3. Milikku Tegang Gara-Gara Dia
“Tiara seksi sekali,” batin Rama untuk kesekian kalinya.
Matanya mulai nakal, dan menatap tubuh seksi gadis itu hingga menghilang di balik pintu dapur. Ia meneguk napas panjang, mencoba menurunkan detak jantungnya yang sudah bertingkah tak karuan.
“Tenang, Ram. Tenang. Itu anak sahabatmu sendiri,” gumamnya sambil memukul pipinya pelan, tapi detak jantungnya tetap saja tak tertahan.
Untuk menghilangkan pikiran-pikiran nakal yang menari liar di kepalanya, Rama menyandarkan tubuh di sandaran sofa. Kepalanya menengadah ke langit-langit, dan matanya terpejam beberapa saat. Namun bukannya malah mereda, justru bayangan-bayangan tubuh seksi Tiara semakin terputar jelas dan lebih sering di kepalanya.
Kedua boba besarnya yang tampak bergantungan dan bergoyang-goyang di balik kaos oversize itu, lalu bagian bawahnya yang hanya tertutup hot pants tipis dan sangat mini, semua itu benar-benar membuat pertahanan Rama nyaris goyah. Sesuatu di balik celananya terasa semakin sesak, dan seolah berontak ingin dibebaskan dari dalam sana.
“Hay hay, Om Superhero! Minumannya dataaang!" Suara nyaring Tiara terdengar, membuat Rama refleks membuka kedua matanya dengan cepat.
Pria itu gugup dan buru-buru menegakkan tubuhnya. Matanya menatap cepat ke arah pintu dapur.
“Yuhuu! Aku bawain es lemon tea buat Om!"
Di sana dilihatnya Tiara muncul sambil membawa dua gelas es lemon tea. Sialnya, langkah gadis itu terlalu bersemangat. Ketika ia mendekat, kaos oversize yang ia pakai tersingkap sedikit karena lengannya terangkat membawa nampan kecil. Terlihat sekilas perut rata Tiara, yang cukup untuk membuat otak Rama nge-freeze selama sepersekian detik.
“Astaga, bocah itu ….”
"Om suka kan …."
“Akh!" Tiara nyaris menjerit, karena kakinya hampir tersandung karpet lantai.
“Hati-hati!” Rama refleks ingin menyambar gelas itu agar tak terjatuh, tapi tangannya justru tak sengaja menyentuh pinggang Tiara.
Niat hati ingin meraih gelas di tangan Tiara, tetapi tangannya justru refleks memeluk pinggang gadis itu. Pinggangnya sangat ramping, tetapi bagian buah dada nya sangat menonjol hingga nyaris menyentuh dada bidang Rama.
Selama sepersekian detik, tatapan mereka saling beradu. Dan itu saja sudah cukup membuat kepala Rama rasanya kosong. Ia merasa seperti sesak nafas. Wajahnya terasa panas dan lagi-lagi memerah.
“Om kenapa? Mukanya merah banget,” tanya Tiara dengan polosnya.
Gadis itu menarik diri dari dekapan Rama, lalu berjalan santai sambil meletakkan minuman di atas meja begitu saja.
“Ya ampun! Om nggak apa-apa kok, cuma … kepanasan,” elak Rama cepat, padahal AC menyala dingin. Ia raup wajahnya dengan kasar.
Mata Tiara memicing menatap Rama. Ia mencondongkan badan, mencoba untuk melihat wajah pria itu lebih dekat. Rama spontan menahan napas dan mundur setengah langkah. Satu detik lagi, dia bisa benar-benar lupa diri.
“Apaan sih kamu lihat-lihat Om seperti itu? Hush! Hush! Jauh jauh sana!” dengus Rama kesal. Tangannya mengibas-ngibas menyuruh Tiara menjauh.
Namun bukannya pergi, Tiara justru semakin mendekat, dan semakin dekat. Matanya semakin menyipit, bibirnya mengerucut agak tersenyum jahil. Rama refleks mundur, tetapi gadis itu malah semakin mendekat dengan berkacak pinggang. Wajahnya benar-benar terlihat sangat jahil dan menyebalkan.
“Kenapa kamu lihatin Om begitu, hah? Naksir kamu sama om? Sana, jangan dekat-dekat!" Rama mendorong pelan bahu Tiara.
“Hmm, hmm, hmm. Aku mencium bau-bau mencurigakan nih," kata Tiara dengan sotoy nya, seolah penuh selidik.
“Bau mencurigakan apa sih? Dasar anak kecil labil!" Rama berdecak kesal dan menoyor kening Tiara begitu saja.
“Akh! Sakit tau, Om!" Tiara mengaduh, sambil mengusap-usap keningnya yang baru saja di toyor oleh Rama.
"Bodo amat! Nggak peduli." Rama melenggang pergi begitu saja dan segera duduk di sofa.
“Ihhh, Om galak banget sih!" Tiara mencebik kesal, tetapi ia malah berjalan mengikuti Rama di belakangnya.
“Padahal aku tuh mencium bau mencurigakan. Om Rama belum pasti belum mandi, makanya bau badan. Itu pasti yang bikin muka Om jadi merah. Om malu karena takut bau badannya kecium sama aku pas dekat-dekat sama aku kan?"
"Astaga! Berani banget bocah ingusan ini ngatain aku bau badan?”
Rama hendak berbalik badan dan memberi peringatan keras pada Tiara. Namun, tiba-tiba saja ….
Klek!
Suara kunci pintu depan berputar. Rama langsung refleks menjauh dari Tiara. Begitu cepat hingga Tiara sampai mengernyit bingung. Mereka bersamaan menoleh ke arah pintu.
“Loh? Papa udah pulang?” tanya Tiara keheranan.
Dari balik pintu, Ferdi muncul dengan wajah letih tapi tersenyum lega saat melihat putrinya bersama Rama di sana.
“Hah, Rama! Untungnya ada kamu di sini. Terima kasih ya karena sudah jemput anak gadisku. Tadi rapatnya kelamaan.”
Rama mengangguk pelan, dan mencoba bersikap normal meski detak jantungnya masih marathon.
“Tidak apa-apa, Fer. Aku cuma nemenin sebentar.”
“Iya, tadi Om Rama bantuin aku buka kunci di kamar mandi. Lain kali papa harus minta orang buat benerin lubang kuncinya, karena tiba-tiba kekunci sendiri," protes Tiara sambil memasang wajah kesal.
“Ya ampun, papa lupa mau bilang sama kamu. Pintu kamar mandinya jangan ditutup terlalu keras dari luar, nanti bisa ngunci sendiri. Itu kuncinya emang udah rusak." Ferdi tertawa pelan, teringat betapa konyol nya mereka tadi.
“Huh! Papa nyebelin." Tiara bersedekap dada dan pura-pura kesal.
Rama dan Ferdi kemudian berbincang singkat. Ferdi berterima kasih berkali-kali, sementara Tiara duduk di sebelah Rama sambil menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kecil yang puas karena mendapat teman main seharian.
Setelah beberapa menit, Rama akhirnya bangkit.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya. Sudah malam.”
Tiara mendengus kecil, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya melirik Rama seperti kucing yang tidak rela ditinggal. Ferdi menepuk bahu sahabatnya itu.
“Besok-besok mampir lagi ya. Kamu selalu disambut di sini.”
Rama tersenyum. “Iya, iya. Hati-hati kalian berdua.”
“Bye bye, Om!" Tiara melambaikan tangan dari depan pintu.
Rama tersenyum dan membalas lambaian tangan itu. Ia melangkah keluar rumah sambil terus menarik napas panjang, seolah baru saja keluar dari medan perang.
*
Begitu sampai di rumahnya yang sepi, Rama lekas menuju kamar dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk. Tidak ada suara apa pun selain detik jam dinding.
Rumah besar itu kosong. Tidak ada pasangan, tidak ada anak, tidak ada pembantu. Hanya security di depan gerbang yang sesekali mengawasi.
Usia Rama sudah 40 tahun, tapi ia belum berkeinginan untuk menikah. Pernah hampir menikah, tapi ia dikhianati di detik terakhir. Sejak saat itu, ia berhenti membuka hati. Ia pikir ia akan baik-baik saja.
Ternyata ia hanya terbiasa sendiri. Dan malam ini, setelah semua kejadian menguras emosi itu, ia baru sadar jika kesendiriannya terasa sangat jelas. Ia merasa butuh pendamping, apalagi jika berurusan dengan yang namanya nafsu.
“Arghh! Kenapa tiba-tiba aku memikirkan masalah ini sih?" Rama menutup mata lagi dan berusaha mengabaikan semuanya.
Tapi sama seperti tadi. Begitu ia memejamkan mata, yang muncul justru bayangan Tiara. Ia teringat wajah cantik dan polos gadis itu. Namun, Rama lebih terbayang pada melon jumbo Tiara yang menggoda, juga tubuh seksinya yang rasanya ingin ia sergap saat itu juga.
“Astaga, kenapa dia muncul terus di pikiranku?” Rama membuka mata dan mendesah panjang. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Rama merasa benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Namun, tubuh seksi Tiara terus membuatnya gelisah dan tenang. Membayangkan payudara besar, paha mulus, dan bokong bulat milik gadis itu, membuat Rama nyaris frustasi. Ia merasakan miliknya di bawah sana semakin terasa sesak dan sakit karena tak mendapatkan pelampiasan.
“Oh damn! Apa aku terpaksa harus melakukannya? Gara-gara Tiara?" decaknya frustasi.
Tetapi Rama tak punya pilihan lain. Tangan kanannya kini mulai menyusup masuk ke dalam celana, dan menggenggam tombak besarnya yang berurat tegang.
“Ahh! Ohh! Tiara," racaunya sambil merem melek dan memainkan tangannya di bawah sana.
