Bab 11 Rencana Untuk Jani
Bab 11 Rencana Untuk Jani
Melangkah santai sembari membopong Sky, Xin membawa bocah yang terlelap di pelukannya tersebut menuju kamar Jani. Namun mendapati kamar itu terkunci, Xin memutuskan untuk membawa Sky ke kamar yang ia tempati sementara di sana. Setelah meletakkan Sky dengan penuh kehati-hatian di kasur, pria itu menyelimutinya. Mengusap sayang rambut lembut Sky, pandangannya terlihat sendu, menatap sedih pada bocah berusia enam tahun itu.
“Kau pasti bingung dengan semua ini,” ujarnya mengusap lembut kedua pipi Sky. “Doakan Mama bisa melewati semua ini,” berkata begitu, Xin bangkit.
Semua hal yang telah terjadi membuat Xin merasa sangat tidak tenang. Dulu ia bisa meninggalkan Jani karena selalu ada Dave di sisinya. Tapi sekarang, ia tidak bisa mengandalkan Dave, karena sang sahabat juga harus bertanggung jawab atas keluarganya sendiri. Rumah ini juga tidak bisa membuat Jani tenang, ia bahkan menjauh dari semua orang termasuk Sky.
“Aku akan menjamin kebahagiaan dan kesuksesanmu, Nak,” ujar Xin seolah membuat janjinya sendiri. Bagaimanapun Sky adalah keponakan kandungnya, mungkin akan jadi satu-satunya yang ingin ia jaga dengan nyawanya sendiri.
Bangkit dari tempatnya, pria itu berjalan keluar ruang. Melewati bilik Jani, Xin kembali mencoba membukanya. Namun hasilnya tetap saja, Jani benar-benar tidak membukanya sedikitpun. Xin berdiri cukup lama di pintu kamar itu, memanggil Jani dengan sangat perlahan.
“Hu, aku tahu kau belum tidur. Kau mungkin bosan mendengar ini, tapi jangan mengurung diri seperti ini. Pikirkan bayimu, dia butuh asupan gizi, kalau kau tidak makan bukan hanya kau yang akan sakit tapi dia juga.”
Diam, Jani yang mendengar kata-kata membujuk Xin hanya diam. Ia menutup telinganya dengan selimut agar suara Xin tidak lagi terdengar. Tapi suara itu tetap menyentuh gendang telinganya dengan manis.
“Hujan. Tolong dengarkan aku. Keluar dan makanlah. Atau buka pintunya agar aku bisa membawakan makanan untukmu.” Diam, Jani masih bertahan dan menekan selimutnya lebih kuat ke telinganya. Tapi suara Xin masih bisa menyeruak ke dalam pendengarannya.
“Jani, aku mohon. Buka pintunya, aku sudah memasakkan makanan kesukaanmu, Ibu juga. Bisakah kau membuka pintunya sekarang?”
“Pergilah Xin. Jangan ganggu aku,” ujar Jani, dari suara debam di pintu Xin tahu ia melempar sesuatu untuk membuat Xin segera pergi.
“Baiklah. Aku pergi, tapi jika kau lapar atau butuh sesuatu beritahu aku. Aku di kamar sebelah,” ujar Xin sabar. Ia mengusap pintu kamar Jani sebelum berlalu, seolah dengan begitu ia bisa mengusap lembut penghuni kamarnya.
Menghela nafas lelah, Xin beranjak menuju ruang tengah. Terlihat, Dave, Carl, dan Asyriah tengah duduk di sana, sembari berunding masalah Jani. Bergabung bersama mereka, Xin memilih duduk di samping Asyriah.
“Sky bersama ibunya?” tanya Asyriah. Xin menggeleng, membuat Asyriah semakin khawatir.
“Hujan masih membutuhkan waktu untuk sendirian, Ibu,” bujuk Xin penuh kasih.
“Ibu mengerti, Xin. Ibu hanya khawatir dengan janinnya dan Sky,” ujar Asyriah.
“Ibu jangan khawatir, Jani pernah melewati ini sebelumnya. Tidak hanya sekali. Percayalah, dia pasti kuat. Sekarang dia hanya perlu waktu.” Asyriah menatap pria muda di hadapannya dengan mata sedikit berlinang.
“Terima kasih, Xin.”
“Ibu, kami sudah bersama sejak kecil. Jani sudah seperti adik bagiku dan lagi Sky adalah keponakanku. Lagipula, Angin menitipkan mereka sebelum kejadian itu,” ujar Xin dengan suara sangat rendah. Hanya Asyriah yang bisa mendengarnya.
Ya, sehari sebelum membawa pesawat tempur yang membunuhnya, Angin secara bercanda mengatakan pada Xin agar ia menjaga Jani dan anak-anaknya. “Aku bisa tidak kembali kapan saja Xin. Dan jika itu terjadi, pastikan kau bisa kembali dan jaga dia untukku,” kalimat Angin itu mengiang di telinga Xin. Membuat dadanya terasa sesak dan sakit.
‘Kau pikir kau bisa melempar tanggung jawabmu begitu saja?’ serapahnya dalam hati. ‘Apa kau tidak bisa melihat dia sekarang? Dia hancur Ang, sangat hancur. Dan aku tak bisa seperti Segara yang mampu menggantikanmu dengan sempurna,’ keluh Xin membatin.
“Oh, iya. Mom dan Naina mana?” tanya Xin mengubah topik, ia menatap semua orang di ruang tengah.
“Menemani Naina beristirahat di kamar,” jawab Carl sembari sedikit menyeruput kopi panasnya. Wajah pria lima puluhan itu terlihat lelah. Ia harus berpura-pura kuat diantara tiga wanita yang sangat kehilangan dan menepikan rasa sakitnya sendiri. Kehilangan Angin bukanlah hal mudah bagi Carl. Tapi ia tetap harus berdiri kokoh agar Jani, Laila dan Naina tidak terlalu terpuruk.
“Dia masih menyalahkan dirinya karena mengundang Harry?” tanya Xin, Dave mengangguk. Kehadiran Harry membuat Jani enggan keluar dari kamar sejak siang. Tidak menyentuh makanannya sama sekali.
Xin menoleh pada Dave. “Katakan padanya, tanpa kehadiran Harry sekalipun Jani akan tetap seperti itu, dia tidak perlu merasa bersalah,” ujar Xin. Dave menyeringai.
“Kau tahu sendiri perempuan hamil,” jawabnya kesal. Xin mendengus.
“Kau pikir aku mengerti?” Dave menyeringai senang, bagaimana Xin bisa mengerti jika ia tidak pernah memiliki wanita yang sedang hamil? Tapi menyenangkan melihat wajah kesal Xin dalam situasi menyedihkan seperti ini.
“Lagipula apa yang dia inginkan sampai ia datang?” dengus Xin. Dave menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kau lupa? Dia mencintai Hujan lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Tentu saja dia akan datang,” sahut Dave.
“Kupikir kau yang paling membencinya.”
“Itu tidak ada hubungannya.”
“Dad, Ibu. Jani mungkin membutuhkan suasana baru. Rumah Utara mungkin bisa membantunya memulihkan diri. Bagaimana menurut kalian?”
“Maksudmu? Kau ingin mengasingkan dia?” sarkas Dave. Xin berdecak malas.
“Ah, ayolah Dave. Kau tahu bukan itu maksudku. Kita hanya perlu rumah yang tidak akan mengingatkannya pada Angin maupun Segara!”
“Dan mengapa kau berpikir itu Rumah Utara? Kau tahu berapa banyak kenangan dia akan Angin di sana? Kita sudah menjadikan rumah itu sebagai basecamp sejak kita masih berseragam abu-abu,” sungut Dave kesal. Asyriah dan Carl hanya menatap mereka dengan bingung karena tidak mengerti rumah mana yang dimaksud keduanya.
Xin terdiam, Dave benar. Rumah Utara sangat sarat akan kenangan mereka akan Angin. Dialah yang menemukan rumah itu dan membuatnya menjadi semacam basecamp mereka. Di sana ada begitu banyak alat musik Angin.
“Yah, mungkin kalau begitu sebaiknya kita membuatkan rumah baru untuknya. Di mana tidak ada kenangan akan Segara ataupun Angin. Dia juga tidak mungkin kembali ke rumah Segara kan? Di sana ada Harry,” ujar Xin kemudian.
“Daddy setuju dengan ide Xin,” ujar Carl yang membuat Dave dan Asyriah menatapnya.
“Aku juga setuju, kita perlu membawanya ke tempat yang tidak mengingatkannya pada semua kenangan di masalalu. Bagaimana menurut Ibu?” Dave menoleh pada Asyriah. Wanita itu terlihat menghela nafas panjang.
“Tapi Ibu belum siap jika harus melepas Hujan kembali,” ujarnya bimbang. Carl menatap kakak iparnya itu.
“Uni, kita masih bisa menyambanginya kapan saja. Jani hanya butuh suasana baru. Kita tidak akan kehilangan dia lagi,” bujuknya. Diamini oleh Xin dan Dave.
Xin merangkul wanita yang memiliki bahu sekuat gunung tersebut. “Kami paham akan apa yang Ibu rasakan. Kita bisa menjaganya di sana,” ujar Xin seolah mengingat bayangan ibu kandungnya dahulu.
Tinggal bersama keluarga kaya sebagai anak angkat, bukan berarti Xin melupakan kenangan pahit bersama keluarga kandungnya. Bersama sang Ibu, Ayah, dan kakak tercintanya, Kai yang kemudian berganti identitas menjadi Dragon.
“Kita akan membangunnya tidak terlalu jauh dari sini, agar tidak mengganggu pekerjaan Ibu,” janji Xin. Asyriah hanya bisa mengangguk.
“Ibu percaya pada kalian. Ibu hanya ingin dia cepat bangkit,” ujarnya lirih.
“Terima kasih, Bu. Xin akan mengusahakan yang terbaik bagi dia dan Sky juga calon bayi Jani.”
“Selain itu, kita juga harus mengurus sekolah Sky. Dia sudah terlalu lama meninggalkan bangku pelajaran. Apalagi karena harus pindah dari Crimea, Sky pasti akan turun satu tingkat atau dia tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya,” ujar Xin lagi.