BAB 6
HAPPY READING
***
Sophia menatap iris mata Leon, tatapan pria itu seolah menantangnya. Jantung Sophia berdegup kencang. Ia tahu tatapan Leon terlihat emosional, ia tidak pernah melihat Leon seperti ini. Yang ia tahu kalau Leon adalah pria paling tenang yang pernah ia temui sepanjang hidupnya. Namun, sekarang dia terlihat berbeda. Sekarang posisinya seperti sedang di hakimi.
“Kamu hamil, right? Dan janin di dalam kandungan kamu itu anak saya,” ucap Leon to the point.
Jantung Sophia kembali marathon, sekarang ia sudah terperangkap basah, dan Leon tahu kalau dia sedang hamil anaknya. Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Bagaimana bisa pria itu membatalkan pernikahan yang akan diadakan seminggu digelar? Bagaimana bisa dia kabur bertepatan di hari bahagiaanya? Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana dengan keluarga Moira? Bagaimana cara dia kabur dan memutuskan untuk pergi? Bagaimana cara membatalkan undangan yang telah di sebar? Bagaimana perasaan calon istrinya? Apa Leon tidak memikirkan perasaan Moira? Apa yang dilakukan Moira saat ini? Apa dia menangis karena ditinggal calon suaminya? Hanya karena dirinya hamil, lalu rencana bahagia Leon dan Moira lenyap begitu saja. Itu merupakan mimpi buruk bagi semua orang. Oh God! Ia seperti wanita paling jahat di muka bumi ini, karena menghancurkan mimpi bahagia itu.
Sophia mengalihkan pandangannya ke jendela, rasanya kepalanya hampir pecah. Kenapa justru ia memikirkan perasaan calon istri Leon? Mungkin karena mereka sama-sama seorang wanita, pasti rasa sakit hati itu ada.
Semua keluarga Leon ataupun Moira pasti kecewa, marah, karena Leon mengambil keputusan yang cepat tanpa memikirkan semuanya. Sebenarnya kalau mau menikah ya menikah saja, toh dirinya tidak menuntut apa-apa darinya. Ia juga tidak pernah mengatakan untuk bertanggung jawab.
Sophia menarik napas, ia melihat iris mata Leon, “Saya tidak meminta pertanggung jawaban kamu Leon,” ucap Sophia berusaha tegar.
“Kalau saya meminta tanggung jawab kamu, saya sudah mengatakan kepada kamu sejak testpack positif dua bulan lalu.”
“Kita bersenggama didasari dengan rasa ingin dan ingin. Lalu kenapa saya perlu tanggung jawab kamu, kamu tidak bersalah. Kita melakukan itu atas hasil kesepakatan bersama.”
“Menurut saya, kamu tidak perlu terikat sampai mati dengan saya hanya dengan kamu pernah meniduri saya.”
“Saya juga pernah mengatakan kepada kamu kalau saya minum pil kontrasepsi. Hanya saja mungkin saya minumnya tidak teratur, akhirnya malah kebobolan. Dan ini memang salah saya dan saya yang bertanggung jawab atas apa yang disebabkan oleh saya. Jadi kamu tidak perlu merasa bersalah.”
Leon menarik napas, ia tahu kalau Sophia akan mengatakan ini kepadanya, “Jadi kamu menyalahkan diri kamu sendiri?”
“Iya, tentu saja. Saya tidak menyalahkan kamu atas kehamilan saya. Kamu mau menikah sekalipun saya tidak peduli. Saya mempertahankan kehamilan saya, karena saya ingin.”
“Saya menjadi single mom, saya bisa membesarkan anak saya seorang diri. Saya berada di Amsterdam untuk menenangkan pikiran saya. Saya juga ingin anak saya dilahirkan pada kota ini bukan di Jakarta. Itu lah alasan saya ke sini,” jelas Sophia.
“Jadi kamu ingin melahirkan anak itu tanpa ayah biologisnya?”
“Iya. Tanpa kamupun saya bisa menjalankan hidup saya kan. Kamu tidak perlu datang ke Amsterdam jauh-jauh hanya melihat saya. Saya tetap bisa jalani hidup saya sendiri.”
“Pulanglah ke Jakarta. Lanjuti pernikahan kamu, jangan hanya karena saya hamil kamu melepaskan kebahagiaan kamu. Mau bagaimanapun menikah itu diambil atas keputusan bersama. Kasihan keluarga dan calon istrimu yang akan mendekati hari bahagia, justru kamu meninggalkan mereka hanya karena saya.”
“Apa kamu tidak kasihan dengan calon istri kamu? Kamu tega meninggalkan dia. Dia merasa dikhianati oleh kamu.”
Laon menarik napas, “Saya bertemu kamu untuk membahas tentang hubungan kita. Bukan tentang pihak ketiga. Berhentilah memikirkan yang tidak harus kamu pikirkan. Di sini saya ingin kita membesarkan anak bersama-sama.”
“Alasan-alasan kamu, tentang keluarga saya, pernikahan saya, calon istri saya lupakan saja. Semua sudah saya selesaikan.”
“Kamu nyuruh saya kembali ke Jakarta percuma. Saya ikuti skenario kamu, kamu mau melahirkan anak itu di Amsterdam. Kamu harus ingat, di dalam kandungan kamu anak saya. Dan saya mengambil peran yang penting di sana.”
“Kamu yang ingin meneruskan pregnancy sampai melahirkan di Amsterdam. Ok let’s do it.”
“Kalau kamu dengan idealis tidak ingin menikah, okay tidak apa-apa. Toh, kita hidup di luar Indonesia.”
“Saya ke sini menemui kamu, bukan tentang membahas tentang saya akan menikahi kamu. Tapi saya ingin kita membesarkan dan merawat anak itu dengan baik bersama-sama. Kalau kamu menyuruh saya kembali ke Jakarta, jelas saya tidak mau, sampai kamu ikut bersama saya. Dan kita hadapi sama-sama. Saya tidak mau kamu menghadapi dunia yang kejam ini tanpa saya.”
“Saya tetap bersama kamu, saya melindungi kamu dan anak kita.”
“Mau kamu ke ujung dunia sekalipun, tetap akan saya kejar. Saya tidak peduli lagi apa tentang kamu terhadap saya. Saya ingin bersama keluarga kecil saya.”
“Mungkin kamu tidak tahu kalau saya mendambakan namanya sebuah kelurga.”
“Saya tidak peduli kamu menyimpulkan bahwa keluarga itu sebuah sengsara, minim kebebasan, papapun pandangan kamu tentang keluarga yang membuat kamu trauma. Saya memberi paham kepada kamu kalau saya berkeluarga artinya bertahan hidup. Saling dukung, saling memberi semangat, kerja keras menghadapi masalah, dari urusan ekonomi sampai akhir hayat, kamu harus reminder kenapa membutuhkan keluarga.”
Sophia menelan ludah, rasanya ingin menangis sekarang juga. Tatapan Leon penuh kesungguhan, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia tahu kalau Leon lah pria satu-satunya yang sangat memahaminya. Dia sangat pintar berdebat, memainkan kata, dia cocok berdebat prihal kehidupan di meja mimbar.
“Kalau saya tidak mau bagaimana?” ucap Sophia pelan.
“Apa yang buat kamu tidak mau? Bukankah kita pernah bersama? Apa yang kamu takutkan dari saya? Di Negara ini juga tidak ada yang mengenal saya dan kamu. Kita berdua hanyalah orang asing di sini.”
“Kamu mau alasan apa lagi Sofie? Mau menghindari saya? Mau memisahkan saya dari anak saya? Coba kamu pikir, siapa yang paling egois di sini? Saya atau kamu?”
Bibir Sophia kelu, ia tidak bisa menjawab lagi, “Bukan seperti itu Leon.”
“Kamu tidak bisa menghindari saya Sofie. Apa salahnya kita bersama membesarkan anak itu. Saya tidak akan menikahi kamu kalau tidak ingin.”
“Saya tidak memaksa lagi untuk menikah, toh kamu juga tidak mau menikah.”
Sophia menatap Leon, ia mengangguk, “Iya, lebih baik jangan menikah.”
“Apa lagi keinginan kamu?”
“Kita ke dokter obgyn.”
“Iya, nanti. Tapi tidak sekarang.”
“Kapan.”
“Besok.”
“Okay.”
Sophia melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 11.30 menit, “Saya harus kembali ke klinik,” ucap Sophia ia ingin buru-buru pulang, karenaa ia tahu jika berhadapan dengan Leon tidak ada habisnya.
“Kita makan siang sama-sama,” gumam Leon.
“Tidak bisa Leon, saya harus kembali ke klinik, pasien saya banyak.”
“Kamu sedang hamil anak saya Sofie, anak saya perlu asupan gizi yang cukup.”
“I know, saya juga seorang dokter Leon, saya lebih tau bagaimana menjaga kehamilan saya dengan baik. Kamu tenang saja, saya menjaganya dengan penuh hati-hati dan asupan gizi yang cukup.”
“Tapi saya harus bekerja, karena teman saya sendiri di sana. Saya harus membantu dia.”
“Buat apa sih kamu kerja.”
“Ya, buat kesibukan saya. Buat masa depan saya, buat apa lagi. Saya dari dulu juga kerja kan.”
Leon melihat Rubi beranjak dari duduknya, dengan cepat Leon menarik pergelangan tangan Sophia. Sophia duduk kembali dikursinya. Tatapan Sophia teralihkan pada jemari Leon yang ada di pergelangan tangannya, inilah pertama kali mereka bersentuhan setelah sekian lama, ada perasaan hangat menjalar ke tubuhnya.
“Makan dulu.”
“Di sini nggak ada menu makan siang,” desis Sophia.
“Di sebelah ada restoran, kita makan di sebelah. Saya sudah lama tidak lunch sama kamu. Banyak yang harus kita obrolin berdua.”
“Tentang apa lagi?”
“Kehidupan kita selama di Amsterdam.”
“Oh God,” ucap Sophia.
***