PART 7
Arjuna Harvito Widiatmaja POV
malam ini aku menjemput Nada di rumahnya setelah kemarin sore aku mengirim pesan kepadanya jika aku akan mengajaknya ikut di acara reuni SMA yang diselenggarakan di sebuah hotel. Ketika melihatnya sejujurnya aku jatuh hati. Bagaimana tidak, Nada dengan dress putih model kemben, rambut diurai bisa terlihat begitu cantik. Aku berharap teman temanku SMA tidak akan menyadari bahwa perempuan yang aku "gandeng" malam ini adalah Sharenada Raharja, perempuan yang selalu menghiasi imajinasi mereka ketika masih remaja.
"Jun, baju aku sudah nggak kurang bahan 'kan sekarang?"
Aku hanya tertawa mendengarnya, mau jujur kalo Nada masih terlalu berpenampilan cukup terbuka tapi jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Jika harus menunggu Nada berganti pakaian akan lebih lama lagi
Aku menggelengkan kepala.
"Enggak, Nad. Kamu cantik banget malam ini."
Aku melihat wajah Nada mulai dari muka leher bahkan sampai telinga berubah menjadi merah.
"Ya sudah, yuk buruan keburu nanti nggak kebagian makan," Nada mengatakan kepadaku dan kemudian ia jalan terlebih dahulu di depanku.
Sampai di parkiran hotel aku membukakan pintu mobil untuknya dan ketika memasuki loby salah satu hotel bintang 5 di jalan AM sangaji itu, aku melihat beberapa teman laki lakiku memfokuskan pandangannya ke Nada. Aku merasa kurang nyaman dengan tatapan yang mereka berikan ke Nada. Sedangkan Nada yang di tatap seolah dirinya adalah es kelapa muda di siang bolong ketika bulan puasa oleh teman temanku itu hanya cuek saja tidak peduli. Ketika kami memasuki pintu ballroom bukan hanya tatapan para pria yang lebih banyak menatap Nada. Aku menyadari tatapan beberapa teman perempuan yang menatap penuh minat padaku. Aku adalah orang yang cukup ramah dan luwes dalam bergaul tetapi malam ini aku harus berterima kasih kepada Nada karena mau menjadi tamengku sehingga para teman wanitaku sedikit lebih berfikir untuk mencoba meminta hal lebih padaku. Layaknya nomer handphone, pertemuan kembali setelah acara reuni dan sekedar jalan.
"Hai, Jun," aku mencari sumber suara itu dan aku temukan Angga sedang melambaikan tangannya padaku. Aku tersenyum dan segera menggandeng Nada menuju ke Angga.
"Wah, lama mggak kelihatan ternyata udah punya gandengan aja lo. Kenalinlah ke gue, siapa namanya?"
Aku tersenyum dan mengenalkan Nada.
"Nad, kenalin ini Angga, teman sebangku aku dulu."
"Nada."
"Angga."
Aku melihat Nada menyalami Angga dan beberapa teman lelakiku sudah berjalan mendekatiku. Ketika teman temanku hampir sampai kepadaku dan Nada, Nada ijin mencari toilet sebentar. Aku hanya mengangguk sebagai respon atas persetujuanku.
"Wah, padahal kesini mau kenalan sama nyonya, malah nyonya kabur," gumam Jefri ketika kami telah berkumpul jadi satu. Di situ ada aku, Angga, Jefri, Tio dan Lukman.
"Nyonya lihat muka lo dari jauh sudah ngibrit duluan, Jef, soalnya tampang lo tampang penjahat," kata Angga.
Kami semua tertawa. Lantas teman temanku memandangku dengan sejuta tanya yang sepertinya ingin mereka tanyakan kepadaku.
"Itu gebetan, pacar, calon istri atau udah sah jadi istri lo, Jun?" Tio menyuarakan pertanyaan yang paling aku hindari malam ini karena aku tidak tau akan menjawab apa.
"Kok kalo di lihat lihat dari jauh, kaya nggak asing sama mukanya, ya?" gumam Lukman.
Tanpa sadar aku menarik nafas dalam dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Wajarlah lo nggak asing. Dia Sharenada Raharja. Cewek sekolah sebelah yang sering kalian omongin di tongkrongan dulunya."
Aku melihat bola mata Jefri, Tio dan Lukman yang melebar sempurna sampai hampir jatuh dari tempatnya.
"Bujubunek, ketiban durian runtuh dong lo Jun dapetin Nada."
"Lo kira Nada itu barang, Jef?"
"Ya bukannya gitu, tapi asli deh kalo lo dapetin dia, gue nggak ngebayangin gimana wujud anak lo besok, bapaknya ganteng, emaknya cantik, fix, perlu di indent jadi mantu kalo punya anak."
"Gue yang ogah besanan sama lo, Jef."
"Jun, asli gue penasaran, gimana lo bisa kenalan sama dia? lo 'kan biasanya juga lebih banyak bergaul sama monyet daripada sama cewek. Apalagi cewek modelan Nada gitu. Nggak mungkin juga elo kenalan di gunung."
Tidak mungkin aku bercerita kalo aku dan Nada adalah pasangan yang rencananya akan dijodohkan oleh Eyang-Eyang kami. Belum sempat aku menjawab, aku melihat Nada berjalan ke arahku dan tatapan teman temanku semakin ngiler dibuatnya. Aku mendengar Lukman berdeham ketika Nada telah bergabung dengan kami.
"Eh, temen-temen Juna ya, kenalin gue Nada," kata Nada dengan ramah bahkan senyum menghiasi wajahnya beserta tangan yang menyalami temanku satu persatu selain Angga.
"Wah, makin cantik aja lo, Nad habis lulus SMA. Tapi apes nasib lo, Nad dapet pangeran gunung,p" kekeh Lukman pada Nada.
Aku melihat Nada bingung dan menatapku seolah berkata, "teman kamu bisa kenal aku darimana?"
Aku hanya menggangkat kedua bahuku sekilas, tidak mungkin juga jujur pada Nada kalo selama ini dia terkenal sebagai simbol pacar idaman laki-laki di sekolahku dulu.
"Masa? Padahal kita barusan kenalan." Nada membalas Lukman dengan senyuman yang ramah.
"Ya memang baru kenal barusan tapi gue salah satu pemuja rahasia lo dulu pas SMA. Anak mana, Nad yang nggak tau lo walau lo anak sekolah sebelah. Apalagi satu geng Lo yang ada cowok satu dan dua cewek lagi."
Aku bersyukur tidak harus menjawab dimana aku berkenalan dengan Nada tapi melihat interaksi Nada dan taman temanku yang sepertinya sedang mencari celah untuk banyak berbicara dengan Nada, ada perasaan tidak rela dan dongkol yang aku rasakan.
"Nad, kita cari makan dulu saja yuk ke sana," kataku sambil menunjuk bagian sebelah kanan ballroom, sebisa mungkin untuk menjauh dari teman temanku.
Nada mengangguk sambil tersenyum
"Gue sama Juna duluan, ya."
Aku mendengar Nada mengucapkan itu dan setelahnya Nada langsung merangkul lengan kananku dan menuntunku berjalan menuju area kanan ballroom
Ingin aku tertawa melihat ekspresi teman temanku yang melongo melihat kejadian ini. Aku yang dikenal tidak pernah dekat dengan cewek lebih dari sekedar teman malah bisa menggandeng Nada.
Sharenada Raharja POV
Ketika aku ke toilet dan sedang didalam bilik, aku mendengar orang yang aku yakin sedang membicarakan aku karena malam ini yang digandeng Juna itu aku. Siapa perempuan yang tidak sebal dighibahin oleh orang yang kenal kita juga tidak tapi sok sokan tau. Dan aku salut dengan orang yang berprofesi sebagai artis karena mereka punya kuping yang tebal, sayangnya kupingku ini masih masuk kategori tipis.
"Lo lihat nggak tadi Juna pas masuk ballroom gandeng cewek?"
"Iya gue lihat, bikin sebel ajakan, sudah dandan habis habisan gini niatnya biar Juna ngelirik, taunya malah bareng nenek lampir. Pasti tu nenek lampir yang rayu rayu Juna sampai akhirnya Juna mau ngajakin dia di acara kaya gini."
"Hahaha... Lo masih ngarepin Juna ngelirik lo setelah dulu lo ditolak?"
"Pastilah, gimana mau berpindah hati kalo di medsosnya aja Juna nggak pernah upload foto pasangannya."
"Awas saja tu cewek kalo sampai gue dapet fotonya, gue santet biar nggak ada saingan lagi "
Aku mendengarkan percakapan itu dengan emosi bercampur takut. Apa dia bilang tadi, santet?
Santet? Gila kali tu orang ya, bikin emosi jiwa aja. Kaya nggak ada laki-laki lain. Aku keluar toilet dengan perasaan jengkel tapi kalo di pikir-pikir lagi lebih baik aku panas panasin aja sekalian cewek itu walau aku tidak melihat wujud rupanya, aku yakin dia pasti mengawasi gerak gerikku dan Juna malam ini. Maka dari itu aku merangkul lengan Juna, biar itu cewek makin dongkol di hati. Untungnya yang di rangkul lengannya hanya diam pasrah saja, sudah kaya kebo dicolok hidungnya.
Sebenarnya ini salah Juna juga, kenapa mesti dandan ganteng banget malam ini, toh kemarin waktu camping stylenya nggak ada bagus bagusnya sama sekali. Padahal malam ini cuma reuni sekolah.
"Jun, sampai nanti kita keluar dari ballroom ini, aku harap kamu pasrah saja kalo aku nempel ke kamu kaya mimi lan mintuno," Bisikku pada Juna.
"Emang kenapa?"
"Sudah pokoknya gitu, awas kalo nggak mau kerjasama."
Bukannya menjawab, Juna hanya terkekeh.
Dan benar saja ketika kami sedang makan, giliran teman teman perempuan Juna yang mendekat ke kami lebih tepatnya mendekat ke Juna. Memang aku akui di balik Juna yang nggak ada keren kerennya seenggaknya dia bisa menempatkan diri ketika harus berdandan rapi dan ternyata Juna dengan style rapi, bak cowok metroseksual seperti ini lebih berbahaya karena Juna laksana gula sedangkan para perempuan itu adalah semutnya. Kalo aku menjadi pasangannya apakah aku sanggup menghadapi ini semua? Ini baru setitik realita yang harus aku hadapi jika aku ingin meneruskan keinginan Eyang untuk menikahi Juna.
"Nad?" panggilan dari Juna menyadarkan aku dari lamunan.
"Eh, iya, kenapa?"
"Dewi ngajak kenalan kamu itu?"
"Oh iya, sorry." Aku langsung menyalami tangan Dewi yang sudah terulur padaku sambil menyebutkan namaku.
Setelah menyalami Dewi, aku menyalami beberapa grupies-nya Juna yang datang bersama Dewi. Ada Yana, Wulan, Ovi, Tias, dan Khansa. Aku tidak perlu menjadi cenayang untuk mengetahui jika mereka sedang menilaiku dari atas sampai bawah. Untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki tubuh tinggi di atas rata-rata wanita Indonesia. Dengan tinggi 178 cm, berat 57 kg dan aku memakai high heels setinggi 10 cm, aku setidaknya bisa mengintimidasi bagai raksasa yang tinggi menjulang di depan mereka. Bahkan tinggiku saat ini sejajar dengan Juna.
Sebelum para grupiesnya ini menanyakan yang tidak tidak, Juna langsung memeluk pinggangku untuk mendekat dan sok sokan mencium keningku. Otomatis semua perempuan di depanku ini tidak akan jadi menanyakan hal-hal yang aku yakin tidak jauh dari interogasi agen CIA.
"Kapan hari H-nya, Jun?"
Buset juga si Dewi, nggak ada angin nggak ada hujan langsung nembak nanyain hari H nya pula.
"Banyakin nabung aja dulu, Wi buat isi amplop sumbangan kawinan gue besok."
Sumpah, pengen ngakak pas lihat muka Dewi yang shock parah dengan jawaban Juna yang ajaib.
"Ye, gue itu nanya biar gue bisa kosongin jadwal. Takutnya gue pas lagi di luar kota."
"Tunggu saja, nanti juga sampai ke Lo tapi jangan sampai pingsan kalo nerima undangan kawinan gue nantinya."
Oh, lelaki di sebalahku ini tingkat kepercayaan dirinya sudah setinggi nirwana sampai bisa mengucapkan kata kata seperti itu.
Karena sudah capek berbasa basi dengan para perempuan di depanku ini, akhirnya aku pamit undur diri
"Sorry, gue sama Juna kesana dulu ya, mau ambil minum. Permisi. Yuk babe." Kataku ramah sambil menggandeng Juna untuk berjalan meninggalkan para grupies nya.
Walau aku tidak melihat tapi ketika aku mendengar Juna tertawa pelan disebelahku, aku tau, malam ini sandiwara kami berdua cukup sukses.
Pukul 22.00 WIB aku meninggalkan loby hotel tersebut. Beberapa pasang mata masih terarah kepada kami ketika kami menuju pintu keluar hingga masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil aku melirik Juna yag beberapa kali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Kamu kenapa, kesambet?"
Juna menoleh kepadaku, "Nggak, cuma lucu saja lihat tingkah kamu tadi. Sudah cocok kalo mau jadi aktris."
"Sekali kali bikin hot gosip di acara reuni nggak ada jeleknya, Jun "
"Tapi makasih ya, udah mau nemenin malam ini."
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
***