Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Kenangan dan Pembalasan

Seorang wanita duduk di kursi kerjanya sejak pagi buta. Ia tak bisa memejamkan mata malam tadi. Berbagai pikiran berkecamuk mengganggunya. Ia masih berusaha mencari siapa pun yang menyebabkan seorang gadis kecil harus terpisah dari orang tuanya. Merenggut masa kecilnya yang terpaksa harus ia jalani tanpa kasih sayang orang tua.

Abby hanya bisa mendesah pasrah setiap kali mengingat kehidupannya yang berubah jadi mimpi buruk sejak kedatangan wanita yang mengaku mengandung anak dari ayahnya. Ia masih ingat potongan kejadian kala itu. Ia masih berusia 12 tahun, bahagia menanti kehadiran adik yang akan meramaikan rumahnya. Ia gembira karena akan memiliki teman bermain.

Akan tetapi, kebahagiaan itu seketika musnah ketika wanita yang mengaku kekasih gelap ayahnya datang dengan membawa kabar mengejutkan.

Saat itu ibunya menangis histeris, memukul dada ayahnya yang berusaha menjelaskan dan menenangkan wanita itu. Suara benda jatuh, dan benda pecah berkeping-keping tak henti menjadi musik pengiring hari itu.

“Aku tidak menyangka kau tega mengkhianati pernikahan kita!” jerit wanita itu, yang sesekali sesenggukan sembari memegang perutnya.

Ayah Abby tak menyerah untuk membuktikan bahwa perkataan wanita itu tidak benar. “Aku berani untuk melakukan tes DNA jika itu bisa membuatmu percaya.”

Abigail percaya pada sang ayah. Ia masih terlalu kecil, tapi ia yakin akan perkataan pria itu. Ayahnya tak akan mungkin mengkhianati cinta yang telah mereka bangun selama ini. Ia tahu itu, karena sang ayah sering bercerita, betapa ia bangga dan bahagia karena memiliki Abby dan sang ibu. Terlebih calon adik dalam perut ibunya.

Pria berusia empat puluh tahun itu sangat antusias menghias kamar bayi, membeli segala pernak-pernik dan membawanya pulang, menjadi sebuah kejutan untuk sang istri. Dan kini hanya karena ucapan seorang wanita, segalanya porak-poranda.

“Apa konsekuensinya jika ternyata bayi itu adalah milikmu?”

“Apa pun. Bahkan kau boleh membunuhku jika itu bisa membuat amarahmu mereda.”

Perkataan itu bukan firasat, tapi yang terjadi berikutnya memanglah jauh lebih buruk dari itu. Hasil tes DNA membuktikan bayi itu milik ayahnya. Ibu Abby yang kala itu dalam kondisi tak menentu mulai menangis histeris, yang kemudian berubah menjadi tawa tak henti.

“Suamiku pembohong ... ha ha ha ha ha ... Suamiku seorang pembohong ....”

Abby kecil hanya menyaksikan dari kejauhan ketika beberapa orang berseragam putih membawa ibunya pergi. Sang ayah memeluknya agar tak perlu menyaksikan apa yang sedang terjadi, tapi tak mampu menghindari pertanyaan kritis dari gadis yang menginjak remaja itu.

“Papa, mereka akan membawa Mama ke mana?” tanya Abby, polos.

Pria itu menatap putrinya dengan wajah sendu, berusaha menjawab meski suaranya terdengar parau. Ia tak mampu menahan sakit yang ia rasakan saat ini melihat sang istri telah menjadi orang yang berbeda.

“Mereka akan menyembuhkan Mama yang sedang sakit. Sekarang kau tidurlah, besok kita akan menengoknya di sana.” Gadis remaja itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan sang ayah yang tepekur seorang diri.

Semenjak hari itu, pria itu menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan dan meratapi kehidupannya yang berubah drastis. Kebahagiaan yang dibayangkannya, musnah sudah. Beberapa kali ia mengunjungi sang istri di pusat rehabilitasi kejiwaan, berharap ada kemajuan pada kondisi istrinya, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Wanita itu semakin tak mengenalinya. Ia terlihat tenang, tapi pandangannya kosong dan tak merespon siapa pun. Hal itu membuatnya semakin patah semangat. Beberapa kali ia berusaha mengakhiri hidup. Hingga suatu ketika wanita yang mengaku mengandung anaknya, datang kembali bersama seorang pria.

Terjadi baku hantam antara ayah Abby dan pria tersebut. Abby tak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Di depan matanya, pria itu menghajar ayahnya hingga tak sadarkan diri. Hanya seringai kemenangan yang kemudian pria jahat itu berikan, lalu pergi bersama wanita itu. Tentunya tidak dengan tangan kosong.

Sejak saat itu, ayah Abby hanya mampu tergolek tak berdaya seperti mayat.

Abby tersadar dari lamunan yang melayang ke masa lalu. Gegas, ia meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan salah satu detektif yang ia bayar untuk membicarakan misinya.

Tidak, ia tidak mengatakan pada detektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis.

Saat mobilnya tiba di halaman parkir L’Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok pria yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Pria itu sudah memberi kabar lebih awal bahwa ia akan berada di tempat yang mempermudah dirinya mengawasi sekitar.

Tak masalah bagi Abby, karena ia telah merogoh kocek cukup dalam untuk memperkerjakan pria itu. Sudah seharusnya ia melakukan segalanya sesuai keinginan.

Abby melangkah masuk ke restaurant, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Rambut hitam panjang terurai, tubuh padat berisi, serta proporsi wajah yang menawan menjadi daya tarik gadis itu.

Gadis itu mengulas senyum tipis sembari tetap melangkah anggun. Ia segera duduk berhadapan dengan pria berjas coklat saat tiba di meja, dan memesan secangkir kopi untuknya.

“Maaf membuatmu menunggu lama.” Gadis itu meletakkan tas tangan di sampingnya lalu membenarkan duduk agar lebih nyaman. “Kita mulai saja, jika kau tidak keberatan. Kau pasti punya kepentingan lain.”

“Ah, baik, Nona Genovhia.” Pria itu terlihat gugup, mengeluarkan beberapa berkas data yang ia miliki.

“Ini beberapa hal yang aku dapatkan tentang rival bisnis dari pemilik lahan, dan ... ada namamu juga sebagai pembeli sisa aset yang dimilikinya sejak kebakaran.”

“Oh, ya, benar. Aku memang membelinya. Sayang saja jika lahan itu tidak dimanfaatkan. Sementara untuk membangun ulang sebuah perusahaan bukanlah hal mudah. Benar, kan?”

“Benar, nona. Apakah pemilik saham ini adalah rivalmu?” selidik pria itu. Abby menyandarkan punggungnya.

“Hmm ... bagaimana aku menjelaskannya, ya? Jadi, keluargaku memiliki saham di perusahaan tuan pria ini, dan ketika aku ingin mengambil alih saham tersebut, justru terjadi kejadian naas itu. Semua aset dan lainnya hangus sudah. Aku hanya sedang ingin membangun kembali usaha keluargaku, tetapi dengan cara yang benar.” Abby menghirup kopinya sejenak.

“Aku harus tahu, segarang apa rival bisnis pria itu, agar aku bisa menyiasati perusahaanku tak mengalami nasib sama. Kau tahu, ‘kan, dunia bisnis sangat kejam?” Gadis itu menghentikan kalimat. Telunjuknya memainkan bibir cangkir yang masih berada di atas meja.

Pria yang duduk di seberang mejanya memandangnya penuh tanya. Ia kemudian menoleh ke arah lain di mana beberapa pria masih tak alihkan pandangan mereka dari gadis anggun yang dengan tenang duduk di meja dan berbincang dengan pria nyaris paruh baya.

“Sejak tadi beberapa pasang mata itu tak lepas memerhatikanmu,” ucap pria itu kemudian menyeruput kopinya. Tegukan terakhir. Abby menoleh sedikit mengikuti arah yang ditunjukkan pria itu, senyum simpul tersungging di ujung bibirnya.

Ia tak peduli berapa pasang mata pun yang memerhatikan, ia tidak tertarik.

“Kau ingin pesan kopi lagi?” tawar pria itu pada Abby. Gadis itu menggeleng.

“Aku cukup. Setelah ini harus kembali ke kantor. Kau sendiri?”

“Ah, aku akan memulai pencarian saja. The day is still young, aku harus memanfaatkan dengan baik. Kau membayarku tidak sedikit untuk ini.”

“Baguslah kalau begitu.” Abby menghirup minumannya terakhir kali sebelum kemudian bangkit. “Untuk selanjutnya jika ada informasi dan apa pun yang kau butuhkan bisa menghubungi nomorku. Aku permisi.”

Abby mengambil selembar kertas dari tasnya kemudian meletakkan di atas meja, mengangguk pada pria itu, lalu memutar tubuh melangkah meninggalkan restaurant.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel