Bab 9 Pertemuan Setelah Dua Tahun
Bab 9 Pertemuan Setelah Dua Tahun
Memandang bayang indahnya pada pantulan cermin, Jani memperhatikan baik-baik lekuk tubuhnya. Melihat pada perut buncit berisi, Jani mengelusnya penuh sayang. Entah apa yang tengah dipikirkan olehnya, hingga membuat wanita tersebut teramat larut dalam lamunan. Tidak menyadari kehadiran ibunya.
“Kau baik-baik saja, Nak?” tanya Asyriah yang tetiba datang dari arah dapur.
Berada di ruang keluarga, keduanya hanya mampu berbalas kesunyian. Jani menoleh ke arah Asyriah yang menghentikan langkah tepat di belakangnya. Tersenyum lirih, Jani mengangguk kilas, membuat ibunya hanya membalas dengan senyum canggung.
Asyriah mendekatkan langkahnya, seraya hendak merangkul sang buah hati. Namun entah mengapa, Jani malah menghindar, seolah tidak ingin disentuh. “Maaf, Bu. Jani ingin istirahat di kamar,” ujarnya pelan, sedikit merasa tidak enak karena menolak ibunya.
Jani merasa sangat canggung, ia tahu baik Ibu maupun Mommy Laila bisa menerima kehadirannya. Tapi tetap saja rasa bersalah itu masih tak bisa pergi dari dalam hatinya. Ia dan Angin sudah menyakiti ibu mereka dengan cara yang paling buruk. Dan Jani merasa tak mampu menghadapi mereka.
Melihat punggung putri semata wayangnya menjauh, Asyriah hanya mampu terdiam dengan perasaan yang tidak lagi dapat dijelaskan. Memeluk tangannya di dada, wanita paruh baya tersebut sedikit menitikkan air mata.
“Kenapa sulit sekali untukmu bahagia, Hu?” gumam Asyriah. Kilasan kejadian tahun-tahun terakhir sebelum mereka kehilangan kontak dengan Jani menyeruak begitu saja. Bahkan ketika hari kematian Segara, masih segar dalam ingatan Asyriah, Jani yang menggenggam senjata di tangan bertekad mencari Dragon.
Ia telah begitu banyak mengalami kehilangan yang menyakitkan. Dan kali ini, Asyriah tidak melihat bagaimana caranya bagi Jani untuk bangkit. Xin melihat apa yang baru saja terjadi, mendekat pada Asyriah dan memegang bahunya lembut.
“Dia butuh waktu untuk sendiri, Ibu,” ucapnya lembut. Asyriah menoleh dan mengangguk mengerti.
“Ibu tahu, tidak mudah baginya melewati ini sendiri. Ibu ingin menemaninya, tapi sepertinya dia butuh waktu sendirian lebih lama.”
“Dia tidak pernah sendiri, Ibu tahu itu.”
Asyriah menatap Xin dengan wajah penuh kasih sayang. “Aku akan membawakan makanan ke kamarnya,” ujar Xin, menunjukkan nampan di tangannya pada Asyriah yang mengurai senyum kecil dan menggumamkan terima kasih.
Xin memasuki kamar Jani, membawakan wanita itu senampan makan malam. Pertikaian keduanya tadi siang, membuat Jani mendiamkan Xin hingga saat ini. Merasa tidak enak hati, Xin pun berinisiatif untuk membujuk dan meminta maaf terlebih dahulu.
Mengetuk pintu pelan, lantaran Jani tidak menghiraukan kehadiran Xin. Menoleh dengan wajah datar, Jani hanya menatap Xin tanpa mempersilakannya masuk. Pria itu tersenyum dengan gaya bebal ala Dragon dan meletakkan nampan itu di atas nakas di samping kasur Jani.
“Aku tahu kau marah padaku. Tapi setidaknya isi perutmu lebih dulu agar punya tenaga untuk berteriak lagi padaku,” ujarnya, masih dengan senyum. Jani menatapnya heran, tak biasanya Xin banyak bicara dan tersenyum. Dibandingkan Dave, Xin sangat irit bicara. Dave biasanya yang paling cerewet diantara mereka.
Jani menatap makanan di atas nakas. “Aku tidak marah padamu,” ujarnya pelan, tanpa memandang Xin. Matanya lekat pada nampan yang terlihat sesak dengan segelas susu, beberapa potong apel yang telah dikupas, semangkuk sup, dan bubur nasi di sana.
“Kau pikir aku bisa menghabiskan semua itu?” tanya Jani. Xin tertawa, ia mengambil nampan dan menyodorkannya pada Jani.
“Mau kusuapi?” tawar Xin melihat Jani sedikit kesulitan terhalang perut besarnya.
Mengangguk antusias, Jani membangunkan senyum manis Xin. Ia lantas mengambil posisi bersandar di kepala ranjang, karena Jani tidak dapat berlama-lama menekuk tubuh. Xin mengambil alih, dengan langsung mencampurkan sup pada mangkuk bubur sembari mengaduknya.
Memindahkan nampan kembali ke atas nakas, Xin memperkecil jarak diantara mereka. Perlahan dan penuh kehati-hatian, Xin menyuapi Jani dengan penuh kasih sayang. Walau tidak tersenyum dan berkat sepatah kata pun, Xin tahu jika Jani tak lagi marah padanya.
“Enak?” tanya Xin memastikan, seraya mengusap lembut beberapa remah di sudut bibirnya. “Kau masih tak berubah,” ujarnya tersenyum.
Jani hanya mengangguk dengan memasang wajah kesal, lalu mengambil gelas susunya dan meminum beberapa tegukan. “Kau yang memasaknya?” tanya Jani. Ia tahu, kemampuan memasak Xin sangat bagus bahkan melebihinya. Dan Xin adalah guru pertamanya di dapur.
“Bukan, ini masakan Ibu,” ungkap Xin jujur.
“Dimana Sky? Dia sudah makan?” tanya Jani, meneruskan makan seakan ia sangat menikmati perhatian Xin.
“Dia sudah makan bersamaku tadi. Sepertinya sekarang sedang belajar berhitung bersama Mom,” jawab Xin dengan penuh kelembutan. Jani menggumamkan “oh” dalam nada sangat pelan.
“Aku minta maaf, karena membentakmu tadi,” ungkap Jani, menatap wajah Xin dengan sedikit tidak enak hati. Pria itu tertawa kecil seraya menyodorkan minuman Jani.
“Bukannya aku yang membentak, ya?” ujar Xin mengingatkan, memaksa Jani untuk menarik garis bibirnya.
“Aku tahu kau sangat lelah dan butuh istirahat, Xin. Maaf aku sudah menganggu istirahatmu tadi,” ujar Jani yang membuat Xin tersenyum tulus.
“Kelelahanku tidak seberapa dibanding lelahmu saat ini. Harusnya aku mengerti,” kata Xin sembari menyingkirkan helai rambut Jani ke belakang telinga.
“Aku hanya terlalu khawatir. Sky sudah besar dan akan mempunyai seorang adik. Jika ia terus-menerus manja padamu, dia akan membuatku sangat repot nanti. Kau tahu, aku sendirian sekarang,” ujar Jani menjelaskan.
“Aku hanya tidak ingin Sky tumbuh menjadi anak yang cengeng, Xin. Tanpa adanya seorang ayah, pasti aku akan sangat kesulitan untuk mengajarinya sendiri,” lanjut Jani mengungkapkan keresahannya.
Mengangguk paham, Xin seolah melihat sosok Jani yang berbeda di hadapannya. Jani yang sebelumnya selalu bertindak tenang dan memiliki pemikiran yang panjang. Tetapi wanita yang ada di hadapannya saat ini, sangat berbeda. Ia terlihat begitu rapuh dan sunyi. Rasanya Xin seperti melihat Jani beberapa tahun silam sebelum ia menemukan kebahagiaan di sisi Segara.
'Apa ia akan baik-baik saja?' fikir Xin masygul.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 10.16 menjelang siang, saat sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah Asyriah. Laila mengintip keluar, seraya melihat siapa sosok yang datang di sana. Wanita beranak dua tersebut tersenyum, saat matanya menangkap sosok yang tidak lagi asing bagi mereka.
“Nak Harry?” ia bergegas keluar untuk menyambut sosok yang sudah cukup lama tak bertemu dengannya.
“Tante, apa kabar?” sahut Harry, membawa tangan Laila ke dahinya.
“Kami semua baik, Nak. Kau sendiri bagaimana?” jawab Laila seraya mempersilahkan masuk.
“Baik, Tan,” balas Harry dengan senyum indahnya. Laila balas tersenyum seraya mengiringi langkah panjang Harry menuju ruang tamu. “Seseorang memberi tahuku jika Jani kembali ke Indonesia?” tanya Harry.
Laila mengangguk. “Iya, Xin dan Dave berhasil membujuknya untuk pulang,” sahut Laila, mempersilahkan Harry duduk. “Tunggulah sebentar. Tante akan memanggil Jani dan ibunya. Tante harap, Jani bersedia menemuimu,” ujar Laila seraya bangkit. Harry mengangguk senang.
“Terima kasih, Tante. Semoga.”
Menunggu dalam kesunyian, Harry memperhatikan nuansa sekitar yang rasanya tidak berubah sejak dulu. Foto-foto masa muda Jani masih terpajang rapi menghias dinding ruang tamu. Terbingkai indah dengan hiasan senyum yang merekah, membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum.
Dua tahun tidak pernah bertemu, Jani menutup semua komunikasinya dengan Jakarta kecuali Naina. Hanya Dave, Xin dan Naina yang bisa menghubunginya. Wanita itu membuat Harry terpaksa mengurus perusahaan yang ditinggalkan Segara sendirian. Melepas status selebritinya dan duduk di belakang meja karena Dave lebih memilih membesarkan perusahaan mereka yang di Asia Selatan.
Kini dia kembali, cinta pertama Harry. Wanita yang bahkan hingga kini masih bertahta di hatinya. Harry tidak tahu apakah dia harus bahagia atau berduka dengan kepergian Angin. Yang ia pahami hanya bahwa sekarang, sekali lagi ia memiliki kesempatan untuk menjadi orang paling berharga bagi Jani. Jani-nya.
*Bersambung*