Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tanpa restu

Senja semarai dari ufuk barat menebar genderang pekat dan langit malam mulai menyeka setiap ujung ruas tanah di bumi menghitamkannya perlahan. Kala takbir panggilan salat di kumandangkan di setiap surau pertanda pergantian antara siang dan malam.

Kala sang matahari mulai lelah menggelincir malas menutup wajah di ujung barat bumi. Ketika itu rembulan putih pucat tertutup mendung berbalut kabut mulai menampakkan wajah dengan malu-malu.

Tak luput dari peristiwa alami senja kala penutup surya penggugah sang rembulan. Desa Mojokembang termasuk jua ikut tersapu malam mengubah terang ke arah gelap. Di ujung selatan desa pas pertigaan akhir paling selatan di depan gardu bergambar warna kuning bata.

Dengan sebuah pohon mangga tertanam gagah tiada goyah pas dipojok depan sebelah selatan. Menghadap barat tampak sederhana namun asri dengan beberapa tanaman pohon dan buah di depan pekarangan kecil pas menghadap jalan utama desa.

Itulah rumah keluarga Pak Jaka Aji dan Bu Soleha tinggal, Bapak dan Ibu dari Sam yang sore bada’ magrib atau setelah magrib menjelang kini ia memiliki kegiatan baru. Yakni duduk termenung di kursi panjang buah tangan sang bapak di teras rumah pas di depan jendela depan ruang tamu yang berjumlah dua buah di samping kiri pintu utama rumah.

Kali ini Sam seakan terserang mental dari permintaan sang calon mertua Pak Darmaji kemarin siang. Dimanah iya harus datang besok untuk melaksanakan akad nikah secara agama dengan nikah siri yang sah secara agama namun tak sah di mata hukum.

Otaknya semakin sakit bila dipikirkan tentang kemarahan sang bapak kalau ia bicarakan secara terus terang permintaan sang calon mertua. Tak sanggup rasanya ia menahan kemarahan sang bapak yang selalu ia hormati dan selalu ia anut keputusannya sebagai acuan dan landasan serta rumus hidupnya.

Sejenak matanya menerawang langit di atas atap genteng teras rumahnya menerawang jauh dan berpikir keras bagaimana cara ia merangkai kata dengan baik tanpa salah dan tak membuat bapaknya marah dalam penyampaian permintaan sang calon mertua.

Sekali lagi segelas kopi hitam yang ia letakkan di atas meja depan iya duduk terteguk masuk lurus dalam kerongkongan namun tak seperti biasanya. Kopi hitam pahit kesukaannya kini tak lagi menyegarkan dahaga, karena pikirannya yang sedang kusut ibarat benang yang semrawut tak beraturan.

Hufz..., suara helaan nafas panjang terlontar beku di udara setelah magrib bersama embusan asap pekat rokok yang ia hisap. Kali ini sama dengan kopi yang serasa hambar. Isapan rokok di bibirnya tak lagi manis serasa dan tak lagi meredakan kegundahan hati hanya terasa nanar di dada.

“Aku harus bagaimana?” ucap Sam lirih parau bercampur lelah di mata dan tatapannya samar tak bertuan.

Ehm..., Ehm...,

Tiba-tiba terdengar suara dehem dari sang bapak yang sudah berdiri di samping iya duduk dengan membawa segelas kopi hitam ditangan dan tersenyum simpul. Mungkin sudah sedari tadi Pak Jaka Aji memperhatikan sang anak yang tengah didera pemikiran ruwet bin angel namun tiada Pendik memperhatikan.

“Boleh Bapak ikut duduk,” ucap Pak Jaka meminta persetujuan Sam.

“Oh silakan Pak, begitu saja harus meminta ijin ini Si Bapak,” timpal Sam sambil tersenyum agak kaku.

Kuletek...,

Suara lepek dan cangkir yang beradu dengan alas meja. Sembari digeser sejenak memutar cangkirnya oleh Pak Jaka. Mencari pegangan cangkir agar pas di genggamannya, sekali ayun seteguk tertelan juga di kerongkongan.

Crek, crek, bluk...,

Suara korek api benzol menyala menyulut rokok bergambar rumah tempat penyimpanan garam di bibir Pak Jaka Aji yang semakin menua jua dengan keriput yang sudah tumbuh di sana-sini.

“Ceritakan Nak, katakanlah?” sedikit pertanyaan terlontar dari mulut Pak Jaka namun sanggatlah berbobot.

Langsung mengena pada maksud dan tujuan yang jelas. Seakan bak rudal Nazi yang menghantam tentara musuh saat perang dunia kedua selalu pas sasaran. Begitu jua pertanyaan dari Sang Bapak kali ini pas jatuh menghunjam hati Sam. Sontak mata Sam membelalak karena kaget bercampur gugup.

“Anu Pak, itu,” seakan tak mampu bergetar dan sulit berucap dari bibir Sam yang tiba-tiba kaku sehingga berat untuk mengungkapkan semua yang ada di pikiran.

Mata Pak Jaka tiba-tiba menatap mata sang anak tajam mencoba mengulik sesuatu dari sorot mata sang anak yang kini tak mampu lagi menatap tenang mata sang bapak seperti biasanya. Dan seakan seperti tak mau menurut bola matanya tak jua berhenti pada satu titik alias menatap tak tentu tak berani melihat sorot tajam mata Sang Bapak.

“Ada masalah? Hem,” sekali lagi sebuah kata pertanyaan yang seakan bagai halilintar terus merongrong dada Sam dan terus meraih rasa di jantung Sam agar bisa mengungkapkan semua yang dipikirkan.

Sebentar Sam menghirup nafas agak panjang sejenak mendiamkannya di tengah dada lalu menghembuskannya perlahan dari hidung. Demi mengumpulkan energi kekuatan entah dari mana untuk mengungkapkan unek-unek di hati.

“Anu Pak kemarin aku pergi menemui Jingga yang baru datang dari Kalimantan. Terus mengobrol sama orang tua laki-lakinya yakni Pak Darmaji. Kata beliau besok aku harus datang untuk melaksanakan akad secara agama yang di nikahkan oleh kiai. Katanya sudah sah secara agama tapi belum sah secara hukum Pak, menurut Bapak bagaimana?” ungkap Sam merasa kikuk dan serba salah.

“Sebentar Nak,” sepatah kata dari Pak Jaka sangat bermakna bagi Sam yang semakin tenggelam dengan ketakutan berlebih akan kemarahan Sang Bapak.

Sejenak Pak Jaka kembali menghela napas yang ketiga kali dadanya merasa sengal dari perkataan dan pertanyaan sang anak. Matanya tampak berair penuh emosi menatap semu ke depan tangannya meraih cangkir berisi seduhan kopi yang tinggal separuh. Kembali korek api benzol ia sulut pada setengah puntung rokok yang sempat ia matikan lalu menghisap dan menghembuskan asapnya perlahan.

“Begini Nak, kau adalah anakku aku yakin kau dapat memilih dengan keputusan yang benar dan tidak berat sebelah. Aku yakin kau sudah paham benar yang baik dan yang benar yang mana. Aku mengerti maksud dan tujuan dari Pak Darmaji dengan maksud khawatir kalau-kalau kalian berdua melakukan zina atau satu hal yang tak diinginkan. Tapi apa kau yakin kau Sam anakku sebejat itu,” perkataan itu meluncur deras menghunjam-hunjam dada Sam seakan Sam ingin berteriak dan menangis dari pernyataan sang bapak yang sangat bijaksana.

“Baik Pak aku akan memilih,” ucap Sam sambil menyandarkan kepalanya di atas kursi panjang depan teras sambil menatap jauh kembali ke arah langit.

“Ya sudahlah Anakku aku yakin kau mampu melewatinya,” ucap Pak Jaka menepuk pundak Sam.

“Bapak istirahat dulu tidak terasa ternyata perbincangan kita memakan waktu berjam-jam. Lihatlah sudah pukul 21:00 WIB. Bapak tinggal istirahat dahulu ya Nak sudah jangan terlalu dipikirkan,” kata Pak Jaka seraya kembali masuk ke dalam rumah. Sambil membawa cangkir bekas kopi yang sudah habis tinggallah ampasnya saja. Meninggalkan Sam yang kembali dengan pikiran semrawut dan tak mampu jua untuk memilih dengan nalar yang baik.

“Ah sudahlah, maaf Bapak demi cintaku pada Aini seorang aku rela berbohong padamu dan esok aku akan pergi ke rumah Jingga untuk melaksanakan akad secara agama walau tanpa restumu,” ujar Sam bergumam lirih yang telah memutuskan sebuah pilihan yang penuh dengan berjuta risiko.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel