Bab 12 Kenapa Jani?
Bab 12 Kenapa Jani?
Paginya. Membuka mata perlahan, Sky mencari sosok ibu di sekitarnya. Ia yang terbiasa bangun dengan Jani di sisinya terlihat bingung karena tidak menemukan sang mama di sana. Cahaya matahari yang masuk, membuat tidur bocah imut itu terganggu. Menyadari tidak adanya Jani di kamar, Sky beranjak keluar dari kamar. “Mama?” panggilnya.
Berlari menuju kamar sang Bunda, Sky melewati Xin yang baru saja kembali dari dapur. Ia tidak menahan Sky, karena tahu bocah itu hanya ingin bertemu ibunya.
“Mama!” seru Sky begitu memasuki kamar Jani, seraya langsung memeluk kakinya dengan erat. Jani yang terkejut menoleh kasar padanya.
“Sky, lepas!” ketus Jani yang tidak dapat bergerak karena Sky bergayut erat di kakinya. Anak itu menatap wajah ibunya yang kasar dengan mata terkejut.
“Sky rindu Mama,” rengeknya dengan suara kecil.
“Kamu belum mandi, kan? Mandi dulu sana!” Jani menyentak kakinya, hingga Sky sedikit terlambung. Xin memperhatikannya dari titik terjauh pintu kamar Jani. Batinnya terasa sakit saat melihat Jani menolak Sky. Wanita itu seolah kembali ke masa-masa saat Sky baru saja dilahirkan.
“Tapi Sky maunya sama Mama,” pinta Sky dengan manja, Jani menggeleng tegas saat matanya bertemu mata sendu anaknya.
“Tidak Sky! Kamu lihat,” Jani menunjuk perutnya yang membuncit. “Mama tidak bisa melakukan itu. Dan lagi, sebentar lagi kamu akan jadi kakak, jadi berhentilah bertingkah manja, Sky,” tegas Jani.
Mata indah Sky menatap Jani dengan heran. Mamanya tidak pernah bersikap kasar sebelumnya. Yang diingat Sky tentang ibunya semata kelembutan dan kasih sayang. Tetapi apa yang dilakukan Jani ini, cukup melukainya.
“Mama,” rengeknya. “Mama marah pada Sky?” ia menatap Jani dengan tatapan merindu. “Sky rindu Mama,” lagi-lagi anak itu merengek. Berharap rengekannya bisa meluluhkan sang ibu yang sekarang menjauhkan matanya dari Sky.
Jani beranjak dengan susah payah, mengambil sesuatu di atas nakas. Meninggalkan Sky yang masih tidak mau menyerah, ia justru mengeratkan pegangannya di kaki Jani. Membuat Jani kehilangan kesabaran.
“Lepaskan Sky! Kamu dengar Mama?” suara Jani yang naik setengah oktaf membuat Xin maju satu langkah. Ia ingin menarik Sky dari kaki ibunya tapi masih berharap Jani menyadari apa yang ia lakukan.
“Tidak! Sky mau sama Mama!” jerit Sky.
“Jangan bertingkah seperti anak kecil, Sky!” tegur Jani ketus. Sky menatap ibunya tak percaya.
“Tapi, Uncle bilang Sky masih kecil, Mama,” bantahnya memasang wajah menggemaskan. Jani menggeleng kasar dan menarik kakinya dengan kasar.
“Kamu sudah besar, Sky! Sekarang lepaskan Mama!” sarkas Jani, ia berusaha melepaskan Sky dari kakinya. Tapi dengan keras kepalanya, Sky pun bersikeras tidak mau berpindah.
Tak menjawab, Sky malah semakin mempererat pelukannya pada kaki kanan Jani, dengan membuat wajah cemberut yang akan terlihat sangat menggemaskan bagi orang lain. “Sky! Mama hitung sampai tiga, lepaskan Mama. Jangan tunggu Mama marah, Sky!”
Tetapi Sky adalah putra Jani dan Dragon. Dua orang yang keras kepalanya dalam kadar yang sama. Dan bak kata pepatah buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Begitu pula kekeraskepalaan Sky dan Jani. Keduanya seimbang dalam hal ini.
“Satu!” Jani mulai menghitung. “Dua,” lanjutnya.
Seolah tak gentar, Sky tetap berpegang teguh pada kaki sang Bunda. Bahkan setelah Jani menghitungnya sampai akhir sekalipun.
“Tiga!”
Tidak ada respon dari Sky. Anak itu hanya sudah terlalu rindu pada ibunya. Sejak kabar kematian Angin, Jani bersikap menjauh dari Sky. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Dragon atau Xin.
“Mama sudah meminta Sky. Sekarang lepaskan Mama!” berkata demikian, Jani menarik kuat kakinya, seraya mendorong Sky menjauh. Namun tenaga Jani yang mengandung kemarahan, membuat tubuh mungil Sky terjatuh ke lantai. Anak itu menjerit kencang seiring dengan Xin yang melompat mendekati mereka.
“Mama jahat!” jerit Sky, bersamaan dengan Xin yang hanya dalam beberapa langkah sampai di hadapan Jani. Jani terkejut dengan mata membara Xin dan menoleh pada Sky yang menangis dan berusaha bangkit dari lantai.
Menyadari kesalahannya, Jani lekas membantu putra semata wayangnya untuk bangkit. “Diamlah” gertak Jani seolah kehilangan insting keibuannya.
Xin menarik Sky dari tangan Jani, menempatkan anak itu di balik punggungnya. “Aku tahu kau marah pada semua, pada keadaan pada takdirmu. Tapi apakah dengan memperlakukan anakmu sekasar ini kau bisa berdamai dengan lukamu?” sergah Xin.
“Apakah dengan kau berteriak padanya itu bisa mengurangi rasa sakitmu? Apakah dengan membuatnya menangis kau bisa menjahit semua lukamu?” suara Xin yang dalam dan mengandung sedikit kemarahan itu membuat Jani mundur. Ia menatap Sky yang mengintip dari balik punggung Xin.
Membuat amarah Jani semakin tersulut, ia merasa Xin membuat anaknya merasa memiliki perlindungan saat Jani ingin marah padanya. “Ke sini!” ujarnya pada Sky yang menggenggam erat pinggang kemeja Xin, yang jelas menolak mendekat pada Jani.
“Cukup Hujan! Jangan membentaknya lagi!” sentak Xin. Ia sudah berusaha menahan kemarahan karena sikap berlebihan Jani.
Tangisan Sky dan suara melengking Jani membuat seisi rumah berlari meninggalkan kesibukan masing-masing dan menuju kamar Jani. Asyriah dan Laila yang berdiri di ambang pintu terkejut melihat wajah membara Jani saat menatap Xin. Sementara Sky berlindung di balik tubuh lebar dan jangkung Xin.
“Xin! Aku sudah pernah mengatakan padamu, jangan selalu memanjakannya. Jangan selalu menolongnya!” bentak Jani. Xin menarik nafas panjang sebelum berbicara pada Jani.
“Cukup Hu. Jangan berteriak lagi. Kau membuatnya ketakutan.” Tapi Jani tidak peduli, ia berusaha membawa Sky keluar dari balik tubuh Xin. Sementara anak itu bertahan dengan memegang kencang kemeja Xin.
“Tidak! Sky tidak mau! Mama jahat!” teriaknya kencang dengan air mata berderai. Xin menahan Jani yang berusaha menarik anaknya.
“Tolong tenangkan dirimu dulu, Hu,” bujuk Xin, ia berusaha membuat Jani tenang karena Sky terlihat sangat ketakutan. Tangannya yang mencengkeram baju Xin terasa gemetar. Anak itu pasti terkejut karena ini pertama kalinya Jani bersikap kasar padanya.
Jani memberontak dari pegangan Xin yang berusaha mencegahnya menarik Sky. “Diam! Kembalikan anakku!” teriaknya histeris. Tangannya bergerak memukul Xin di bagian manapun yang bisa ia jangkau.
“Kembalikan dia padaku! Kau tidak berhak atas dia. Hanya aku, hanya aku yang berhak melakukan apapun kepadanya!”
Xin cukup kewalahan menghadapi Jani yang histeris. Ia berusaha terus memukul Xin yang menghindar atau menahan sebisanya karena takut menyentuh perut buncit Jani. Asyriah yang melihat kesulitan Xin mendekat dan berusaha membuatnya menjauh dari Xin.
“Sayang, tenanglah,” ujarnya lembut, bersama Laila ia menarik Jani menjauh dari Xin yang sekarang menggendong Sky menjauh dari ibunya. Jani menatap Xin yang berdiri di bagian paling pinggir kamar, sementara Sky masih terisak di bahunya. Memeluk dan menepuk lembut punggung kecil Sky, ia berusaha membujuknya agar tangisan anak itu reda.
Jani memperhatikan semua yang dilakukan Xin dengan mata membara dan penuh kebencian. Ia juga berusaha menolak Asyriah yang mencoba menenangkannya. “Bu, tolong jangan bersikap seperti dia,” ujarnya seraya menunjuk Xin dengan kejam. “Aku hanya ingin membuat Sky mengerti.”
“Dia hanya merindukanmu, tapi lihat yang kau lakukan,” sergah Xin. “Dia masih kecil, Hu. Tidak sepantasnya kau bersikap seperti ini padanya,” bela Xin seraya berusaha menjauhkan Sky dari jangkauan Jani yang terlepas dari cengkeraman Asyriah.
“Apa yang aku lakukan pada anakku, bukan urusanmu!” teriak Jani yang terdengar seolah tengah kesetanan. Laila dan Asyriah kembali menariknya untuk menjauh dari Xin dan Sky.
“Jani, kesalahan apa yang dilakukan Sky sampai kamu harus bersikap seperti ini padanya? tanya Asyriah sedih.
“Dia terlalu manja, Bu,” dengus Jani, membuat Xin menggeleng kasar. Antara iba dan marah.
“Dia anakku, Bu! Aku berhak untuk mengajari dia,” ujar Jani bersikeras.