Bab 10 Harry
Bab 10 Harry
“Harry?” panggil suara yang familiar mengejutkannya, memutus semua lamunan Harry. Pria itu menoleh ke sumber suara.
“Naina?” sapa Harry dengan senyum merekah.
“Kau, benar-benar hanya akan muncul ketika dia ada di sini,” ujar Naina membuat Harry merasa serba salah. Wanita itu tertawa melihat wajah canggung Harry.
“Ya ampun, maaf. Seharusnya aku tidak mengatakan itu,” ujarnya tertawa sendiri. “Bagaimana kabarmu?” tanya Naina seraya di seberang Harry.
“Kau lihat sendiri, aku baik, sehat dan tampan seperti biasa,” ujar Harry dengan tawa khasnya. Naina mencebik, jarang bertemu Harry sejak Jani memutuskan menetap di Crimea dan ternyata pria ini tetap tidak kehilangan humornya. Sekalipun Naina tahu, hatinya terluka sangat dalam sejak itu.
“Kau,” Harry memperhatikan perut bulat Naina. “Ternyata dia menghasilkan juga,” ujarnya dengan nada menyebalkan. “Aku tidak pernah membayangkan kau akan terlihat seperti ini?” kekehnya.
“Ya karena kita sudah sangat lama tidak bertemu, kau tidak tahu perubahan apa saja yang terjadi,” dengus Naina menepuk pelan lengan temannya tersebut, seraya bangkit. “Tunggulah, aku akan membuatkan minum dulu ya,” ujar Naina seraya hendak berlalu.
“Ah, tidak usah Nai. Merepotkan saja,” tolak Harry merasa tidak enak, lantaran melihat perut Naina yang sudah sangat besar. Bahkan bangun dari duduk saja, wanita itu sudah cukup kesulitan.
“Tidak apa-apa, Harry. Aku sudah terbiasa. Dan ini, tidak seberat yang ada dipikiranmu saat ini,” ujar Naina dengan tawa. Harry menyeringai canggung.
“Tidak usah Nai, serius,” ujarnya sebelum Naina beranjak. Wanita itu menatapnya dengan alis berkerut. “Aku…, ingin bertemu Jani. Bisakah kamu memanggilnya sekarang? Aku rindu pada keponakanku,” cengir Harry.
“Oh, Sky baru saja keluar sama Xin,” ujar Naina polos, membuat Harry berdecak sebal.
“Ya Tuhan, Nai. Kamu sungguh tidak paham maksudku?” singgung Harry, Naina menyadari apa yang diinginkan pria ini. Membuatnya sedikit tertawa.
“Oke, tunggu sebentar, ya,” kata Niana sebelum benar-benar berlalu.
Namun baru beberapa langkah beranjak dari sofa, Naina ditahan oleh ibunya yang memasuki ruangan tersebut bersama Asyriah.
“Kenapa Mom?” tanya Naina antara heran dan terkejut.
“Sayang, mau kemana?” tanya Laila, lengannya memegang lengan Naina yang sedikit lebih berisi dari biasanya.
“Umm, Harry ingin bertemu Jani, Mom," jawab Naina seadanya. Namun dengan wajah sendu keduanya seakan mengatakan bahwa usahanya akan sia-sia.
Menangkap ekspresi seperti itu, Naina mengerti apa yang terjadi. Pasti keduanya sudah membujuk Jani agar keluar kamar untuk menemui Harry dan gagal. Ia menoleh pada Harry yang menatap mereka ingin tahu.
“Bagaimana kalau Harry saja yang ikut ke kamar Hujan, Mom, Bu?” tawar Naina. Laila dan Asyriah menatap pada Harry yang masih berjarak beberapa meter dari mereka. Keduanya saling pandang sebelum akhirnya Asyriah mengangguk.
Dulu, Harry-lah yang bisa membuat Jani keluar dari lingkaran kesedihannya. Mungkin sekali lagi ia bisa melakukannya. Ia mengangguk pada Harry yang berjalan mendekat, membiarkan pria itu mengambil tangannya dengan takzim.
“Iya, tolong bujuk dia ya, Nak,” sahut Asyriah mengizinkan. “Mungkin sekali lagi, hanya kamu yang bisa,” sambungnya dengan nada pasrah. Harry mengangguk, berusaha meyakinkan mereka.
Keduanya pun segera berlalu menuju kamar Jani. Kamar tersebut tidak dikunci, bahkan dibiarkan sedikit terbuka. Melihat sosok indah yang selama ini dikaguminya, Harry sekan tak mampu menahan perasaannya.
Namun melihat isyarat Naina yang memintanya menunggu, mau tidak mau ia harus mengikuti arahan saat bertamu, bukan? Memilih masuk terlebih dahulu, Naina duduk di samping ranjang sahabatnya, merangkul tubuh ringkih Jani yang melamun.
Menyadari kehadiran Naina, Jani menyandarkan lelah kepalanya pada bahu Naina. Mengelus sayang surai lembut Jani, Naina seakan memberikan sebuah ketenangan yang tidak Jani temukan akhir-akhir ini.
“Ada Harry di luar, Hu,” kata Naina. Jani mengangkat kepalanya dari bahu Naina.
“Bisakah aku tidak bertemu dengannya?” tanya Jani. Naina menghela nafas panjang.
“Tidak mudah baginya untuk datang, ia harus meluangkan waktu diantara kesibukannya yang padat. Sebentar saja?” bujuk Naina, merasa kasihan pada Harry yang mengintip di ambang pintu. Tapi lagi-lagi Jani menggeleng.
“Tidak,” jawab Jani singkat dan jelas.
“Temuilah dia sebentar saja,” pinta Naina dengan nada membujuk. Jani bergeming. “Harry akan datang ke sini,” ujarnya kemudian.
Jani diam, ia tahu jika pria tersebut berada tepat di belakangnya. Naina mengisyaratkan pada Harry untuk masuk. Dengan langkah perlahan seolah takut mengejutkan Jani, ia berjalan menuju tempat tidur.
“Hai, Jani,” sapanya, Jani mengerling dan di detik berikutnya ia berpaling dari senyum Harry. Mengangguk lirih kepada mantan adik iparnya itu ketika ia duduk di sisi lain tempat tidur. Memandang lurus pada Jani.
“Apa kabar Jani?” sapanya, tahu jika ia pasti akan diacuhkan. Tapi tetap saja, Harry bukan orang yang mudah menyerah. “Maaf, aku tidak bisa datang ke pemakaman Angin hari itu,” ujar Harry yang kembali mendapatkan anggukan dari wanita pujaannya tersebut.
“Aku tahu, ini sangat sulit bagimu, tidak mudah untuk mengikhlaskan semuanya. Tapi, kau bisa mengandalkanku. Aku akan berada di sisimu untuk memulai kehidupan yang lebih baik lagi setelah ini,” ujar Harry peduli.
Jani menatapnya cukup lama, tapi tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Harry merasakan luka dalam batinnya. Bagaimanapun, ia merasa sangat terluka melihat Jani yang sangat terpuruk seperti ini.
‘Sebegitu terpuruknya kau, Hujanku,’ batin Harry.
Ia bangkit dan mendekati Jani, kemudian mengambil posisi duduk berlutut di lantai dan meraih tangan wanita impiannya. Jani hanya menatap apa yang dilakukan Harry, tidak menolak ataupun menerima. Bibirnya masih terkatup rapat.
“Aku mengerti perasaanmu, Jani. Tapi seperti biasa, kau tidak sendirian,” ungkap Harry seraya mencium ujung-ujung jari Jani. Wanita itu berusaha menarik jemarinya tetapi Harry menggenggamnya erat-erat. Seolah ingin menyalurkan kekuatan dari batinnya pada Jani.
“Tapi tolong, jangan menyiksa diri sendiri dengan keterpurukan ini. Kasihan bayimu dan Sky, mereka membutuhkanmu. Aku dan yang lainnya hanya tak ingin terjadi sesuatu padamu dan janin ini nanti,” ujar Harry panjang lebar. Jani menatap mata gelap Harry.
“Terima kasih, Harry. Aku mengerti maksud baikmu. Tapi untuk sekarang, aku butuh waktu sendiri,” pungkas Jani, ia tidak ingin melihat tatapan Harry yang terasa mengasihaninya.
“Jangan terlalu lama sendirian,” pinta Harry.
“Nai, tolong antarkan Harry keluar, ya,” pinta Jani yang terdengar tegas, namun berkesan seolah ada yang membuatnya tertekan.
Harry bangkit dan menatap Jani, sedikit terluka.
“Nai,” pinta Jani sekali lagi. Harry mengangguk dan mengusap rambut Jani perlahan sebelum memberi jarak diantara mereka.
Naina meminta Harry untuk mengikutinya keluar kamar. Harry yang tidak paham akan situasi hati dan psikis Jani, melangkah keluar dengan langkah berat. Ia menoleh sekali lagi di pintu sebelum Jani menutupnya dengan sedikit kasar.
Terdiam dengan wajah ditekuk, kata-kata Harry mengiang di telinga Jani. Ia sendiri kesal pada dirinya yang entah mengapa, akhir-akhir ini ia menjadi sedikit sensitif dan terlalu over thinking.
Apa yang salah dari kalimat Harry tadi? Jani sendiri tidak mengerti, mengapa ia merasa marah pada Harry? Mengusap wajahnya kasar, Jani melanjutkannya dengan mengangkat rambut panjangnya hingga seluruh wajahnya terlihat dalam cermin.
Harry selalu mengingatkannya pada Segara dan sejauh ini, Jani masih belum bisa memaafkan dirinya akan kematian Segara. Kehadiran Harry, tatapannya seolah menuding Jani bahwa kematian Segara adalah karena Jani.
“Aah!”
*Bersambung*