BAB 3
Sophia tertawa, “Seksinya di mana ya.”
“Cerdas salah satunya. Tapi saya bukan sapioseksual.”
Sophia tersenyum, “Yaudah cari aja, banyak kan seperti kakak ipar kamu. Sepertinya pria seperti kamu ini, tentu sangat mudah mencari pasangan yang cerdas. Dokter spesialispun akan suka dengan kamu.”
Malvyn tertawa “I know, yang benar-benar pas itu sepertinya sulit.”
“Iya memang benar, cari yang benar-benar cocok itu susah.”
Sophia mengambil botol mineral di meja, ia meneguknya secara perlahan, ia menatap ke arah jendela, “Kayaknya mau hujan ya,” ucap Sophia.
“Lebih tepatnya badai akan datang.”
“Owh ya! Dari mana kamu tahu.”
“Tadi saya mendengar berita kalau hari ini ada beberapa penerbangan dibatalkan karena perkiraan ada situasi berbahaya, angin kencang dan hujan lebat. Pihak bandara juga mengatakan kalau lalu lintas kereta api ditangguhkan,” Malvyn menjelaskan.
“Untung saja, kita tadi buru-buru untuk pulang ke hotel. Kalau tidak, sudah pasti terjebak di dalam café,” ucap Malvyn kembali meneguk softdrinknya.
“Kamu nggak apa-apa kan di sini?” Tanya Malvyn lagi.
“Tidak apa-apa kok. Justru saya yang bersyukur bisa berada di sini dari pada di cafe,” ucap Sophia.
Malvyn meraih remote TV dan ia menyalakannya, agar suasana tidak terlalu sepi. Sementara Sophia melihat ke arah jendela, ada kilat dan petir menyambar-nyambar. Tidak lama kemudian turun hujan es, Sophia hanya menatap dari balik jendela.
“Tadi cerah, sekarang hujan es, lalu angin, begitulah Belanda,” gumam Malvyn.
Malvyn berdiri dan melangkah menuju tempat tidur, ia duduk di ranjang memandang Sophia yang berada di sofa. Malvyn menepuk bantal yang berada di sampingnya, agar wanita itu bersamanya.
“Duduk di sini, lebih baik kita menonton saja, dari pada lihat badai,” ucap Malvyn.
Sophia tersenyum ia memandang ke arah layar Tv. Entah kenapa Sophia mengangguk, dan ia naik ke atas ranjang. Mungkin karena hamil di trimester pertama, kebawaanya ingin tiduran seharian. Ia memang perlu banyak-banyak beristirahat, kedatangannya ke Amsterdam memang untuk rehat dan menjaga kewarasannya. Ia tidak boleh stress dan banyak pikiran.
Sophia duduk di samping Malvyn dan menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur. Ia menatap ke layar TV, lalu mereka saling menatap satu sama lain.
“Kamu sering nonton?” Tanya Sophia.
“Jarang, hampir tidak pernah.”
“Sama. Kita nonton apa?” Sophia melihat Malvyn mencari siaran yang menarik.
“Nonton blue film bagaimana?” Malvyn tertawa.
Mata Sophia terbelalak kaget, ia lalu tertawa. Sophia tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran Malvyn ingin menonton blue film bersamanyya.
“Kenapa sih film p0rn disebut blue film?” Tanya Sophia.
“Sebenernya bukan blue film, istilah sebenarnya itu tapi blue law. Blue law itu hukum yang diterapkan kaum puritan, kaum agama yang beraliran keras. Blue law itu, orang-orang yang bertentangan yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Seperti mengonsumsi minuman beralkohol, narkoba, salah satunya film p0rn.”
“Kamu sering nonton?”
“Lumayan tapi nggak terlalu sering seperti saya jamann senior high school atau di campus. Biasa saya menjelang tidur masih nonton. Padahal saya memang tidak mengurangi intensitas dengan sengaja, secara alamiah, lama kelamaan berkurang.”
“Sekarang, pengennya nonton film p0rn yang penuh cinta, enak dilihat, cerita yang serius, bukan tiba-tiba langsung hubungan sek.”
“Seperti film Girl next Door. Film Friend with benefit yang pemainnya Mila Kunis. Itu film dulu sih saya tonton, dan kalau sekarang. Kalau pengen banget, nonton menjelang tidur saja.”
“Paling lama berapa hari.”
“Tiga hari, itupun kepala saya sudah pusing,” Malvyn tertawa.
“Itu berarti kamu masih sering.”
Malvyn tertawa, “Iya, begitu lah.”
“Udah kecanduan?”
“Saya tidak tahu ini kecanduan atau tidak. Tujuan nonton film p0rn itu memang ingin melampiaskan nafsu sek yang merupakan kebutuhan dasar saya, karena tidak ada pasangan. Akhirnya mencari pleasure, mengeluarkan hormone dopamine yang buat saya nyaman, relax dan lega, begitulah cara saya adiksi. Kalau pengen berpaling susah, karena sudah terjatuh terlalu dalam,” Malvyn tertawa.
“Emangnya kamu nggak pernah nonton blue film?”
“Pernah.”
“Terus.”
“Ya normal-normal aja kan nonton, kamu sudah dewasa dan saya pun begitu. Tidak ada yang salahkan, lagi-lagi itu kebutuhan dasar manusia normal.”
“So, nggak apa-apa kan kita nonton bareng,” ucap Malvyn diselingi tawa.
Sophia ikut tertawa, ia lalu mengambil posisi meletakan kepalanya di bantal.
Malvyn melihat ke arah jendela, hujan semakin deras beserta kilat dan petir,
“Kalau hujan seperti ini memang lebih enak berdua melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.”
Sophia menarik bedcover hingga ke dada, ia tidak menanggapi ucapan Malvyn, karena tiba-tiba dingin pada tubuhnya. Malvyn menoleh ke samping menatap Sophia, ia pandangi wajah cantik itu.
“Kamu kedinginan?”
“Iya, sedikit.”
“Mau saya peluk?”
Sophia belum menjawab pertanyaan Malvyn, namun pria itu lalu memeluknya begitu saja dari belakang, ada perasaan hangat menyelimuti tubuhnnya. Jantung Sophia berdegup kencang, ia hanya bisa bergeming, hembusan napas Malvyn terasa di tengkuknya.
“Apa sudah lebih hangat?” Bisik Malvyn.
***
“Apa sudah lebih hangat?” Bisik Malvyn.
Kata-kata Malvyn membuat bulu kuduk Sophia merinding. Sophia menelan ludah, ia merasakan pelukan Malvyn semakin erat. Sophia menenangkan debaran jantungnya, ia semakin gelisah, pikirannya tidak menentu. Bergerakpun rasanya sulit sekali.
Sophia tiba-tiba menjadi gusar. Ia dapat mencium aroma parfum Leon, mengingatkan dirinya pada Leon mantannya. Oh God, dalam keadaan seperti ini ia memikirkan Leon. Bahkan saat pertama kali melihat Malvyn ia sudah membandingkan dengan pria itu. Bagaimana bisa ia membandingkan dengan Leon, sementara Leon sudah bahagia dengan kekasihnya bernama Moira, sebentar lagi pria itu akan menikah. Salah satu temannya Feli memberikan kartu undangan secara digital kepadanya, di sana tertulisan nama Leon Sebastian dan Moira.
Ah ya, ia ingat bahwa Leon pernah melamarnya namun ia tolak dengan alasan ia memang benar takut menikah. Keluarganya saja hancur karena menikah, orang tuanya bercerai. Ia ingat ayahnya pernah selingkuh, beliau pernah memperkenalkan selingkuhannya kepadanya. Lalu pergi meninggalkan dirinya dan adiknya. Setelah itu ayahnya lepas tanggung jawab dan tidak tahu keberadaanya di mana, dan oleh sebab itu kebencian pada pernikahan tertanam pada dirinya.
Selama ini ia juga melihat banyak sekali wanita yang kecewa dengan pernikahannya. Bahkan diantara banyak sekali yang memilih bercerai, lantas apa yang ia percayai dengan pernikahan?
Ia masih merasakan Malvyn memeluknya, ada perasaan hangat menyelimuti tubuhnya. Ia memejamkan mata beberapa detik, ia mengatur debaran jantungnya. Tangan Malvyn berada di perutnya. Sophia menyentuh jemari Malvyn.