2. Kelam
Empat setengah tahun kemudian, Kara masih belum bisa bangkit. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan adalah keluarga—sang ibu yang selalu setia menemaninya, dan dua malaikat cilik yang dulu tidak sanggup ia gugurkan.
“Louis! Emily! Mama kalian pulang!”
Mendengar panggilan sang nenek, mata gadis mungil yang sedang membaca pun berbinar. Kilauan abu-abunya mengalahkan bintang paling terang.
Dengan sigap, ia melepas buku dan merosot dari kasur. Sambil tertawa-tawa, ia beradu cepat dengan saudara laki-lakinya.
“Mama pulang! Mama pulang!”
Tepat setelah Kara meletakkan plastik belanjaan di atas meja, si Kembar menyergap masing-masing kakinya. Melihat wajah imut yang ceria itu, rasa lelah pun sirna. Ia tersenyum lebar dan membelai lembut kedua anaknya.
“Kenapa kalian berlari sekencang itu? Kalau jatuh, bagaimana?”
Sambil menunjukkan deretan gigi mungilnya, Louis menggeleng tegas. “Aku tidak mungkin jatuh, Ma. Kakiku ini kuat.”
“Aku juga,” celetuk Emily seraya menyibak rambut panjangnya yang lebat dan bergelombang.
Ia persis seperti replika mungil Kara. Hanya mata mereka saja yang berbeda warna dan rambut Kara baru dipotong sebahu.
Sementara Louis ... ia seratus persen replika setan bermata abu-abu itu. Meski demikian, Kara menyayangi mereka sama besarnya.
“Apa yang Mama beli?” Telunjuk mungil Louis tertuju ke arah plastik belanjaan. “Karena itukah Mama pulang terlambat?”
Keceriaan Kara sontak meredup. Ia tidak mungkin mengaku bahwa dirinya baru saja dipecat. Dendam Finnic jelas masih membara. Pekerjaan sebagai SPG saja tidak segan-segan dirampas.
Padahal, manajer yang memecat Kara saja tidak tega. Ia sampai memberikan pesangon dari tabungannya sendiri demi menebus rasa bersalah.
“Buku cerita? Bukankah Mama bilang kita harus hemat? Kenapa Mama membeli sebanyak ini?”
“Lihatlah rubik ini, Emily! Ini keluaran terbaru. Harganya pasti mahal!”
Kara terpaksa memalsukan senyum. Itu juga pemberian manajernya.
Pria baik hati itu merasa iba pada si Kembar. Sebentar lagi, mereka berusia genap empat tahun dan harus masuk TK, tetapi ibu mereka malah kehilangan pekerjaan.
Setibanya di kamar, Kara menghela napas melihat angka pada buku tabungannya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Pesangon dari sang manajer memang cukup untuk menyambung hidup selama sebulan. Akan tetapi, bagaimana setelahnya?
“Haruskah aku mencari setan bermata abu-abu itu dan menuntut tanggung jawab? Hatinya pasti luluh saat melihat si Kembar.”
Namun, detik berikutnya, Kara mengerjap dan mengenyahkan keputusasaan dari pikirannya.
“Tidak. Laki-laki kejam itu tidak akan ragu membunuhku. Louis dan Emily bisa menjadi yatim piatu dalam sekejap, atau bahkan ... menyusulku ke surga.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Mendengar suara Susan Martin, Kara spontan memasukkan buku tabungannya ke dalam laci.
“Ibu .... Aku baru saja menghitung pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Aman,” angguknya seraya memalsukan senyuman. Namun, ketika mendapati sebuah kertas di tangan sang ibu, ia gagal menyembunyikan keresahan.
“Tenang. Ini bukan tagihan,” tutur Susan sembari duduk di sebelah Kara. Ekspresinya agak gugup dan diwarnai iba. “Ini ... undangan pernikahan Finnic.”
Raut wajah Kara seketika berubah muram. Nama itu tidak pernah gagal menguasai hatinya. Bahkan setelah berulang kali dijatuhkan, Kara tidak dendam. Ia hanya kecewa dan berusaha memakluminya. Ia pernah mencoba untuk membenci Finnic, tetapi gagal dalam hitungan detik.
“Dia akan menikah?” desah Kara tanpa sadar.
Sebelum ibunya menjawab, ia tertawa gersang. “Baguslah. Itu artinya, dia sudah berhasil melupakanku. Dia tidak akan mengusik hidup kita lagi, Bu.”
Susan tersenyum miris. Sambil mengelus pundak kurus putrinya, ia berbisik, “Kara, kamu tidak harus selalu tegar. Kalau kau ingin menangis, menangislah.”
“Aku tidak sedih, Bu. Untuk apa menangis? Aku justru lega. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah si Kembar.”
Kara menyembunyikan kesedihan dengan baik di balik suara yang mantap. Akan tetapi, matanya tak bisa berpura-pura. Sang ibu ikut berkaca-kaca melihatnya.
“Mama.” Suara kecil tiba-tiba datang dari arah pintu.
Emily ternyata sedang berdiri di sana. Buku besar yang diseretnya hampir menyentuh lantai. Di sampingnya, Louis sedang asyik mengotak-atik rubik baru. “Ada tamu.”
“Tamu? Semalam ini?”
“Ya, kami mendengar suara ketukan pintu.” Louis mengangguk singkat sebelum kembali mengacak rubik agar warnanya berantakan.
Dalam sekejap, Kara dilanda kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pintu depan.
Saat mengintip dari jendela, Kara mendapati seorang perempuan seumuran ibunya. Penampilannya rapi dan berkharisma. Samar-samar, Kara dapat melihat kerlip mutiara pada bros di dada kirinya.
Di belakang wanita itu, dua orang pengawal berdiri tegap. Raut mereka tegas dan penuh waspada, tidak tampak membahayakan tetapi tetap mencurigakan. Meski demikian, Kara memberanikan diri untuk menemui tamunya.
“Selamat malam, Nona Martin. Saya Vivian Bell dari Savior Group. Apakah Anda keberatan meluangkan waktu untuk berbincang?”
Kara berkedip bimbang. Tangannya enggan melepas gagang pintu.
Mengamati keraguan gadis itu, Vivian pun menyodorkan kartu nama. Begitu memeriksanya, Kara tersentak.
“Dia seorang komisaris? Untuk apa orang berpangkat sebesar ini menemuiku? Dan bukankah Savior Group adalah perusahaan terkenal di kota tetangga? Apakah mereka ini penipu?”
“Saya sebetulnya berencana untuk menemui Anda besok siang. Sayangnya, saya harus kembali ke L City malam ini.”
Menimbang tutur bicara yang sangat tertata dan pembawaannya yang tenang, Kara akhirnya mempersilakan. Kalaupun wanita itu memang penipu, tidak ada banyak yang bisa diambilnya. Rekening Kara sekarat.
Saat memasuki ruang tamu, Vivian melihat sekilas kondisi sekitar. Ia tidak tampak terganggu dengan ukuran ruang yang sempit ataupun perabotan yang serba sederhana. Tidak ada kesan menyindir ataupun menyudutkan. Hanya sekadar melihat, tersenyum kepada anak-anak, lalu memulai percakapan.
"Savior Group sedang mencari sekretaris terbaik. Anda mungkin heran mengapa saya sampai turun tangan. Tapi, CEO kami sangat pemilih. Selama tiga tahun terakhir saja, dia sudah mengganti sekretarisnya sebanyak 50 kali."
"Lima puluh kali?" Kara terbelalak.
"CEO itu pasti sangat menyebalkan. Sekretarisnya tidak bisa bertahan lebih dari satu bulan," celetuk Louis tanpa mengalihkan pandangan dari rubik.
Mendengar komentar cerdas dari anak jenius itu, Vivian tersenyum. Ia tampak tertarik pada Louis. Sayangnya, ia tidak punya banyak waktu untuk basa-basi.
"CEO kami itu perfeksionis. Dia membenci kesalahan dan tidak segan-segan memecat karyawan. Karena itu, kami membutuhkan sekretaris profesional yang sempurna untuknya."
Mata Kara bergerak ke sana kemari. Kesimpulan dalam benaknya terlalu sulit dipercaya. "Apakah Anda menawari saya pekerjaan tersebut?"
"Benar, Nona. Beberapa minggu ini, kami sudah melakukan banyak investigasi. Kami berhenti setelah menemukan resume Anda."
"Tapi, saya belum pernah menjadi sekretaris. Sebelumnya, saya bekerja di bidang pemasaran. Titel sarjana saya pun rendah, bukan magister ataupun doktoral. Apakah mungkin saya orang yang kalian cari?"
Vivian tidak mengubah ekspresi. Bibir kecilnya tetap melengkung pada sudut yang sempurna. "Anda berhasil menduduki jabatan manajer hanya dalam waktu satu tahun sepuluh bulan setelah magang. Miller Corporation tidak sembarangan menilai karyawan, bukan?"
Sedetik kemudian, Vivian meletakkan secarik kertas di atas meja. "Ini kompensasi yang kami tawarkan pada minggu pertama kalau Anda bersedia."
Kara dan si Kembar kompak mengulurkan kepala. Begitu melihat angkanya, Kara tertegun. "Itu cukup untuk biaya hidup sebulan!"