Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. The Prey

"Adelaide, apa yang terjadi pada Papa?" tanya Abby pada asisten rumah tangga keluarga Anderson. Adelaide, wanita berusia 45 tahun itu, memeluknya dengan erat seolah ingin melindunginya.

Abby menatap nanar tubuh sang ayah yang terbaring dengan berbagai peralatan penyokong. Ia masih terpejam, entah kapan akan terbangun.

Ia selalu memanjatkan doa untuk kesembuhan pria kesayangannya. Melihat apa yang dilalui pria itu, ia seolah ikut merasakan sakit yang ayahnya rasakan.

"Dia akan baik-baik saja, sayang. Aku berjanji." Adelaide berusaha menghibur Abby kecil yang tak merespon selain hanya tatapan nanar dan anggukan lemah.

Akan tetapi, janji itu tak dapat ia penuhi. Karena selanjutnya James, sang ayah, tak pernah sama lagi. Ia menjadi sosok yang berbeda, tak lagi mampu melakukan segala yang dulu pernah dan sering meteka lakukan. Ia hanya terbaring, kadang matanya terpejam. Di lain waktu ia membuka mata, tapi tetap tak pernah mengucap sepatah kata pun.

Abby selalu mengunjunginya di Rumah Sakit setiap akhir pekan. Berharap Ayahnya akan sadar dan memeluknya lagi. Atau setidaknya memanggilnya 'Abby Bear' seperti yang biasa.

Akan tetapi, tidak sama sekali. Ia tak pernah lagi melakukan itu. Bahkan untuk menggerakkan tangan atau berkedip sekalipun. Benar-benar seperti mayat hidup.

Tak ada lagi kemungkinan Abby akan bertemu ayahnya dalam kondisi normal. Tak ada hal yang normal saat ini. Baginya segala sesuatu telah porak-poranda. Hancur berkeping-keping.

Terlebih ibunya. Abby bahkan sama sekali tak pernah tahu bagaimana kondisi wanita itu. Ia hanya mendengar kabar melalui Adelaide yang secara rutin menerima informasi melalui telepon dari pusat rehabilitasi tempat ibunya dirawat. Selebihnya tak ada lagi.

Pagi ini seperti biasa Adelaide akan mempersiapkan sarapan untuk Abby. Namun, tentu saja tak akan sama seperti hari sebelumnya. Kini ia terpaksa menyantap sarapannya seorang diri.

Ia menatap jajaran kursi kosong dengan tatapan sendu. Matanya berkaca, jutaan bulir air mata telah berkumpul dan bisa tumpah kapan saja.

Adelaide menyadari perubahan pada majikan kecilnya. Ia mendekat dan duduk di sampingnya, menyiapkan piring dan makanan untuk dirinya sendiri.

"Kau tidak sendiri, Abby. Ada aku di sini." Adelaide tersenyum hangat. Gadis itu mengangguk kemudian melanjutkan santapannya. Adelaide benar, ia tidak seorang diri.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Abby. Ia memutar kursinya kembali menghadap meja, mempersilakan tamunya untuk masuk.

"Nona Genovhia, ini berkas yang Anda minta. Dan saya sudah persiapkan jadwal untuk pertemuan besok dengan beberapa klien bisnis kita. Kebetulan klien dari Jepang bersedia untuk ikut bergabung dalam rapat."

"Baik, Tamara. Terima kasih atas bantuanmu." Abigail membuka lembar demi lembar kertas di hadapannya. Tamara, Asistennya hendak berbalik untuk pergi tapi langsung ia cegah. "Uhm, Tamara."

"Ya, Nona?"

"Tolong hubungi Tuan Thompson dan minta untuk menemuiku di L'Restaurante sore ini. Ada masalah yang harus aku bicarakan dengannya."

"Baik, Nona. Apakah ada lagi?" Wanita itu mencatat permintaan bosnya pada sebuah tablet yang selalu ia bawa ke mana pun.

"Tidak, itu saja. Terima kasih. Kau boleh kembali ke ruanganmu."

Wanita itu mengangguk kemudian berbalik dan pergi setelah menutup pintu ruangan, meninggalkan Abby yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Banyak hal yang harus ia selesaikan hari ini. Karena ini berhubungan dengan masa depannya, juga nyawa ayahnya.

Meski pria itu kini tak berdaya, tapi selama ia masih bernafas, ia tak akan membiarkan orang yang sudah menghancurkan keluarganya bebas berkeliaran bahkan hidup bahagia.

Ia tak tahu apa langkah yang harus dilakukannya. Selama ini, ia hanya mencari semua informasi tentang pria dan wanita itu. Meski hingga kini belum membawa hasil yang ia harapkan, tapi ia tak akan menyerah. Ini semua demi ayah dan ibunya. Juga adiknya yang kini entah dimana keberadaannya.

***

Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abby mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, ia sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu.

Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zac. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang ia butuhkan.

Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jaring yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkan mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini.

Abby berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Saking asyiknya, ia tak sengaja berpapasan dengan seseorang.

Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zac kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja miliknya.

“Whoa ... lihat jalan—“ Zac membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekarang. “Abby?”

Abby yang menyadari keberadaan Zac, yang terjadi tanpa disengaja, akhirnya membalas sapaan pria itu. Ia mengangkat satu tangannya melambai singkat pada Zac yang terlihat masih tak percaya dengan kebetulan itu.

“Sedang apa kau di sini?” tanya pria itu, yang segera ia sesali karena terdengar konyol. Tentu saja untuk berbelanja, apa lagi? Ia kemudian tertawa menyadari kecanggungannya. "Maaf, lagi-lagi aku bersikap konyol setiap berada di depanmu."

“Tak masalah. Bagaimana denganmu? Apakah kau mulai belajar memasak untuk menjamuku lagi?” goda Abigail.

Pria itu mengangguk. “Itu salah satu alasan dari sekian alasan. Tapi kali ini, aku sedang menemani ibuku berbelanja.”

Abby celingukan berusaha mencari keberadaan wanita yang baru saja Zac sebut. Lalu tak lama, wanita yang sejak tadi berdiri tak jauh dari tempat mereka berada, memutar tubuh.

Abbt terpaku seketika melihat sosok di hadapannya. Ia berusaha keras menelan saliva yang seolah tercekat di tengah batang tenggoroknya—panik melihat sosok di depannya.

Itu dia. Bagaimana mungkin Abby bisa melupakan sosok itu? Warna rambut yang sama dengan Zac, dengan manik mata kelabu yang tajam dan licik. Tak ada sedikit pun yang berubah dari penampilan wanita itu sekarang dan belasan tahun yang lalu.

“Earth to Abby.” Zac menjentikkan jari di depan wajah Abby, menyadarkannya dari lamunan. “Perkenalkan ini ibuku. Bu, ini Abby rival bisnisku yang kini menjadi ... teman.”

Abby menjabat tangan wanita yang terlihat memicingkan mata melihatnya. Abby beruntung karena tidak melupakan softlens-nya. Dan terima kasih pada pewarna rambut yang berhasil menyembunyikan penampilan asli yang pasti akan mudah dikenali siapa pun karena kemiripannya dengan sang ayah.

“Apakah kita pernah bertemu? Kau kelihatan seperti tak asing.”

Abby tertawa ringan. “Mungkin kau mengenal seseorang yang mirip denganku.”

“Atau Ibu pernah melihatnya di majalah bisnis. Dialah sang singa betina, Bu,” terang Zachary.

“Ah ... ya, kau benar. Meski aku tak pernah benar-benar membaca majalah membosankan itu, tapi sepertinya memang begitu. Ayahmu sangat senang mengumpulkan benda-benda itu, aku terpaksa ikut melihat-lihat. Hai, senang berkenalan denganmu, Abby.” Amanda beralih pada Abigail setelah bicara panjang lebar dengan putranya.

“Kalian boleh berjalan bersama dan mengobrol, aku akan kembali berburu barang-barang kebutuhanku.” Amanda meraih trolly dari tangan Zac, kemudian melenggang pergi meninggalkan mereka berdua.

Beberapa lama mereka terdiam, tenggelam dalam kecanggungan yang mulai mengganggu, tang kemudian segera ditepis oleh Zac.

“Kenapa jadi canggung begini?” Ia tertawa. “Bagaimana kalau kita menikmati kopi? Di sebelah sana. Aku melihat kafe pojok untuk pengunjung. Mungkin kita bisa mengobrol sembari menunggu ibuku. Kalau kau tak keberatan.”

Abby mengangguk cepat, kemudian mengekor langkah Zac yang berjalan lebih dulu. Mereka berhenti di sebuah tempat dengan kursi dan meja berjajar rapi. Tempat yang sepertinya sengaja disediakan untuk pengunjung untuk sekadar menikmati kopi dan kudapan.

Zac menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Abby duduk. Setelah memesan, mereka berbincang sembari menunggu pesanan mereka datang.

“Serius, apakah kau sedang berbelanja? Kupikir ada asisten yang akan membantu menyiapkan segalanya untukmu. Gadis sepertimu—”

“Gadis seperti apa, Zac? Kau hanya tidak tahu, aku menyiapkan segalanya sendiri. Kau akan lihat nanti.”

“Wah, aku tak sabar. Apa lagi yang tidak kuketahui tentangmu, Abby?”

Perbincangan mereka terhenti saat dua cangkir americano mendarat di atas meja. Dengan tak sabar Zac menyeruput isi dalam cangkir dan meringis saat cairan itu menyentuh lidahnya.

“Kenapa? Apa rasanya tidak enak?” tanya Abby, setengah berbisik, menebak alasan pria di hadapannya memasang ekspresi seperti itu.

Zac tertawa tertahan. “Cobalah sendiri.”

Abigail menghirup minuman yang sama. Mimik hampir serupa terulas di wajahnya. Ia tergelak seketika.

“Oh, Tuhan, rasanya sungguh—” Ia kembali tertawa.

“Sepertinya aku harus mengundangmu lagi, sebagai bentuk permintaan maafku karena mengajakmu ke tempat ini. Aku bisa buatkan Americano yang lezat untukmu,” ujar Zac, menawari disela gelak tawa Abby.

Abby hentikan tawa, berubah menjadi senyum simpul, yang dengan cepat ia pudarkan sebelum Zac menyadarinya.

“It’s my turn, Zac. Aku yang akan mengundangmu untuk makan malam di rumahku. Aku sendiri yang akan memasak.”

Zac segera merespon, setuju datang hari Minggu besok untuk jamuan makan, spesial darinya.

Abby akan mengambil hati pria itu dengan segala keahliannya. Dimulai dari memanjakan lidah pria itu, lalu jika mangsa sudah masuk perangkap, ia akan menjeratnya dengan hal besar yang membuatnya tak bisa melarikan diri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel