Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nikah Kiai

Sudah seminggu berlalu dari peristiwa silaturahmi keluarga Pendik bertandang ke rumah Aini. Pagi ini seakan rasa hati Sam semakin terbang tinggi sampai ke langit. Bahkan kalau bisa dikatakan melampaui hal itu.

Betapa tidak saat Hp Sam yang sedari tadi ia taruh di samping meja televisi seperti biasanya. Berbunyi lirih namun sangat bermakna setelah getaran pertama tangannya langsung meraih sang Hp dengan cepat. Sudah kebiasaan di pagi hari Sam menanti cat wa dari sang kekasih jingga sekedar membaca kabar atau mengucap salam.

“Mas Sam kekasihku besok aku pulang,” ucap Aini dari cat wa dan inbok pada Facebook.

Seakan tubuhnya tersentak melonjak kegirangan dengan secara otomatis tingkahnya semakin konyol saja dengan cara berteriak-teriak dan melompat seperti halnya orang yang sedang memenangkan lotre dengan jumlah besar.

“Baik kasihku Aini tunggu aku datang ke rumahmu esok hari membawa secangkir kerinduan yang tak pernah tertuntaskah selama ini,” begitulah balas cat wa oleh Sam pada Aini.

Kali ini Sam sudah merasa mantap dengan perasaan cintanya. Iya merasa Aini adalah gadis yang tepat untuk dijadikan seorang istri hingga dalam pemikirannya sudah merancang sebuah langkah jauh apabila iya sudah berjumpa dengan sang kekasih esok hari. Mungkin tanpa bosa-basi iya akan terus terang untuk lekas melamar sang permaisuri di hadapan keluarganya saat bertandang kembali ke rumah Aini untuk kedua kalinya.

***

Setelah semalaman tiada dapat Sam memejamkan mata, karena otak tak jua mau berdiam untuk tak memikirkan semua hal angan tentang Aini. Semalam bibirnya serasa terus tersenyum tanpa tahu apa yang harus dia senyumi. Sedangkan mata hanya memandang awang-awang atap mes pabrik serasa tiada rasa kantuk hinggap di kelopaknya.

Semalam hanya nama Aini yang terlintas dalam setiap ruang otak dan pikiran terus berputar-putar senyuman dalam foto profil Facebook Aini. Hanya itu selama ini pengobat rasa rindu tanpa batas sebagai fantasi gila sang pencinta.

Namun hari ini malam sudahlah berlalu pagi jua berlalu menjadi setengah siang. Sam tengah berkendara liar di jalan panjang yang membujur dari selatan ke utara sekitar kecamatan Mojowarno terus lurus ke selatan menuju kecamatan Pare. Kali ini demi Aini, Sam mengabaikan rumah awal tempatnya dilahirkan. Sebuah rumah sederhana tempat dimanah ia besar di sana.

Hari ini Sam seperti hilang arah karena cintanya pada Aini layaknya tak normal seperti biasanya. Bahkan sebuah petuah sederhana sang Ibu yang selalu ia dengar saat hendak pergi bekerja, “Nak anakku lanang bila kau pulang dari perantauan atau dari pergi jauh dari rumah entah untuk bekerja ataupun bersenang-senang singgahlah ke rumah sejenak ke rumahmu sendiri,” kata sang Ibu yang setengah baya setiap ia hendak berangkat pergi dari rumah kini tak dihiraukannya.

Roda dua motor bebek merek lama tahun 2005 terus ia pacu kencang bertenaga 80 kilometer per jam menuju selatan jauh dari jalan kecamatan Mojowarno lurus terus ke selatan. Bahkan suara azan zuhur tak lagi didengarkan ditelinganya yang ada dalam pikiran dan khayalan Jaka hanya Jingga seorang.

“Dek Aini aku sudah setengah perjalanan ke rumahmu,” begitulah sejenak cat wa dari Sam untuk mengabarkan posisinya sekarang.

Sambil menepi sejenak di sebuah perempatan Kandangan karena harus membuka Hp demi memberi kabar pada sang kekasih hati, seraya merogoh sebungkus rokok pada saku samping celana jin warna biru dengan model pensil mengerucut ke bawah yang ia kenakan terbakarlah ujung depan sebatang rokok. Produk Malang raya sembari mengepulkan asap putih dari mulutnya yang makin menghitam Sam kembali melanjutkan perjalanan.

Sampailah Sam pada sebuah rumah yang baru dibangun masih belum jua dindingnya diratakan semen dan belum di cat jua masih berupa tatanan batu bata merah. Sebuah rumah dengan pekarangan luas menghadap ke utara dan di samping utara jalan pas terdapat aliran sungai yang tampak deras dengan tumbuhan pohon bambu berjuntai-juntai berbaris rapi di tepian.

Jalanan yang belum teraspal masih berupa bekas tatanan bebatuan membuat Sam harus sangat ekstra berhati-hati saat mengendarai motornya. Saat masuk pekarangan rumah sang pujaan sejenak ia turunkan Standard samping motor di depan halaman depan rumah Aini.

Dengan hati berdebar dan pikiran tak karuan bercampur aduk membayangkan dengan kata seandainya atau misalnya dan apabila terus mengiang mengiringi langkah demi langkah kaki Sam menapaki tangga teras depan rumah Aini.

Kriek...,

Tanpa ucap salam atau mengetuk pintu depan sudahlah terbuka sosok cantik sang dewi pujaan hati sudahlah berdiri di balik pintu menyambut Sam dengan senyuman mesra. Seraya berlari menuju Sam lalu segenap hati memeluknya.

Refleks Sam membalas pelukan hangat Aini menumpahkan semua rindu yang selama berminggu-minggu tertimbun dalam lubuk sanubari.

“Mas Sam, Adik kangen Mas,” ucap Aini sambil menenggelamkan wajahnya di pundak Sam.

Sam membalasnya dengan kecupan mesra dikepala Aini sambil berbisik, “I Love You Aini,” tersirat makna dari bisikan Sam yang sangat mendalam penuh arti.

“I LOVE YOU TOO Mas Yayang,” balas Aini melepaskan tenggelamkan wajahnya dengan menatap lekat wajah Sam.

“Mari masuk Mas sudah ditunggu Bapak sama Ibu,” pinta Aini seraya memegang tangan Sam mengajak untuk masuk ke dalam rumah.

“Bapak, Ibu ini Mas Sam sudah datang,” teriak Aini penuh riang.

“Eh sudah datang mari Nak Sam duduk sini samping Bapak,” ucap Pak Darmaji menepuk kursi busa di sampingnya mengisyaratkan agar Sam duduk di sampingnya.

Lantas Sam mengiyakan dengan langsung duduk di samping calon Bapak mertua. Begini Nak Samudera Arham benarkan nama lengkapmu Samudera Arham?” tanya Pak Darmaji tegas.

“Benar Pak,” jawab Sam kalem namun pasti dan sangat berhati-hati takut salah dalam pengucapan atau bersikap dan hanya mengangguk perlahan.

“Aini anakku sudah menceritakan semua tentang Nak Sam. Jadi bagaimana kelanjutan dari kisahmu dengan anak gadisku ini Nak?” sebuah pertanyaan menjebak terlontar dari mulut tua yang sudah keriput dimakan usia Pak Darmaji sambil menatap mata Pendik tajam.

Sedangkan Ibu Jingga hanya diam menyimak apa yang sedang diperbincangkan duduk di samping kiri Pak Darmaji sedangkan Sam teramat tegang dengan sebuah pertanyaan yang menjurus tajam langsung menghunjam ulu hati di sebelah kanan Pak Darmaji.

Depan Pak Darmaji terhalang meja Jingga ikut terduduk diam sambil mengamati sang kekasih. Menunggu jawaban pasti untuk kelanjutan hubungannya ke arah yang serius. Samping Aini ada Moza sang adik yang lebih cantik dari sang kakak ikut diam dan hanya melihat-lihat tak mengerti apa yang dibicarakan.

“Saya berjanji Pak minggu selanjutnya saya akan membawa serta keluarga saya untuk melamar Jingga,” satu pernyataan Sam tentang kelanjutan hubungannya bersama Ainj tampaknya mencairkan suasana mengubah mimik muka Pak Darmaji dari serius berangsur reda menjadi agak santai.

“Sudahlah itu lebih baik, silakan Nak diminum dulu kopinya jangan tegang begitulah santai saja,” celetuk Pak Darmaji mencoba mencairkan suasana.

“Baik Pak terima kasih,” sahut Sam meraih segelas kopi hitam di atas meja di depannya yang dibuatkan oleh Moza lalu meneguknya perlahan.

“Begini Nak Sam, Bapak hendak membicarakan satu hal lagi yang teramat serius. Ini masalah keyakinan dan adat istiadat. Besok lusa Bapak harap Nak Sam kembali kemari untuk melaksanakan nikah kiai alias nikah secara agama. Sah dimata Allah namun belum sah di mata hukum,” ucap Pak Darmaji menegaskan seraya menyulut sebatang rokok yang ia buat sendiri di rangkai dari tembakau dan cengkeh yang ia gelinting dengan kertas khusus berlabel klobot.

Satu pertanyaan lagi dari Pak Darmaji yang membuat hati Sam berdegup kencang antara dua pilihan membicarakannya pada orang tuanya yang barang tentu mereka tak setuju karena paham dalam keluarga Sam mengharamkan nikah kiai atau dalam bahasa umum nikah secara siri dahulu walau maksudnya baik.

Sam sedikit terdiam sejenak untuk bertempur dengan kata hati atau otak yang tak berseberangan untuk memilih mana yang benar apakah harus lusa datang dan menuruti perintah calon mertua untuk menikah secara siri. Atau menolaknya dengan konsekuensi memutuskan semua harapan dan tak melanjutkan hubungan, karena sudah pasti Pak Darmaji marah akan keputusan itu.

Namun sekan ada sebuah kekuatan aneh dan dorongan secara kasat mata pada akhirnya Sam mengiakan permintaan Pak Darmaji dengan risiko kemarahan sang bapaknya sendiri.

“Baik Pak lusa saya pasti datang,” ucap Sam dengan terbata-bata.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel