Lelaki tampan namun dingin
Di rumah sakit.
Pukul 22.00 WIB,
Perlahan Ara mulai membuka matanya, Menatap sekeliling ruangan dengan cahaya yang sangat terang. Bau obat-obatan yang menyengat, membuatnya brrfikir bahwa Ini bukanlah ruangan kamarnya yang Ara ingat.
'Dimana aku ini?' Batin Ara sambil menatap setiap sudut ruangan itu.
Hingga pandangannya tertuju pada benda berbentuk oval berisi cairan bening. Kemudian pandangannya beralih lagi kepada tangannya yang tengah terpasang infus disana. Ara mengernyitkan dahinya, sambil mengingat kejadian semalam sebelum dirinya berada disini. Memory Ara kembali berputar hingga terlintas sebuah kejadian pada saat di taman hingga ia jatuh pingsan. Terakhir yang ia ingat sedang berlari mengejar Edward, di tengah hujan yang sangat lebat.
"Siapa yang membawaku kesini?" Gumam Ara sambil menatap tubuhnya sendiri, hingga beberapa detik kemudian Ara mendengar seseorang membuka pintu.
Ceklek..
"Ara, sudah bangun?"
"Kak Zikri? Ngapain kakak disini?" Tanya Ara sambil menatap kakaknya yang tengah berjalan kearahnya itu.
Tanpa aba-aba Zikri langsung memeluk Ara sangat erat. Menyalurkan kasih sayangnya kepada adiknya, seakan ia tidak ingin kehilangan adik kecil ini. Sementara Ara membalas pelukan kakaknya tak kalah sayang, ia merasakan kehangatan dan kenyamanan dari kakaknya.
"Maafin kakak, semua ini gara-gara kakak, maaf kalau kakak egois."
Ara tersemyum sambil menepuk pelan punggung kakaknya.
"Ara tidak masalah, Ara tahu kakak bersikap seperti ini karena kakak sangat menyayangi Ara."
Kemudian Zikri melepas pelukannya. Menggenggam tangan Ara sangat erat. "Kakak berjanji kalau kakak tidak akan egois ikutan memaksa kamu, kakak akan dukung kamu dek!" Ujarnya sendu.
Ara menggelengkan kepalanya. "Enggak kak, semuanya sudah percuma. Ara akan menuruti permintaan mami," Jawabnya sedikit ragu.
"Jangan paksa hati kamu dek, kakak tahu kalau kamu sangat menyayangi Edward,"
"Ara sudah putus dengannya kok kak, Ara akan menerima pinangan lelaki itu." Jawabnya sambil memaksakan untuk tersenyum.
Zikri ikut tersenyum menatap adiknya, ada rasa lega sekaligus bahagia. Inilah yang ia harapkan, Zikri yakin bahwa ini keputusan yang terbaik untuk adiknya. Lagian tidak ada salahnya jika Ara menerima pinangan lelaki pilihan kedua orang tuanya karena memang Zikri tahu latar belakang lelaki itu seperti apa. Bahkan semua lelaki yang dekat dengan Ara pasti ia selidiki terlebih dahulu, Zikri harus mengenal lelaki itu terlebih dahulu sebelum adiknya lebih jauh mengenal. Semua yang Zikri lakukan bukan karena Zikri mau ikut campur urusan adiknya, tetapi ini semua ia lakukan atas dasar sayang dan tidak mau jika adiknya terluka. Zikri seorang lelaki, dia tahu semua sifat lelaki seperti apa.
"Yaudah sekarang kamu tidur, kata dokter kalau kamu bangun disuruh tidur lagi biar cepat pulih. Bentar lagi mami sampai sini kok," Ujar Zikri sambil mengusap pelan rambut adik kesayangannya itu.
Ara menganggukkan kepalanya pelan, kemudian ia pun mulai memejamkan matanya lagi. Pusing di kepalanya juga masih sangat terasa, bahkan saat ini tubuhnya terasa sangat panas dan lemas.
Zikri masih mengusap pelan surai rambut Ara sambil menatap wajah tenang adiknya yang mulai terpejam matanya, masuk ke alam mimpi. Beberapa kali Zikri menguap namun ia tahan, hingga saking tidak kuatnya menahan Zikri pun ikut memejamkan matanya disamping adiknya.
***
Pagi harinya, Ara terbangun dari tidurnya karena sinar mata hari yang menusuk dari balik tirai jendela kamar VVIP, mengganggu penglihatannya. Kesadaran Ara belum sepenuhnya pulih, tetapi ia bisa melihat di sebrang yang berada tidak jauh darinya ada seseorang yang tengah menyibak tirai jendela kamarnya.
"Selamat pagi, princesnya mami."
"Selamat pagi mi!" Jawab Ara sayup-sayup mengenali suara yang tak lain adalah suara maminya.
Pemandangan pertama yang Ara lihat adalah wajah maminya berseri sambil kedua tangannya terlentang layaknya seseorang yang tengah menyambut orang penting.
"Kakak mana mah?"
Diandra mencebikkan bibirnya. "Baru bangun kok sudah menanyakan keberadaan kakak sih Ra?"
"Terus mau tanya siapa orang mami juga ada di depan mata, sementara papah kan diluar kota. Lagian tadi malam kakak tidur di samping Ara, begitu bangun sudah tidak ada ya wajar kalau Ara tanya dong, " Jawabnya polos.
Kemudian Diandta berjalan kearah Ara sambil membawa satu baskom berisi air dan kain handuk kecil. Setelah itu Diandra duduk di bangku samping brankar Ara, sambil mencelupkan kain itu kedalam baskom, Kemudian memerasnya. Perlahan Diandra mengarahkan handuk itu ke arah Ara, detik itu juga Ara mengernyitkan dahinya.
"Buat apa mi?"
"Buat kamu mandi dong sayang," Jawab sang mami sambil membasuh wajah Ara dengan handuk kecil itu.
Tidak ada pembicaraan sama sekali pada saat Diandra membasuh wajahnya. Beberapa saat kemudian mami Ara kembali meletakkan handuk basah itu di dalam baskom, dan menyimpannya di bawah brankar Ara sesuai dengan tempatnya.
"Sayang kamu sarapan ya, mami suapin."
Ara melirik mangkuk yang ada di tangan maminya. "Nggak mau! pasti bubur, aku tidak suka bubur!" Ujar Ara sambil memalingkan wajahnya.
Diandra mendengus pelan. Kemudian menyodorkan satu sendok bubur kedepan wajah Ara, berusaha untuk membujuk Ara agar mau menerima suapan darinya. "Ayolah Ara, kamu harus sarapan kalau enggak terus minum obatnya gimana?"
"Pokoknya Ara nggak mau makan ya mah!" Jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian...
Ceklek..
"Assalamualaikum,"
Ara dan Diandra menolehkan kepalanya menatap kearah pintu, melihat siapa yang datang. Awalnya Ara mengira bahwa yang datang kakaknya, namun dugaannya salah. Yang berdiri di depan pintu adalah seorang wanita bersama dengan pria tampan.
"Zura..!!!" Pekik sang mamah sambil beranjak dari duduknya.
"Diandra, bagaimana kabar kamu?" Tanya wanita bernama Zura itu memeluk Diandra mami Ara.
Mereka sibuk cipika-cipiki, sementara Ara malah fokus dengan pria tampan yang sama sekali tidak menatap dirinya.
'Siapa lelaki tampan ini? Mungkin anaknya ibu itu, tapi kayaknya masih bocah.' tanya Ara dalam hati, namun ia jawab sendiri. Setelah itu pandangan Ara terus menatap lelaki yang ada di depannya. Lelaki bertubuh kekar, tinggi, memiliki kulit yang sangat putih, dan tampan. Saking tampannya lelaki itu sampai-sampai mata Ara tidak berkedip menatap lelaki itu.
Hingga beberapa detik kemudian suara ibu itu membuyarkan lamunan Ara.
"Ara sayang, bagaimana keadaan kamu nak?" tanya wanita itu sambil mendekati Ara.
'Sok kenal sekali ibu ini. Nggak tahu apa, orang lagi natap oppa korea di ganggu pula,' Batinnya sambil menataBatinnya sambil menatap aneh kearah wanita itu.p aneh kearah wanita itu.
Melihat anaknya tidak kunjung menjawab Diandra langsung menyentuh tangan Ara, hingga ia pun terperanjat kaget.
"Ara, di ajak bicara kok malah bengong?"
"Eh, iya maaf tante. Ara baik-baik saja kok," Jawabnya kikuk.
"Beliau sahabat mami, bisa kamu panggil mamah Zura. Calon mertua kamu, hehe." ujar sang mamah sambil mengedipkan kedua matanya menggoda Ara.
Hal itu membuat Ara geli sendiri melihat tingkah maminya yang konyol itu. Sementara Wanita yang bernama Zura itu tersenyum manis kearah Ara, terlihat sangat ramah dan baik hati. Namun entah mengapa Ara belum bisa menerima wanita itu dengan baik. Walaupun kata maminya wanita itu adalah calon mertuanya.
Tersadar dengan ucapan maminya, Ara teringat dengan lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Pandangan Ara teralihkan menatap lelaki muda yang ada di samping Zura, kemudian ia kembali memandang Zura dan lelaki itu secara bergantian.
"Jadi tante ini sahabatnya mami?"
"Iya sayang,"
"Perasaan mami tadi sudah bilang, tapi kenapa kamu tanya lagi?" tanya Diandra sambil menatap sengit kearah Ara.
Ara menghela nafasnya pelan. "Kan cuma tanya, sekedar memastikan apa salahnya sih mi?"
"Nggak ada sih. Tapi kamu mau kan Ra, jadi menantunya mamah Zura? Dia baik, cantik, ramah, siapa yang mau nolak mertua baiknya kayak malaikat itu," ujar Diandra memuji Zura.
Keadaan menjadi hening, Ara masih diam tidak menjawab pertanyaan mamahnya. Pikirannya masih bimbang, antara yakin dengan keputusannya dan tidak.
Zura tahu bahwa Ara belum bisa menerima perjodohan ini, sehingga keadaan menjadi canggung dan hening. Mereka sama-sama sedang menunggu jawaban Ara, tetapi hingga beberapa menit Ara sama sekali tidak mau menjawabnya.
Zura mengalihkan pembicaraannya dengan mengingatkan Ara untuk sarapan pagi.
"Oh iya, mamah bawa bubur buat Ara loh," Ujarnya sambil menaruh bubur itu di nakas.
"Tapi Ara tidak boleh makan bubur dari luar tante, takutnya kalau nggak higenis kata dokter," Ujar Ara halus, sebagai bentuk penolakannya.
"Halah tadi kamu mami suapin bubur rumah sakit nggak mau, sekarang kamu makan bubur dari mamah Zura, ada rasanya kalau ini,"
"T-api mah-"
"Tidak ada tapi-tapian Ara, kamu harus makan biar cepat sembuh, biar-"
"Biar bisa segera menikah?" tanya Ara dengan nada ketusnya.
Diandra tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Setelah itu ia pun menyiapkan bubur itu untuk Ara, beberapa detik kemudian, Zura dan Diandra saling tatap satu sama lain.
"Ekhemm..!! Ara, mami sama mamah Zura mau mengobrol penting. Kamu disuapin sama Reyhan aja ya sayang,"
"Tapi mah-"
"Reyhan mami minta bantuannya ya!" Ujar Diandra sambil menarik lengan Zura mengajaknya keluar.
Ara mendengus pelan. Kini tinggal dirinya dan lelaki tampan yang dipanggil Reyhan itu. Lelaki itu memang tampan tetapi entah mengapa Ara tidak begitu menyukai lelaki yang ada di depannya karena sikapnya sangat cuek dan dingin layaknya kutub utara.
Suasana menjadi canggung, jantung Ara mendadak berdetak sangat kencang. Padahal sebelumnya dirinya sudah pernah berduaan dengan lelaki tetapi rasanya tidak seperti ini batin Ara. Lelaki itu duduk disamping Ara sambil menyahut mangkuk bubur di nakas. Ara hanya memperhatikan lelaki itu dalam diamnya. Hingga beberapa detik kemudian tangan lelaki itu mulai terangkat dari mangkuk, namun belum ia sodorkan ke mulut Ara. Jantung Ara semakin berdetak tak karuan melihat hal itu.
'Jantung aku kenapa ini? Please jangan mati sekarang." Batin Ara sambil memejamkan matanya.
"Kamu kenapa?"
Suara berat nan menggoda, berhasil membuat mata Ara membulat sempurna. Lelaki yang ada disampingnya itu memperlihatkan suaranya, bukannya malah reda, jantung Ara semakin berdebar sangat kencang. Dengan segera Ara menggelengkan kepalanya, karena ia takut jika ketahuan lelaki yang ada disampingnya bahwa saat ini Ara sedang gerogi.
"E-enggak ada, aku gapapa." Jawabnya dengan nada gugup.
Lelaki itu tidak menanggapi ucapan Ara, secara tiba-tiba sendok menggantung di depan mulut Ara.
"I-ini apa?" tanya Ara bodoh.
Reyhan mengangkat salah satu alisnya. "Memangnya apa yang kamu lihat?" tanyanya dengan nada dingin.
Hal itu membuat Ara tersentak. Bahkan ia sendiri tahu bahwa itu bubur, bisa-bisanya dia melontarkan pertanyaan bodoh kepada Reyhan.
Ara sebenarnya malu, tetapi kembali lagi. Ia bersikap cool, dan jual mahal di depan Reyhan. Ara memalingkan kepalanya kearah lain.
"Aku tidak mau," Jawabnya dingin.
Lelaki itu manggut-manggut. Kemudian menarik tangannya lagi dan meletakkan sendok di dalam mangkuk.
Ara melihat lelaki itu meletakkan kembali mangkuk itu di atas nakas, kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu.
Ara menatap heran lelaki yang tengah berjalan keluar itu, dalam hatinya berkata hendak kemana lelaki itu. Namun beberapa detik kemudian Ara dibuat cengo karena lelaki itu keluar meninggalkannya sendirian dan tidak jadi menyuapinya.
"Wah parah ini anak, masak orang sakit dibiarin sendirian? Mana nggak jadi nyuapin aku lagi, benar-benar nggak waras dia." Gumam Ara sambil menggelengkan kepalanya.
Bersambung..