Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Setan Bermata Abu-Abu

Tiba-tiba, Vivian meletakkan kertas lain. "Ini kompensasi kalau Anda bisa bertahan lebih dari satu bulan."

Mata Kara semakin lebar. "Itu cukup untuk biaya sekolah anak-anak!"

"Dan kalau Anda bisa bertahan selama tiga bulan, ini akan menjadi kompensasi untuk bulan-bulan selanjutnya."

Begitu kertas terakhir diletakkan, mulut Kara ternganga lebar. Ia seperti melihat jalan keluar yang begitu terang.

"Aku tidak perlu khawatir lagi jika jumlah itu masuk ke rekening setiap bulan. Bukan hanya anak-anak yang sejahtera, Ibu juga bisa pensiun dari perpustakaan!"

"Hei, Emily. Itu berapa? Kamu yang lebih pintar matematika," bisik Louis seraya menyenggol lengan saudaranya.

"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau nolnya ada enam itu satu juta. Itu nolnya ada delapan. Apakah seratus juta?"

"Mama terima saja. Nolnya banyak," bisik Louis sambil menutupi mulut dengan sebelah tangan. Ia tidak peduli jika Vivian tertawa simpul, sedangkan sang nenek memicingkan mata ke arahnya.

"Kalau Mama menerima pekerjaan ini, itu berarti kita harus pindah ke kota lain. Apakah kalian tidak keberatan?" tanya Kara dengan nada bijak. Ia tidak punya banyak waktu untuk berunding di ruangan lain.

Mendapat pertanyaan seserius itu, Emily berkedip-kedip, sedangkan Louis menatap Vivian dengan raut penasaran. "Bagaimana keadaan di kota Anda, Nyonya? Apakah aman dan menyenangkan?"

Vivian spontan menaikkan alis. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu dari seorang bocah yang masih sangat kecil.

"Tingkat kejahatannya cenderung rendah dan itu kota yang menyenangkan. Ada lebih banyak taman bermain dan pusat perbelanjaan di sana. Kalian bisa bersenang-senang bersama ibu kalian di akhir pekan."

"Bagaimana dengan perpustakaan? Nenek kami seorang pustakawan. Kami suka membantu Nenek setiap kali dia bekerja," tanya Emily dengan suara kecilnya yang memikat hati. Ia semanis gulali. Vivian akhirnya meloloskan tawa karenanya.

"Kebetulan sekali, kami baru membangun sebuah perpustakaan. Itu proyek amal. Kalau nenek kalian bersedia bekerja di sana, kami akan dengan senang hati menyambutnya."

Sementara Susan berterima kasih, si Kembar kompak melipat tangan dan berpandangan. Mereka persis seperti Kara yang sedang berpikir. Setelah menyipitkan mata dan memainkan alis, mereka mengangguk bersama.

"Baiklah, Mama. Kami tidak keberatan."

Melihat harapan yang terpancar dari mata si Kembar, sudut bibir Kara naik dengan sendirinya. Ia tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan. Siapa CEO itu dan seberapa menyebalkan dirinya sama sekali bukan masalah. Demi menafkahi dua malaikat ciliknya, ia siap menghadapi bos besar yang perfeksionis itu.

“Kesempatan emas ini tidak boleh terlewatkan.”

***

"Selamat datang di Savior Group, Nona Martin. Senang bisa melihat Anda di sini."

Kara tersenyum menyambut salam Vivian. Ia kagum dengan kerendahhatian wanita itu. Sepanjang pengetahuannya, belum pernah ada komisaris yang bersedia menyambut karyawan, selain Vivian.

Tidak hanya itu, Vivian juga mengajak Kara mengunjungi setiap lantai. Dari tingkat terbawah hingga tingkat teratas, semangat wanita itu tidak pernah padam.

Hanya dalam waktu singkat, Kara sudah merasa akrab dengan Savior Group. Diam-diam, ia merasa bangga dapat bekerja di sana. Perusahaan barunya jauh lebih besar dari perusahaan Miller.

"Dan ini adalah meja kerja Anda. Berhati-hatilah dengan kaca itu karena Tuan CEO dapat melihat Anda dari kursinya." Vivian menunjuk sekat cermin yang memisahkan ruang sekretaris dengan sang pimpinan.

"Itu kaca satu arah?" bisik Kara seolah takut terdengar oleh bosnya.

"Benar. Kaca itu sudah memicu banyak pemecatan. Para pendahulu Anda kurang berhati-hati sehingga kesalahan mereka teramati oleh Tuan CEO."

Kara menelan ludah. Tanpa sadar, ia menarik pundak agar berdirinya lebih tegak. Bukankah bos barunya seorang perfeksionis?

Pria itu pasti menuntut karyawan untuk berdiri dengan cara yang sempurna serta berpenampilan maksimal. Karena itulah, Kara mengenakan blouse terbaiknya dan menguncir rambut dengan gaya ekor kuda.

Ia bahkan mengenakan kacamata untuk menambah kesan profesional, dan tak lupa ... contact lens cokelat untuk menutupi warna matanya yang terlalu memikat.

Kara Martin sudah siap menaklukkan si bos dan mendulang pujian darinya.

"Jadi, apa saja yang boleh dan tidak boleh saya lakukan, Nyonya?"

Vivian tersenyum simpul. Selang satu kedipan lembut, tatapannya tertuju pada tumpukan map di dekat komputer.

"Saya harap Anda penghafal yang cerdas, Nona. Anda punya waktu satu hari untuk mengingat semua informasi."

Raut Kara berubah beku. Dengan gerak kaku, ia meruncingkan telunjuk ke arah map. "Itu semua panduan tentang menjadi sekretaris di sini?"

"Panduan untuk bertahan menghadapi Tuan CEO, lebih tepatnya."

Sebelum pikiran negatif menguasai otaknya, Kara menarik napas panjang lalu mengembuskannya samar. Dengan langkah yang mantap, ia mengambil dokumen teratas.

"Frank Harper?" Ia membaca biodata yang tertera di sana.

"Ya, itulah CEO Savior Group. Dia memang masih muda, tapi kemampuannya tidak perlu diragukan. Ini tahun keenam dia memimpin perusahaan."

Kara terdiam. Bukan usia sang CEO yang membuatnya heran, melainkan nama belakangnya.

"Harper? Kenapa rasanya tidak asing? Apakah dulu Finnic pernah bekerja sama dengannya?"

Tiba-tiba, pintu lift terbuka. Sembilan pria berjas hitam langsung keluar dan mengambil posisi. Koridor timur, barat, dan utara masing-masing dijaga oleh dua orang, dua lagi bersiaga di samping pintu ruang CEO, sedangkan satu masih menunggu di pintu lift.

Sesaat kemudian, seorang pria berjas abu-abu keluar disusul pria lain yang berpenampilan seperti pengawal. Aura mencekam seketika mengisi ruangan. Langkah kakinya yang tegas mampu mengintimidasi siapa saja yang melihat, termasuk Kara. Gadis itu tanpa sadar menurunkan dagu dan menahan napas.

"Kenapa aku gugup begini? Apakah karena sudah terlalu lama tidak berurusan dengan orang penting?"

Kara terpejam sesaat, mengumpulkan keberanian. Sambil mengatur napas, ia membayangkan wajah lucu Louis dan Emily setiap menyambutnya pulang. Setelah debar jantungnya mereda, ia kembali menegakkan kepala.

Saat itu pula, sang CEO berhenti tepat di hadapannya. Ketika pandangan mereka bertemu, letupan besar langsung menghentikan detak jantung Kara. Ia tidak bisa mendengar apa-apa. Telinganya berdenging. Otaknya pun gagal mengawasi suasana. Perhatiannya terpaku pada mata abu-abu yang dingin itu.

"Laki-laki ini .... Bukankah dia ayah si Kembar? Setan yang meniduriku di Hotel Harper? Harper? Astaga! Kenapa aku baru menyadarinya?"

Melihat ekspresi Kara seperti sedang berhadapan dengan hantu, Frank Harper mengerutkan alis. Ia tidak suka tatapan itu, seperti ada yang salah dengan wajahnya. Padahal, ia merasa sudah sempurna.

“Inikah sekretaris baru yang Anda ceritakan itu, Nyonya Bell?” tanya Frank tanpa mengalihkan pandangan. Nada bicaranya rendah, tetapi menusuk jiwa. “Bukankah Anda mengatakan kalau dia profesional dan cerdas? Kenapa sekarang dia malah melotot seperti burung hantu yang dungu? Apakah dia baru saja kehilangan moral dan IQ-nya?”

Kara mengerjap. Ia baru sadar bahwa mulutnya sedikit terbuka dan cepat-cepat menutupnya.

“Ternyata dia belum berubah? Dia masih setan angkuh yang dingin dan tidak berperasaan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menjambak rambutnya atau mencolok matanya? Dia penyebab hidupku menderita!”

“Tapi bagaimana kalau dia marah dan langsung membunuhku? Si Kembar pasti akan sangat sedih. Mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Haruskah aku melarikan diri? Mumpung setan abu-abu ini belum menyadari identitasku.”

“Benar! Aku tidak boleh membiarkan setan cabul ini menindasku lagi. Dia sudah membuangku dari hidupnya. Akan kubuktikan bahwa aku mampu bertahan tanpa sepeser pun uang darinya.”

“Kau!”

Kara meruncingkan telunjuk tepat di depan hidung sang CEO. Semua yang melihat pun terbelalak. Untuk pertama kalinya, seseorang berani menentang Frank Harper selantang dan sedekat itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel