Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Permainan Dimulai

Abby dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Pria itu tiba-tiba meminta untuk bertemu kembali, padahal baru dua hari lalu Abby menerima hasil kerjanya.

Terlebih setelah kekalahan Abby dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, pria itu kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya.

Senyum terulas di sisi wajah Abby. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang wanita itu.

Pertemuan tak berlangsung lama, informasi yang ia dapat dari detektif itu cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya.

Sepeninggal sang detektif, Abby mengambil ponsel, kemudian menekan sebaris nomor dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggun, seolah dirinya akan berhadapan langsung dengan lawan bicaranya. Segala gerak-geriknya menarik perhatian beberapa pasang mata yang berada di ruangan itu memandangnya tak berkedip.

“Hai, Zac, aku hanya ingin mengabarkan kalau aku menerima undanganmu,” ucap Abby sembari menyunggingkan senyum tipis.

“Setelah sekian lama? Abby, kau membuatku gelisah karena berpikir mungkin kau marah karena ajakanku. Omong-omong, tunggu, kau memanggilku apa tadi? Zac? Kurasa aku menyukainya,” kelakar Zac yang berhasil membuat lawan bicaranya tergelak.

“Ayolah ... jangan menggodaku,” ucap Abigail, tersipu. Kali ini ia benar-benar tersipu. Namun, dengan cepat ia tepis perasaan yang sesaat muncul mengganggu fokusnya.

“Maaf, maaf, aku hanya senang melihat wajahmu yang memerah. Baiklah, aku akan merapikan apartemen agar tidak memalukan saat kedatangan tamu istimewa.”

Abigail menutup pembicaraan dengan tawa singkat, kemudian beranjak dari tempatnya untuk bersiap memenuhi undangan Zac.

***

Zachary membuka pintu saat terdengar suara bel pintu dan menemukan Abby berdiri dengan cocktail dress dan sebotol sampanye di tangannya. Senyum terulas di wajah Zac ketika matanya bertemu manik mata biru milik gadis di hadapannya.

Ia mengecup pipi Abby kemudian mempersilahkannya masuk. Membiarkan tamu istimewanya itu memindai seisi ruangan dan berkeliling sementara dirinya menyulut lilin yang tertata di meja makan. Perlahan Abby melangkah mendekat pada Zac yang sedang sibuk mempersiapkan segalanya.

“Hmm ... kau menyiapkan semua ini sendiri?” tanya Abby, yang dibalas tawa oleh pria pemilik lesung pipi yang berdiri di sampingnya.

“Apa kau yakin aku pria yang biasa menyiapkan segalanya sendiri, Abby? Tentu tidak. Pelayan yang melakukan semua ini.”

Abigail menatap pria itu dengan sebelah alis terangkat.

“Kenapa wajahmu seperti itu? Maaf jika tidak bisa mengesankanmu di makan malam pertama kita,” kelakarnya, disambut tawa renyah Abby.

“Kau benar, ketampananmu mendadak turun satu tingkat, Zac, sungguh.” Abby menutup mulut dengan tangannya, berusaha menyembunyikan gigi putihnya saat tertawa.

“Ouch! Kau terlalu jujur dan itu menyakitkan, kau tahu?” ucap Zac, sembari memegang dadanya, kemudian ikut tertawa.

Ia tak ingin berlama-lama dan membuang waktu Abby yang ia yakini, pasti tak menyukai hal-hal yang bertele-tele. Maka, ia menarik kursi, mempersilahkannya duduk dan menikmati makan malam yang mereka selingi beberapa obrolan ringan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Zac akan selalu membawa obrolan kembali pada sesuatu yang lebih santai setiap kali, secara tak sengaja, Abby membahas tentang bisnis dan perusahaan.

Undangan makan malam mereka akhiri dengan bersantai di balkon apartemen Zac. Keduanya kembali mengobrol sembari memandang gemintang di langit malam itu.

“Aku tidak percaya gadis secantik kau tidak memiliki kekasih. Kau pasti sudah jadi idola sejak kecil,” ujar Zac sembari menyesap sampanye di tangannya.

Matanya tak lepas memandang sosok cantik di hadapannya. Meski berusaha untuk tetap mengingat kekasihnya, tetap saja pesona Abby saat ini sulit untuk ia tolak. Hanya memandang saja tak ada salahnya, bukan?

“Aku serius, Zac. Tak ada pria mana pun yang pernah mendekat apalagi menjadi kekasihku. Aku sangat pemilih.” Abby kembali menyesap minumannya.

Zac masih tak mampu mengalihkan pandangannya dari Abby. Hingga akhirnya manik mata gadis itu membalas tatapannya. Ia dapat memperkirakan ke mana arah pembicaraan mereka, sekaligus apa yang akan terjadi selanjutnya.

Akan tetapi, ia sengaja tidak menghindari kejadian yang akan terjadi beberapa detik dari sekarang, karena itulah tujuannya memenuhi undangan Zac. Dan benar saja.

Zac perlahan mendekatkan wajah kemudian dengan lembut menyentuhkan bibirnya pada bibir ranum Abby. Ini bukan ciuman pertama, tetapi sesaat cukup mengejutkan baginya karena sekian lama tak pernah lagi mengalaminya setelah ciuman pertamanya. Dan apa yang ia hadiahkan untuknya, membuatnya terbuai untuk sesaat.

Sementara itu, Zac yang sesungguhnya telah memiliki kekasih, tak dapat menahan ketertarikannya pada Abby dan beberapa menit membiarkan dirinya hanyut di dalam pesona Abby dan momen yang terjadi antara mereka.

Ia bukanlah tipe pria yang suka berganti kekasih. Hubungannya dan sang kekasih sudah berlangsung sejak mereka berada di bangku kuliah. Namun, berada di dekat Abby membuatnya melupakan gadis yang telah ia pacari beberapa tahun.

Ciuman antara dirinya dan Abby menjadi semakin intens dan dalam. Zac yang memang tak ingin menolak momen itu, membiarkan dirinya terjebak dalam romansa saat ini, sementara Abby mulai menyadari apa yang mereka lakukan sudah kelewat batas.

Terlalu cepat bagi Zac mendapat banyak hal darinya. Tidak semudah itu, tidak sekarang.

Perlahan Abby mendorong tubuh Zac menjauh darinya, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan tersadar bahwa waktu sudah terlampau larut baginya.

“Uhm, m-maafkan aku, kurasa aku harus pulang sekarang. Ini sudah terlalu larut.”

Zachary tersenyum tipis menanggapi perkataan Abby dan seluruh sarafnya masih belum bisa bereaksi dengan benar setelah kecupan itu. “Satu hal lagi yang mulai kutahu tentangmu, kau adalah Cinderela yang terdampar di zaman modern,” kelakarnya, membuat Abby mau tak mau ikut tertawa.

“Yeah, kau boleh menganggap seperti itu. Namun, satu hal, ayahku sangat galak. Ia akan mengurungku di kamar jika tahu aku pulang terlampau larut.”

“Benarkah? Luar biasa. Artinya dia sangat perhatian padamu.” Zac membulatkan mata, yang sontak membuat Abby makin tergelak.

“Aku bercanda, Zac. Baiklah, aku harus pergi. Terima kasih atas makan malamnya.”

Zac mengangguk dan mengantar gadis itu keluar menuju ke lift.

“Terima kasih atas waktumu.” Sekali lagi Zac mengecup bibir Abigail, kemudian mengusap ujung bibir gadis itu dengan ibu jarinya.

Abby menyadari pipinya memerah sehingga untuk menepisnya, ia menundukkan wajah sebentar, barulah menyunggingkan senyum, kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu lift yang menutup.

***

Abby membuka amplop coklat di tangannya, membaca kembali deretan nama yang tertulis dalam daftar. Nama pemegang kekuasaan tertinggi dari keluarga Emerson adalah salah satu yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya. Ia mulai berusaha kembali ke masa itu untuk mengingat seperti apa penampakan pria yang datang bersama wanita delapan belas tahun lalu.

Wajahnya berbeda dengan ayah Zac, yang tampil di atas panggung. Lalu siapa pria yang menghajar ayahnya hingga mengalami kelumpuhan? Apa hubungannya dengan ayah Zac dan apakah ia juga terdaftar sebagai musuh ayahnya?

Sayangnya, nama Zachary Emerson tak ada dalam daftar. Tentu saja. Saat itu mungkin Zac masih berusia sama sepertinya dan tidak mengetahui kejahatan apa yang diperbuat ayah dan ibunya. Abby jadi penasaran bagaimana reaksinya andai ia mengetahui bahwa orang tuanya adalah seorang penjahat yang telah menghancurkan kehidupan anak lain yang seusia degannya?

Apakah Zac akan tetap memuja dan membanggakan sosok ayahnya? Ataukah akan berpikiran sama seperti Abby, bahwa pria itu tak lebih dari iblis berwujud manusia yang tega merebut sesuatu dengan cara kotor.

Abby membuka brankas, mengambil pena dan kertas yang sudah tergambar sebuah bagan. Beberapa nama tertulis di sana. Ia menggores tinta dan menuliskan nama Zachary Emerson. Kemudian membubuhkan angka satu lalu memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas.

Senyumnya tersungging miring, teringat kembali malam di mana Zac mencuri sebuah kecupan darinya. “Zachary Emerson, permainan dimulai darimu, sayang ...”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel