Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10

“Sil.” Panggil Devi.

“Hn?”

“Ini siapa?”

“Sopo?”

“Iki loooh,” Devi mengacungkan ponselku ke depan muka, menunjukkan apa yang dia lihat. “kok mukanya kaya pernah lihat.”

Aku melirik, mataku mendelik menahan tawa. Videonya Pak Sello pas di club semalam masih kesimpen masa.

“Oh, videonya orang gila. Jangan dihapus.” Kataku.

“Temenmu?” Devi masih penasaran, nasi Padang plus rendang di depannya sampai dia cuekin.

“Bukan.”

“Ini kamu rekam sendiri ya? Aku baru tau kamu suka main ke club.”

Yha, nama baikku tercoreng.

“Cuma jemput orang aku. Ngapain juga main ke club? Aku minum kola sebotol gede aja kembung, apalagi disodorin alkohol.”

“Semaput.” Ejeknya dilanjut ketawa.

Aku lanjut makan, Devi lanjut replay video Pak Sello sampai matanya sipit.

“Sumpah loh, Sil, ini aku kaya pernah lihat mukanya.” Katanya dengan muka serius.

Iyalah kenal, wong itu bosmu sendiri.

“Pantengin aja terus, kalau bisa nebak siapa, aku kasih isi staples.” Selorohku.

“Apaan hadiah kok isi staples! Di mejaku juga banyak!”

Selesai makan siang di warung nasi Padang langganan Devi, kami pun balik ke kantor dengan Devi yang entah kenapa setia banget nontonin videonya Pak Sello. Dan meskipun sudah bolak-balik dia putar itu video, dia masih belum ngeh kalau itu memang Pak Sello.

Sampai di mejanya pun, dia masih tonton itu video.

“Tanteeeee~~!”

Entah jin baik apa yang merasukiku, yang pasti secara tak sadar aku malah menyunggingkan senyum ramah saat bocah ini datang ke mejaku.

“Dovaaan~!”

Balasanku yang tak biasa itu malah buat Dovan terdiam, wajah cerahnya berubah bingung. “Tante kenapa?”

“Gak kenapa-napa.”

“Masa? Biasanya kalau Dopan sapa gak pernah senyum tuh.”

Ha-ha-ha, peka banget sih kamu?

“Gak apa-apa dong, Tante soalnya lagi happy, hehe.”

Kenapa aku bisa sebahagia ini?

Alasannya simpel.

Jadi... Semalem ada kejadian seru, hehe.

“Kamu beneran ikhlas, kan saya titipin Mas Sello?” Tanya Pak Brili setelah aku mengantar dia ke depan teras rumah Pak Sello.

Jujur sih enggak. Tapi demi sampiyan, Pak. Aku mah ikhlas disuruh jagain Pak Sello, toh dapat bonus makan jajan ini.

Aku mengulas senyum. “Ikhlas kok, Pak.”

“Makasih ya udah mau bantuin saya. Besok pagi-pagi saya ke sini buat jemput kamu dan anterin kamu pulang.”

Aku senyum, meskipun pedih, tapi aku seneng. Dianterin pulang sama pacar orang.

Hnnnnn.... Pacar orang....

Pak Brili pun pamit pulang, aku masuk ke dalam rumah. Pak Sello tadi sudah dibopong Pak Brili ke kamarnya, sekarang giliran aku yang cari makanan di dapur rumah besar berlantai dua ini.

Pasti sepi banget rumah segede ini cuma dihuni sama dua manusia. Rumah Ayah aja sepinya gak ketulungan.

Aku buka setiap laci yang ada, aku ambil aja sesuatu yang menurutku enak untuk dikonsumsi selagi menjaga rumah ini. Aku gak mau ya ketiduran di sini terus bangun-bangun udah ada di ranjang bareng Pak Sello yang telanjang dada kaya di sinetron-sinetron.

MEGILAN!

Jadi, pas aku nemu kopi, aku ambil, nemu es batu, aku ambil, nemu gelas, aku ambil. Jadinya aku buat es kopi.

Habis buat es kopi, aku ubek-ubek lagi laci lainnya dan menemukan makanan yang dulu pernah dibintangi iklannya oleh idolanya Dovan, Morgan. Hehe.

Aku pergi ke ruang tengah dengan setoples sosis dan segelas tinggi es kopi buatanku sendiri.

Aku nyalakan televisi, nonton apa aja yang ada di jam segini dan menikmati makanan yang sudah jarang aku konsumsi ini semenjak aku lulus SMP.

Iya, lulus dari SMP aku gak pernah makan sosis siap makan ini lagi, posisinya tergantikan dengan keripik kentang dan sereal cokelat yang iklannya beruang. Iya, kan ya beruang? Aku gak inget. Pokoknya yang sereal versi mangkuknya ada dikasih susu Dansapi sama sendok yang patah-patah kaya goyangannya Annisa Bahar.

Aku tuh kadang heran ya, kenapa sih jam segini yang ditayangin di televisi tuh cuma acara yang dulu-dulu aja. Maksudnya, lihat deh sekarang aku lagi nonton apa?

Ini aku gak tahu acara ini pernah tayang di tahun kapan, yang pasti ini acara bahas soal permen cinta yang beredar di Surabaya. Acara macam gini dulu ada yang nonton ya?

Aku sebenarnya sudah bolak-balik lihat acara ini di televisi kalau lagi gak bisa tidur. Kalau gak bahas soal permen cinta, pasti soal sedot lemak, atau enggak ya sulam alis, terus cat rambut, ya pokoknya isinya sejenis itu lah.

Kenapa mereka gak nayangin siaran ulang Silet aja sih, waktu penyiarnya masih si Tante Feni Rose, seneng aku tuh sama cara ngomong dia.

Dug!

Mataku mendelik, kepalaku refleks menoleh ke arah sumber suara.

Aku itu termasuk manusia yang punya refleks cepat. Jadi semisal ada yang mau mukul, aku bisa langsung menghindar. Termasuk juga kalau lagi kaget, tanganku bakalan langsung refleks bergerak dan melempar apapun yang ada di tangan ke mereka yang ngagetin aku.

Termasuk saat ini.

Aku baru aja noleh, terus muka Pak Sello tiba-tiba ada di sebelahku. Tanganku yang sedang memegang satu toples berisi penuh sosis siap makan ini langsung bergerak cepat melemparkan si toples lumayan berat itu ke muka Pak Sello hingga terdengar suara benturan yang lumayan keras antara toples dan tulang wajah Pak Sello.

Sosis yang ada di dalam toples tadi berhamburan ke lantai, Pak Sello limbung jatuh di lantai dengan hidung yang mengeluarkan darah, dan aku mendelik masih shock setelah melihat muka Pak Sello dengan jarak sedekat tadi.

Dan lima menit setelahnya...

Aku baru sadar kalau Pak Sello pingsan.

— Akal Bulus —

“Udah, Mas istirahat aja di rumah, nanti aku yang ke kantor. Sekarang aku mau nganterin Silvi pulang dulu.” Ucap Pak Brili ke Pak Sello.

Aku mah cuma berani perhatiin dari ambang pintu kamarnya Pak Sello. Takut diamuk.

“Dia kenapa bisa di sini?” Pak Sello menunjuk aku, di salah satu lubang hidungnya masih ada kapas yang digunakan untuk menyumbat darah yang tadi keluar.

“Bukannya Mas yang nelpon Silvi buat jemput Mas ke club? Besok-besok gak usah lagi lah Mas main ke tempat begituan. Kalau kesepian, kurang asupan belaian, cari istri lagi aja sana, jangan dugem. Inget Dovan, dia masih TK tapi gak Mas masukin TK. Jangan egois lah, Mas.”

“Kamu ngapain sih jadi ngomel-ngomel begini? Siapa juga yang nelpon dia?”

“Periksa hape, lihat riwayat telpon terakhir, gengsi aja terus digedein.” Ketus Pak Brili, melemparkan ponsel Pak Sello ke si empunya.

Pak Sello tampak memeriksa ponselnya, lalu tanpa berucap apa-apa ia letakkan ponselnya secara asal di atas kasur.

“Iya, kan? Sekarang Mas istirahat aja. Tangan udah sembuh gak usah diperban-perban lagi kaya gitu.”

Tadi aku juga sempat lihat Pak Brili melepas perban yang membalut tangan Pak Sello sih. Ternyata cuma akal-akalan dia aja toh ke kantor pakai tangan segala diperban? Biar apa sih? Biar aku merasa bersalah terus ke dia? Duh, Pak, salah situ sendiri, kan minta digigit? Saya mah gak sungkan gigit sesuatu asalkan sesuatunya itu bersih. Kalau kotor ya mana saya sudi.

“Habis nganter Silvi aku ke sini lagi bawain sarapan buat Mas.”

“Iya iya iya, udah sana pergi.” Ketus Pak Sello mengibas-ibaskan tangannya, mengusir.

Pak Brili berbalik, kemudian berjalan mendekat ke arah pintu tempat sekarang aku berdiri.

“Kamu gak kenapa-kenapa?” Tanyanya.

Aku menggeleng. “Gak kenapa-napa kok, Pak.”

“Kan tadi saya udah bilang, kalau Mas Sello keluar dari kamarnya, kamu sleding aja.”

“Saya aja gak ngeh dia udah keluar dari kamar, Pak.”

“Duh, ya udah deh, yang penting kamu gak kenapa-kenapa. Ayo saya anter pulang.”

“INGET LUCI—EH, LUSI!”

HALAH, OPO SEH PAK, GANGGU ORANG AJA! IRI BILANG!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel