
“Saya suruh balik ke Jakarta menemui calon istrinya. Rasanya saya sangat berdosa sekali karena saya lah yang membatalkan pernikahan mereka.”
“Batal menikah sudah biasa Sofie. Harusnya kamu bersyukur kalau Leon bertanggung jawab atas kehamilan kamu. Lebih baik batal menikah dari pada menyesal seumur hidup.”
“Sekarang posisi kamu bagaimana? Kamu tinggal di Amsterdam atau balik ke Jakarta?” Tanya Mila.
“Saya belum siap balik ke Jakarta Mil, baru juga nyampe Amsterdam, masa mau balik lagi.”
“Okay, rencana kamu sama Leon seperti apa selama di sini?” Tanya Mila penasaran.
Sophia mengedikkan bahu, “Entahlah, saya juga bingung Mil.”
“Leon tinggal di mana sekarang?”
“Di Conservatorium.”
“Okay dia pasti sangat kaya.”
“Dari mana kamu.”
“Come on, orang-orang yang menginap di Consevatorium itu rata-rata Crazy Rich Sofie, permalam saja itu sudah menghabiskan puluhan juta. Buat apa menghabiskan hanya untuk tidur saja. Hotel-hotel murah juga banyak di sini. Dari cara dia berpakaianpun saya tahu kalau dia sangat kaya. Beruntunglah kamu dapat billionaire’s seperti Leon.”
“Leon sudah mengambil keputusan yang tepat, dia sangat gentleman, dia bertanggung jawab atas kehamilan kamu. Dari tatapannya, dia terlihat sangat menyayangi kamu. Sangat jarang ada pria seperti itu Sofie. Kamu harusnya bersyukur memiliki Leon.”
“Saya harap kamu dan Leon kembali saja. Lupakan saja tentang pernikahannya, kalian memang ditakdirkan bersama.”
“Saya mendungkung kamu kembali dengan Leon. Sudahlah, kamu jangan terlalu memikirkan bagaimana pernikahan dia yang batal. Sekarang focus kan hidup kamu, Leon dan anak kamu.”
“Saya memang tidak tahu apa-apa hubungan kamu dan Leon. Tapi saya harap kalian bersama.”
“Kalau kamu tidak mau, biarkan saya saja mengejar Leon.”
Sophia lalu tertawa, “Yaudah kamu kejar saja, sana.”
“Sayangnya Leon tidak mau dengan saya,” ucap Mila tertawa geli.
Tidak lama kemudian mereka mendengar derap langkah masuk ke arah klinik. Sophia dan Mila keluar dari ruangan. Mereka memandang seorang pria masuk ke dalam. Pria itu mengenakan celana chinos berwarrna dipadukan dengan kaos polo putih. Rambutnya tersisir rapi, di tangannya memegang paperbag berwarna hitam.
Mila tidak berkedip menatap pria berwajah tampan itu, rasanya hari ini ia bersyukur kalau dikelilingi pria-pria tampan yang mampir ke kliniknya.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu,” Mila bergegas menghampiri pria yang baru masuk itu.
Sophia tidak menyangka kalau yang datang adalah Malvyn. Oh God, pria itu lah yang tidur dengannya tadi malam. Pria itu tersenyum kepadanya.
“Selamat siang juga,” sapa Malvyn, ia menatap Sophia yang berdiri tidak jauh darinya, pria itu memperhatikannya dengan tatapn shock.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dokter Sophia,” ucap Malvyn.
Alis Mila terangkat, ia menoleh memandang Sophia, ternyata pria tampan ini mencari Sophia. Beruntung sekali hidup Sophia. Semua orang tau kalau beauty privilege memiliki hak istimewa. Orang cantik memang sangat mudah mendapatkan tempat.
“Teman Sofie ya.”
“Iya.”
Sophia mendekati Malvyn, ia berusaha setenang mungkin. Ia tidak tahu maksud Malvyn datang ke sini.
“Hai,” sapa Sophia, ia juga tidak mungkin untuk mengusir Malvyn dari klinik.
“Lagi sibuk kerja?” Tanya Malvyn ia memandang Sophia.
Sophia mengangguk, “Iya, saya lagi kerja.”
Malvyn menyerahkan paperbag itu kepada Sophia, “Maaf, kalau saya ganggu kamu kerja. Saya membelikan ini untuk kamu,” ucap Malvyn.
Sophia menatap paperbag itu, dan mengambilnya dari tangan Malvyn, “Ini apa?”
“Makan siang, untuk kamu. Saya beli di restoran sebelah,” ucap Malvyn menjelaskan.
“Ah, tidak perlu repot-repot. Tadi saya sudah makan kok.”
“Kamu pulang jam berapa?”
“Pulang jam lima.”
“Nanti malam, saya mau ngajak kamu dinner.”
Oh Tuhan! Malvyn mengajaknya dinner, yang benar saja? Bagaimana dengan Leon? Tentu saja ia lebih baik makan malam bersama Leon di banding dengan pria itu.
“Maaf, sepertinya tidak bisa, Malvyn.”
“Kenapa?” Tanya Malvyn penasaran.
“Saya ingin istirahat, dan ada janji dengan teman saya,” ucap Sophia, masalahnya ia tidak mau memperpanjang hubungannya dengan Malvyn. Hidupnya saja sudah rumit ditambah dengan kehadiran Malvyn, itu semakin rumit.
“Terima kasih,” ucap Sophia setelah pemberian itu.
“Sama-sama.”
Malvyn mengedarkan pandangannya ke area klinik, kliniknya bersih dan rapi. Ia melihat ada beberapa anjing yang berada di kandang. Malvyn menatap iris mata bening Sophia yang enggan menatapnya, sekarang ia sadar bahwa ia sudah jatuh hati dengan wanita yang sedang hamil itu. Jika sudah tidur bersama, tidak akan ia lepas begitu saja.
“Saya tunggu kamu di café sebelah sampai kamu pulang,” ucap Malvyn pelan.
“Tidak usah,” ucap Sophia.
“Saya tetap tunggu kamu.”
Sekarang ia baru tahu kalau Malvyn itu jenis pria yang tidak bisa dikasih tau. Dia hanyalah pria asing yang baru ia kenal tadi malam. Hanya karena wajahnya mirip dengan Leon ia sampai hilang control.
Sophia melihat Malvyn keluar dari kelinik, ia menggenggam paperbag itu dan menaruhnya di meja. Ia melihat ada beberapa tamu membawa anjingnya. Ia melihat Mila dengan sigap menyuruh ownernya ke dalam, ia juga membantu Mila menangani keluhan-keluhan pasien mereka.
“Tadi siapa?” Tanya Mila menyuntik vaksin anjing border collie.
“Namanya Malvyn.”
“Dia sangat hot,” ucap Mila berdecak kagum setelah kepergian Malvyn.
“Kamu ada-ada saja,” Sophia tertawa.
“Serius, dia sangat tampan Sofie. Malvyn sama saya saja.”
“Okay, ambil saja kalau kamu mau.”
“Masalahnya dia mau sama saya atau tidak?” Mila tertawa.
Sofie mengedikkan bahu, “Saya tidak tahu. Dekatin saja.”
“Kamu mau ikut nggak ke Volendam? Saya ingin menjenguk nenek dan kakek saya ke Volendam pekan ini. Kamu pasti akan suka dengan suasana desa di sana.”
“Yang jaga klinik siapa?” Tanya Sophia.
“Nanti ada dokter magang yang membantu di klinik.”
“Saya mau kalau begitu.”
Sophia tersenyum mereka berdua kembali melakukan aktivitas lagi. Beberapa jam kemudian akhirnya pekerjaanya sudah selesai. Ada beberapa dokter magang yang menggantikan mereka bekerja, hingga shift malam. Sophia memakai belezernya, ia buru-buru keluar dari klinik.
Langkahnya terhenti memandang Leon di depan klinik. Pria itu tersenyum menyapanya, dia melangkah mendekat. Leon memeluknya dengan erat, rasanya benar-benar sangat menenangkan. Inilah pertama kalinya mereka berpelukan setelah sekian lama. Ia merasakan Leon mencium puncak kepalanya.
“Kalau saya tahu kamu hamil sejak awal, mungkin kita sudah menikah saat ini,” ucap Leon dalam hati.
“Kamu pasti sangat lelah,” ucap Leon.
Sophia melonggarkan pelukannya, “Saya senang dengan pekerjaan saya Leon.”
Leon menyentuh rambut Sophia yang menutupi wajahnya, “Saya ingin tahu di mana tempat tinggal kamu. Saya ingin memastikan tempat tinggal kamu nyaman atau tidak.”
Sophi tersenyum simpul, “Ikut saya ke atas, tangganya lewat pintu ini,” ucap Sophia, Leon mengikuti langkah Sophia.
***