Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kalung Emas

Ruang hati Sam terasa sesak tersekat-sekat dan begitu sengal untuk di hembuskan menjadi sebuah udara bernama nafas. Miring tak nyaman, terlentang tak tenang, tengkurap masih jua gelisah. Serasa berputar mata di awang-awang atap kamar hanya dapat menghitung genting agar lekas tertidur.

Malam ini kembali berteman bantal dan guling menyapa tembok kamar lalu melamun lagi. Sam begitu gelisah hatinya tak tenang, pikiran melayang. Apa mampu iya berbohong kepada sang bapak seorang yang selama ini demi rengeknya akan sesuap nasi harus berpeluh panas terik dan berkuyup hujan bekerja siang dan malam. Hanya untuk sebuah istilah agar si anak tak merasa berbeda dengan anak yang lain.

Tapi ada sebuah rasa aneh dengan ketertarikan berbanding lurus untuk esok hari menyanggupi permintaan Pak Darmaji si calon mertua untuk melaksanakan akad secara agama atau bahasa kerennya nikah siri.

Alasan demi alasan mulai dirangkai untuk melaksanakan niat kebohongan esok hari. Atau iya harus berkata mundur saja dan melupakan semua tentang Aini dan rasa sayangnya yang mulai menggebu karena pertemuan kemarin pagi atau karena secangkir kopi rindu seduhan tangan sang kekasih terlalu nikmat sehingga ia ingin kembali dan lagi kembali.

“Pokoknya besok aku harus pergi walau untuk berbohong kepada Bapak dan Ibu,” gumamnya dalam kesunyian gelap kamar berbicara pada dinding dan atap semu.

Tak jua merasa kantuk walau kelopak mata coba iya pejamkan. Sekejam menyala, sekejap terlelap, sekejap terjaga kembali. Ah kenapa mata Jingga terbayang selalu apakah aku terkena guna-guna Rindu. Atau memang aku sudah jatuh pada pandangan cinta pertama. Begitulah terus ungkapan hati Sam mencoba melerai antara hati dan otak yang tak jua selaras.

Dalam hati kecilnya menolak datang esok hari Ikhwal sebab petuah Sang Bapak, kalau kau anakku Sam aku yakin engkau anakku yang baik tak mungkin kau menodai seorang anak gadis orang jadi menolaklah bila kau rasa salah. Begitulah nasihat segelas kopi antara bapak dan anak kemarin sore di teras dan balai-balai.

Klunting...,

Lalu Hp menyala sebentar berkedip, sebentar bergetar di atas bantal sisi kiri kepala Sam. Sebuah pesan singkat cat wa sang terkasih, si bidadari, si permaisuri Aini yang diidamkannya melayang masuk menempel pada layar depan Hp Sam.

Lekaslah tangan lelah dengan pikiran lelahnya meraih ogah-ogah tetap terbujur baring di atas kasur yang menggelesah di lantai-lantai kamar. Memang sengaja tanpa tempat tidur sebab iya tak ingin tidurnya terganggu oleh suara renyah reot ranjang yang berbunyi kriek-kriek.

Ungkapan cat bertulis sebuah persyaratan-persyaratan akad esok hari tampak memukul hati Sam. Kenapa asa syarat kalau demi kebaikan, kenapa bersyarat kan mereka yang memintaku melakukannya. Lalu hati kecil Sam seakan meronta-ronta penuh kecewa.

Tetapi entah kenapa sanubari tetap terpaut bagaikan tertancap rantai besi sudah lurus tersambung pada hati Aini.

“Mas Yayang kata bapak esok hari Mas syaratnya kalau mau akad denganku. Orang tua Mas harus ikut keduanya. Adek meminta kalung emas sebagai seserahan dan uang sebesar seratus ribu saja sebagai akad,” begitulah syarat yang terungkap pada cat wa begitu cepat dan telah terbaca oleh mata Sam.

Ada getir terasa di dada seakan berkata langkah ini salah. Tapi seakan ada yang berbisik pada telinga dan awang-awang otak berbicara, “Sam maju besok datanglah kalau kau tak datang malu karena telah kau sebarkan kabar kau akan menikah pada kabar teman satu pabrik jua.”

Kepalanya jadi agak sedikit pening, otaknya jadi agak membeku dan akal kesadarannya mulai buyar, remang-remang. Kenapa begitu cepat ada syarat? Ke mana aku harus mencari sejumlah rupiah untuk membelikanmu kalung emas yang kau jadikan syarat cintamu Aini. Kata hati Sam mulai berbicara sendiri bak si gila yang menerawang kosong dalam kamar saja.

Sedangkan pengorbanan perasaan orang tuaku yang tak setuju akan akad esok hari harus aku tebus dengan kebohongan. Begitulah terus otak Sam meracau tak jelas berkoar sendiri dalam langit-langit di ubun-ubun rambut.

Lalu entah sengaja atau tidak mungkin saja Gusti Allah terlalu kasihan pada raganya yang begitu lelah berpikir pada akhirnya matanya terlelap dengan sendirinya dalam gelap kamarnya bersegi empat kali tiga meter tanpa penerangan. Sengaja lampu iya matikan demi menghayati lamunan yang semakin semrawut di dada.

***

Esok hari di rumah Jingga,

Langkahnya berat menapaki tangga teras terseret-seret. Ia takut sang bidadari marah sebab ia datang seorang diri. Jangankan membawa orang tuanya untuk ikut menjadi saksi akad siri di hari ini. Berkata sejujurnya pun ia tak sanggup alhasil pagi ini ia pergi dengan kebohongan klasik untuk pergi bersua teman sebaya.

Tubuh Aini berdiri di depan pintu wujudnya kini terlihat oleh Sam sang pejuang cinta bak api amarah atau raksasa wanita yang siap melahap mangsa. Nyali Sam seketika mengerut dan hanya bisa berucap, “Anu, anu Dek, maaf.” Dan bergemetar seluruh urat kaki Sam.

Tapi entah mengapa Aini hanya menatap sendu sang calon suami dengan senyum manis menggandeng tangan Sam mengajaknya masuk lalu berucap, “Sudah sayang jangan dipikirkan mari kita lanjutkan ikrar cinta kita.”

Terbilang duduklah Sam di samping Aini yang berkerudung warna kuning emas yang hanya di tempelkan setengah rambut. Di depan Sam hanya berbatas meja duduklah sang calon mertua laki-laki berpeci hitam bersarung hitam kotak-kotak di sampingnya sang calon ibu mertua ikut menjadi saksi bisu, di sampingnya lagi si Moza adik Aini tampak cuek-cuek bebek tak menghiraukan apa yang tengah terjadi.

Lalu saat-saat yang paling penting terjadi dan dimulailah perselisihan awal Aini dan Sam. Saat tiba masanya Aini bertanya agak halus dengan senyum dan kata manis, “Mana kalung emasku Mas Sam.”

Sejenak semua hening mengikuti heningnya Sam. Nafasnya seakan terhenti untuk beberapa saat tak berdetak. Sekejap matanya hanya dapat melihat bayangan tak terbuka layaknya tak sadar diri. Lalu semua mata tertuju pada satu hal diamnya Sam jua.

“Maaf semua terlalu cepat Dek aku tak mampu membawakan yang kau minta,” kata-kata itu meluncur deras dari mulut Sam membuat hujaman halilintar dan badai petir bergemuruh di dada Aini.

“Tak mau aku tak bisa di buat begini Mas aku hanya meminta kalung emas tak mahal belikan aku yang murah saja kau tak bisa membawanya,” teriak Aini marah membabi buta lalu pergi berlalu duduk di emperan samping rumah pada bangku kayu panjang buatan sang bapak setahun silam.

“Sabar Nak, memang seperti itu tabiat calon istrimu, tapi kalau sudah ya sudah tidak diingat lagi kok, coba tenangkan dulu kekasihmu itu,” dengan gampang Pak Darmaji berkata halus memberi semangat Sam.

Seraya ada dorongan cepat entah kenapa tubuhnya terenyak berdiri dari duduknya dan seakan semua tak mampu ia kuasai langkahnya ringan menuju Jingga di teras samping rumah. Duduk agak merapat di sebelahnya mengelus lembut rambut dibalik kerudung bersua kata berbisik mesra dan mengakui kekalahan dalam cinta.

“Sam yakinlah aku milikmu dan saat nanti kau menjadi istri dari namaku yang tersemat di belakang namamu dan mari kita berjuang bersama untuk segala keinginanmu,” lirih bibir Sam bergetar pucat pada telinga Aini.

Dan akhirnya hati sang wanita luluh jua. Kepalanya tersandar pada pundak Sam sambil matanya terpejam sayup meresapi cinta tulus sang pujangga desa.

“Janji ya Mas,” ucap Aini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel