Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Buka atau Aku yang Membukanya

Sambil menggeleng jijik, Frank menunjuk sepatu hitam sang sekretaris. “Kau bukan anak magang, jadi singkirkan sepatu kuno itu. Dan celana itu ... tukarlah dengan rok. Dengan begitu, kau mungkin bisa terlihat sedikit lebih menarik. Lalu, blouse yang membosankan itu ... carilah yang lebih bermode. Terakhir, kepalamu.”

“Ada apa dengan kepalaku?” tanya Kara dengan nada horor. Ia masih bisa terima jika sang CEO memprotes outfit-nya, tetapi kepala? Apakah Setan Cabul itu juga ingin menggantinya?

“Kau tidak sedap dipandang. Buka ikat rambutmu!”

Kara terbelalak. Ia sedang dalam bahaya. Jika rambutnya tergerai, bukankah Frank Harper bisa lebih mudah mengenalinya?

“Saya lebih nyaman seperti ini, Tuan. Jika rambut saya tergerai, itu akan lebih merepotkan.”

“Kau yang repot, bukan aku. Buka sekarang atau aku yang membukanya!”

Kara menelan ludah. Ia ingin mencari alasan, tetapi tidak ada. Sambil menundukkan kepala, ia terpaksa menggerai rambutnya.

“Singkirkan kacamata itu juga!”

“K-kacamata? Bagaimana saya bisa melihat?” Kara terbata-bata. Ia baru sadar bahwa Frank Harper telah mencurigainya.

“Kau masih punya mata. Jadi, lepaskan!”

Frank tiba-tiba merebut kacamata Kara. Merasa topengnya lepas, gadis itu spontan menutup kedua matanya dengan sebelah tangan.

“Tolong kembalikan! Saya bisa pusing kalau tanpa kacamata!” Tangannya yang lain menggapai-gapai tanpa arah.

“Ini bukan kacamata plus ataupun minus. Apa yang kau pusingkan?”

Kara sontak mengintip lewat sela jari. Frank ternyata sedang menguji kacamata itu. Panik, Kara

nekat merebutnya. Namun, sang CEO dengan sigap menangkap kedua tangannya.

Dari jarak sedekat itu, mustahil Frank Harper tidak mengingatnya. Namun, Kara telah terkunci.

Ia tidak bisa lari. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah menutup mata dan mengernyitkan wajah.

Sayangnya, Kara tidak tahu bahwa taktiknya justru menyegarkan ingatan Frank. Pada malam panas mereka, ia secara tidak sadar membuat ekspresi itu setiap kali si Setan Cabul mendesak tubuhnya terlalu dalam.

“Kara Martin, kau yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya?”

Jantung Kara seakan meledak. Darah segar seperti berhamburan memenuhi rongga dadanya. Ia

tidak bisa lagi bernapas.

Dengan mata terbelalak, ia hanya menatap lurus manik abu-abu di hadapannya. Wajah

pucatnya terpantul di sana.

Jika tidak segera bertindak, ia yakin paru-parunya akan berhenti untuk selama-lamanya. Ia

belum siap meninggalkan si Kembar bersama ancaman dari ayah kandung mereka yang tak

berperasaan.

"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah

kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang

melanggarnya."

Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah

genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana.

"Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?"

"Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya

menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?"

Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang

menuduhnya menyimpan rasa.

"Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan

sapu tangan.

"Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak

kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan?

Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis jelek dan kaku seperti saya ini,

misalnya?"

Frank menghela napas tak percaya. Kara Martin memang berbeda dari perempuan lainnya. Ia

sangat menyebalkan!

"Kau ini tidak tahu terima kasih, hmm? Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri,

tapi kau malah menjadi-jadi. Sudahlah! Sekarang cepat buatkan kopi untukku!"

Mendapat kesempatan yang ditunggu-tunggu, Kara pun berlari keluar ruangan. Ia sudah lupa

dengan kacamatanya. Ia bahkan tidak sempat memperhatikan bahwa pria yang membukakan

pintu sedang menahan tawa. Ia hanya ingin kabur dari Frank Harper.

"Kenapa kau tertawa?" hardik sang CEO begitu Jeremy berbalik menghadapnya.

"Tolong jangan terlalu keras pada gadis itu, Tuan. Anggapannya tidak salah. Anda memang terlihat suka padanya."

"Jeremy!"

Sang asisten sontak mengangkat kedua tangan. Ia tidak berani lagi bicara. Selang satu

anggukan, ia keluar dari ruangan. Frank selalu butuh waktu untuk meredakan emosi.

Sementara itu, di pantry, Kara baru saja berjalan masuk dengan napas terengah-engah.

Sesekali, ia menepuk pipi. Ia masih tak percaya bahwa dirinya berhasil lolos dari kecurigaan si

Setan Cabul.

"Ini seperti misi bunuh diri. Aku harus secepatnya keluar dari perusahaan ini."

Sambil berpikir keras, Kara menyiapkan air panas dan cangkir. Namun, begitu membuka lemari,

fokusnya teralihkan.

Deretan stoples di hadapannya telah diberi label nama-nama hari. Kopi Black Ivory untuk hari

Senin, Finca El Injerto untuk Selasa, Saint Helena untuk Rabu, Hacienda La Esmeralda untuk

Kamis, dan kopi luwak untuk Jumat. Isi lemari itu lebih mahal dari gaji bulanannya!

"Apakah perlu teknik khusus untuk menyeduhnya?" desah Kara khawatir. Ia bisa

membayangkan kemarahan Frank jika ia menyia-nyiakan bubuk kopi itu.

"Tapi, bukankah itu bagus? Jika Setan Cabul itu marah, dia pasti akan memecatku."

Senyum Kara pun mengembang. Setelah mengangguk mantap, ia mematikan teko pemanas.

Tanpa menimbang-nimbang, ia memasukkan kopi ke dalam cangkir, lalu menyiramnya dengan

air yang belum mendidih. Ia bahkan menambahkan garam dan merica ke dalamnya. Begitu kopi

siap disajikan, ia setengah mati menahan tawa.

"Apakah itu pesanan Tuan?" tanya Jeremy saat dirinya tiba di depan pintu.

"Ya." Kara cepat-cepat mengatupkan bibir agar tidak membocorkan kegelian. Ia sudah siap

menerima kemarahan si Setan Cabul.

"Anda menyeduhnya sesuai petunjuk yang tertempel pada bagian belakang stoples, bukan?"

Mendengar nada serius itu, senyum Kara mendadak beku. Setelah berkedip, ia mengangguk

kaku. "Ya."

"Baguslah. Kondisi hati Tuan Harper sedang tidak bagus dan Anda sudah menyebabkan masalah

dua kali. Saya harap, Anda tidak menambah kesalahan lagi, Nona."

Mendapat peringatan seserius itu, nyali Kara sedikit menciut. "Apa yang terjadi jika saya

membuat kesalahan yang ketiga? Apakah saya akan langsung dipecat?"

Jeremy meringis. "Hukuman dari Tuan Harper bukan hanya pemecatan, Nona. Saya harap, Anda

tidak pernah tahu. Sekarang, cepat masuk! Jangan biarkan dia menunggu!"

Jantung Kara melompat tinggi ketika Jeremy mendorong punggungnya melewati pintu. Ia ingin

mundur, tetapi mata abu-abu yang mengerikan itu sudah telanjur menyorotinya.

"Apa yang terjadi kalau Setan Cabul itu meminum ini? Apakah ini sungguh misi bunuh diri?"

Wajah Kara memucat. Tangannya mulai gemetar. Namun, pria yang sedang menyimak obrolan

via telepon itu memanggilnya lewat gerak telunjuk. Mau tidak mau, ia menghampiri.

"Jadi, prototipe CB-23 gagal?"

Suara Frank menggetarkan lutut Kara. Namun, gadis itu masih bisa mengendalikan kegugupan.

Malangnya, ketika ia hendak meletakkan cangkir, Frank tiba-tiba menggebrak meja. Kopi di

tangan Kara nyaris tumpah.

"Apa kalian lupa? Semua hal yang mengancam reputasi Savior Group harus dilenyapkan. Aku

tidak peduli berapa milyar yang kalian habiskan untuk prototipe itu. Barang rusak dan tidak

berguna itu tetap harus dihancurkan."

Kara terbelalak dan tidak berani bergerak. Wajah Louis dan Emily kini terbayang di benaknya. Si

Kembar juga mengancam reputasi perusahaan. Jika prototipe yang bernilai milyaran saja tidak

ragu untuk dimusnahkan, apalagi anak-anak yang tidak diinginkan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel