Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

HAPPY READING

“Sofie!” Teriak Leon dari kejauhan menatap sosok wanita yang mengenakan seragam scrub berwarna navy yang di tumpuk dengan blazer berwarna beige. Rambut panjangnya diikat kebelakang, seragam itu lah yang sering ia lihat ketika Sophia berada di kliniknya.

Tatapannya teralihkan kepada perut Sophia, itu tampak sedikit membuncit namun tidak terlalu besar dialah sosok ayah biologis janin dalam kandungannya.

Sophia yang mendengar itu dia bergegas melangkah menuju cepat dan lebar ke dalam gang sempit. Ia berharap sosok pria yang mengejarnya ini enyah dari padangannya. Ia tidak tahu, kenapa pria itu hadir di sini, dari mana dia tahu keberadaanya. Padahal ia baru tiba di Amsterdam beberapa hari.

Siapa yang memberitahunya? Kenapa dia bisa sampai ke sini?Satu-satunnya orang yang ia curigai adalah Clara adiknya, karena hanya Clara lah yang ia beritahu keberadaanya. Harusnya ia tidak menceritakan apa yang telah ia alami kepada Clara.

Sophia tidak bisa lagi bersembunyi dari cercaan dunia. Sophia yakin kalau ini adalah hari tersial yang pernah ia lakukan sepanjang hidupnya. Ia tidak tahu bagaimana cara mendiskripsikan perasaanya saat membaca pengakuan tentang sosok ayah biologis yang dikandungnya. Ingin rasanya menghilang tapi itu sama sekali tidak bisa ia lakukan.

Rasanya sia-sia melarikan diri dari Jakarta ke Amsterdam, lalu dipertemukan lagi sosok itu lagi di dalam hidupnya. Ia tidak berekspetasi kalau Clara menceritakan kehamilannya kepada Leon. Ia bersumpah, setelah ini ia akan menghakimi Clara dan memarahinya habis-habisan, karena sudah merusak rencananya.

Sophia tidak tahan lagi, jantungnya berdegup kencang ketika suara langkah bergema di belakangnya. Sophia memutuskan berhenti berpura-pura dengan satu tarikaan napas besar dia melesat menuju café, di sana banyak pengunjung yang sedang brunch.

Dengan tangan gemetar, Sophia berhenti di depan kasir, mata Sophia melebar ia menatap sosok pria berdiri di sampingnya.

“Kita perlu bicara!”

Suara berat itu mengingatkannya pada desahan yang kini sudah menjadi sampah. Sophia memegang handbagnya dengan erat. Dia sama sekali tidak menoleh ke samping, justru memesan menu pada layar menu billboard.

“I ordered a vanilla latte, smoked chicken and beef sandwich, please,” ucap Sophia, ia tidak memperdulikan sosok pria yang berada di sampingnya. Sophia menyerahkan kartu debitnya kepada barista itu, dan barista yang lain mempersiapkan makanannya.

“Kamu mau bicara dengan saya baik-baik, atau saya seret kamu keluar dengan paksa. Saya tidak peduli, kita akan menjadi tontonan orang banyak di café ini.”

Sophia menelan ludah, ia menatap sosok dingin berada di sampingnya. Sophia ingin sekali memeluk tubuhnya sendiri agar berusaha tegar? Pria itu benar-benar penuh ancaman untuknya. Tidak ada lagi ketenangan yang ia bayangkan.

“Saya tidak ingin berbicara dengan kamu,” ucap Sophia dengan suara gemetar.

“Tapi kita harus bicara!”

“Saya punya hak untuk tidak bicara dengan kamu dan itu bukan keharusan untuk saya,” ucap Sophia meninggikan suaranya dengan nada sinis.

“Kita punya lebih dari satu alasan untuk berbicara dan saya punya alasan kenapa saya menyusul kamu ke sini.”

“Jangan katakan itu.”

“Saya harus mengatakan, saya rela menyusul kamu ke Belanda dan membatalkan pernikahan saya saat satu Minggu pernikahan saya digelar.”

Sophia menatap Leon dengan pias, seolah kebenaran yang telah ia telan kini dimuntahkan. Dialah sosok pria yang mampu membabat habis seluruh energynya. Tangan gemetar, rasanya ingin pingsan saat ini juga karena sosok pria itu membatalkan pernikahannya saat pesta akan digelar Minggu depan. Oh God, apa yang harus ia lakukan!

Sophia menatap ke arah pintu, ia menghitung jarak antara posisi dirinya dan pintu lobby, berapa jarak yang harus ia tempuh hingga ia keluar dari tempat ini.

Sepertinya ia tidak bisa keluar, karena sosok yang ia hindari berada persis di sampingnya. Ia memandang lantai berbahan keramik putih dengan tatapan kosong, ia tertawa dalam hati nyaris seperti manusia yang kehilangan akal sehat. Bagaimana bisa secara bersamaan ia tidur dengan pria lain tadi malam, lalu bertemu dengan sosok pria yang ia hindari selama ini. Sungguh hari tersial sepanjang sejarah hidupnya

“Nona, ini orderan vanilla latte dan sandwich-nya.”

Suara barista itu membuyarkan lamunannya, ia menarik napas lalu mengalihkan pandangannya ke barista dan mengambil pesanannya.

“Terima kasih,” ucap Sophia kepada barista itu.

Sophia segera buru-buru pergi dari pria itu, namun pria itu menghalangi jalannya. Kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Jantung Sophia marathon hebat, ia menatap iris mata tajam itu.

“Kita harus bicara,” ucap Leon memandang Sophia dengan intens.

Sophia tidak bisa berkutik lagi, ia juga tidak sanggup melawan apapun dan ini benar-benar seperti terakhir untuknya. Sophia mengangguk, ia memberanikan diri menatap sosok Leon Sebastian, dia lah pria yang ia anggap kekasihnya yang ia akhiri dua bulan yang lalu dengan alasan ia tidak ingin menikah. Lalu dia melamar wanita lain bernama Moira, gadis lain yang dekat dengannya.

“Okay,” ucap Sophia pada akhirnya, ia memang sudah terperangkap basah, mau lari juga percuma.

Sophia melihat ke arah table kosong di dekat jendela, “Kita duduk di sana,” ucap Sophia.

Sophia melangkah menuju table kosong itu, ia memilih duduk di sana. Ia mengatur napasnya, agar berusaha tenang. Sophia tahu kalau Leon menyeimbangi langkahnya. Sophia memilih duduk di table itu, ia menatap Leon menarik kursi dan duduk di depannya.

Sophia memperhatikann Leon, dia sama sekali tidak berubah, dia masih Leon yang sama. Dia mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jins. Rambutnya tersisir rapi, aroma parfum classic tobacco brand Tom Ford tercium di hidungnya.

“Bagaimana kamu tahu, kalau saya ada di sini,” ucap Sophia pelan.

“Justru saya yang bertanya kepada kamu, kenapa kamu berada di sini?” Ucap Leon diplomatis.

Sophia menelan ludah, ia menatap Leon yang masih mengobservasinya, “Saya di sini mencari pengalaman dan bekerja di klinik teman saya, bukan apa-apa.”

Leon tersenyum simpul, “Alasan yang tidak masuk akal,” Leon tertawa miris.

“Mau sampai kapan kamu menutupinya dari saya!” ucap Leon sakartis.

“Kamu jauh-jauh dari Jakarta ke Belanda hanya menutupinya?”

“Ayo, hadapi bersama. Jangan jadi pengecut yang melarikan diri dari kenyataan.”

“Kamu pikir saya takut menghadapi ini!”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel