Bab 13 Ledakan Jani
Bab 13 Ledakan Jani
Jani masih bersikeras bahwa hanya dirinya yang boleh mendidik Sky.
“Dia anakku, Bu! Aku berhak untuk mengajari dia,” ujar Jani bersikeras. Kalimat itu ia teriakkan lebih kepada Xin yang berusaha menjauhkan Sky darinya.
“Bukan dengan kekerasan, Hu!” sergah Xin sembari menyerahkan Sky pada Carl untuk dibawa keluar dari kamar.
“Kamu tahu apa tentang jadi orang tua?” Jani menatap Xin dengan mata penuh kemarahan. “Aku ibunya! Aku yang mengandung, melahirkan, dan berkorban banyak untuk dia! Thu apa kamu?” lanjut Jani semakin membara.
Ini sudah keterlaluan, batin Xin. “Aku tahu, Hu,” ucapnya dengan nada mengingatkan. Tapi Jani sedang kehilangan akal sehatnya, wanita itu melempar beberapa helai rambutnya yang mengganggu penglihatannya untuk menatap Xin dengan marah.
“Kamu tidak tahu apa-apa, Xin,” geram Jani. Air mata kini merebak di matanya yang indah, menikam Xin cukup dalam. “Kamu tidak tahu apa-apa. Jika kamu berpikir bisa melindungi Sky, kamu tidak akan pernah bisa. Karena kamu bukan Angin! Kamu bahkan membiarkan dia berakhir di sana!” pekik Jani.
“Aku tahu aku bukan dia, Hu! Aku tahu, kesalahanku tidak bisa membawanya kembali seperti janjiku padamu. Tapi aku akan bertanggung jawab atas kalian!”
“Tanggung jawab apa? Segara mengatakan kalimat yang sama, Angin juga. Bahkan Dragon! Tapi mereka semua tidak satupun yang bisa menepatinya!”
“Aku bukan Dragon!”
“Kalian sama! Kalian hanya akan hidup dalam dunia kalian sendiri!”
‘Oh, jadi ini alasannya?’ batin Xin, ia mengerti mengapa Jani seperti ini. Mengusap wajahnya kasar, Xin mencoba menetralkan pikirannya. Air mata Jani, sejak dulu Xin selalu lemah pada air mata Jani.
Xin menatap Asyriah dan Laila. “Mom dan Ibu, tolong tinggalkan kami,” pintanya dengan suara serak. Ia tahu, keberadaan mereka hanya akan membuat Jani semakin membentengi dirinya. “Kami akan baik-baik saja,” sambung Xin ketika kedua wanita itu terlihat ragu. Mereka mengangguk dan meninggalkan kamar. Laila menepuk pundak Xin lembut.
“Kami percayakan dia padamu,” ujarnya, Xin mengangguk pelan.
Ia mendekati Jani ketika keduanya sudah menjauh dari kamar. menarik tubuh wanita hamil itu kedalam pelukannya. Jani yang berada dalam ambang kebimbangan, mencoba melepaskan diri dari pelukan Xin.
“Lepaskan aku,” isaknya lemah. Ia memberontak tapi tidak dengan tenaga penuh. Mudah bagi Xin untuk menaklukkannya sekarang.
“Tidak sampai kau tenang. Tetaplah di sana,” bisik Xin lembut. Salah satu tangannya membawa rambut Jani yang tergerai masai ke bagian depan, menyisirinya dengan jari agar terlihat sedikit lebih rapi. Lalu menggelungnya dengan penuh kasih sayang.
“Kamu lelah, aku tahu,” ujar Xin pelan. Mengusap lembut punggung Jani yang bergetar dalam isak.
“Kau tidak tahu apa-apa,” ketusnya. Tapi Xin tertawa, menangkup wajah pucat Jani dalam kedua telapak tangannya yang lebar.
“Benarkah? Kau yakin aku tidak tahu apa-apa?” pertanyaan itu ia lontarkan dalam nada yang sedikit ceria. Jika Jani memperhatikan, maka ia akan heran bagaimana seorang Xin bisa mengeluarkan nada seperti itu.
Xin membawanya kembali ke ranjang, meletakkannya dengan hati-hati di sana dan menyusun bantal di belakang punggungnya agar Jani bisa duduk dengan nyaman. “Dengar, jika kau ingin marah, jangan luahkan pada Sky atau siapapun. Kau cukup mengeluarkan semua kemarahan itu padaku. Jika kau ingin menangis, maka bersandarlah di sini,” Xin menunjuk bahunya. “Bahuku cukup lebar untuk menampung semua air matamu,” ujarnya.
“Ingat bayimu, kami semua sangat ingin dia lahir sehat. Kurasa kau pun sama?”
“Aku bisa menjaganya,” sahut Jani sok gengsi. Xin mengacak rambutnya pelan.
“Tapi kau kesulitan menjaga dirimu sendiri,” ujarnya. “Tunggulah di sini sebentar. Kau pasti lapar kan?” berkata begitu Xin beranjak keluar dari kamar.
Mengambil kunci agar Jani tidak bisa mengunci pintu dari dalam. Dan bergegas menuju dapur, mengambil bubur yang sudah ia siapkan untuk Jani sejak pagi. Asyriah dan yang lain memperhatikannya dengan sedikit khawatir.
“Dia baik-baik saja?” tanya Laila. Xin mengangguk yakin.
“Dia baik-baik saja, Mom. Dan akan tetap begitu,” jawab Xin seraya menoleh pada Sky yang masih duduk dengan sisa tangis di pangkuan Carl.
“Mama sedang lelah, dia tidak bermaksud marah padamu,” ujarnya lembut. “Mandilah bersama Nenek, setelah itu kita akan menemui Mama. Oke.”
Sky mengangguk riang. “Pastikan menghabiskan semua sarapanmu,” ujar Xin sebelum menaiki tangga.
Memasuki kamar, ia menemukan Jani yang merenung sendirian. Rambutnya ia gerai kembali dan sepertinya tengah berusaha merapikannya. Xin mengambil alih sisir dari tangan Jani dan merapikan rambut Jani sebisanya. “Aku tidak bisa melakukannya sebaik Ibu dan Naina, tapi kurasa ini cukup. Kau terlihat sangat cantik,” ujarnya dengan nada riang.
Jani menatap penuh sesal, dengan lembut ia menekap lengan Xin yang masih berkutat dengan beberapa helai rambutnya. “Maaf, Xin! Aku mengatakan kalimat yang sangat buruk padamu,” ujarnya penuh sesal. Xin tersenyum dan mengusap pipi Jani.
“Ah, aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi, aku memohon kepadamu, jangan lakukan itu lagi pada Sky. Jangan membuatnya takut padamu.” Jani hanya mengangguk kecil.
Pria itu tahu jelas, jika semua yang terjadi pada Jani, adalah salah satu akibat traumanya dahulu. 'Maafkan aku, Hu. Karena kelalainku, kamu harus menerima semua ini,’ batin Xin.
Xin memastikan Jani menghabiskan sarapannya sebelum kemudian turun. “Mandilah,” ujarnya sebelum meninggalkan kamar.
Semua mata menatapnya ketika Xin kembali ke ruang makan, seolah tengah menunggu untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Xin duduk dan merengkuh Sky ke pangkuannya, menatap semua orang yang duduk melingkari meja makan.
“Ibu, aku dan Dave sudah mendapatkan rumah yang cocok untuk Jani,” ujarnya pelan. “Tidak terlalu jauh dari sekolah Sky dan cukup dekat dari rumah Naina dan Dave. Juga tidak terlalu jauh dari sini,” sambungnya.
“Cepat sekali?” tanya Carl. Dave mengangguk.
“Dad, sebenarnya rumah itu sudah dibeli Xin sejak lama, tapi tidak pernah dihuni. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk menggunakannya,” jawab Dave.
“Ya, semua perlengkapan sudah disiapkan. Rumah itu bisa dihuni kapan saja,” sambung Xin. ‘Dan yang pasti rumah itu tidak diketahui Harry,’ Xin membatin sendiri. Entah mengapa ia merasa sangat tidak suka jika Harry menemui Jani. Rasanya dulu ia tak memiliki perasaan seperti ini.
“Dan kapan kalian merencanakan pindah?” tanya Carl.
“Secepatnya Dad. Jani tidak bisa selamanya seperti ini. Dan lagi rumah itu cukup dekat dengan galery Jani. Mungkin dia ingin mengunjunginya sesekali,” jawab Xin.
Keesokan hari
Laila mengetuk pintu kamar Xin yang terbuka, melangkah masuk setelah pria muda itu mempersilakannya. Xin tengah memasukkan pakaiannya yang tidak seberapa ke dalam koper kecil miliknya.
“Xin,” ujarnya setelah duduk di pinggir tempat tidur dan menatap ruangan itu dengan mata berlinang. Kamar ini, dulu sering ditempati Angin saat mereka menginap di rumah Asyriah. Xin duduk di sisinya, membiarkan Laila mengusap sayang bahu kokoh Xin. Menatap lelaki yang seumuran dengan mending putranya, membuat Laila kembali merindukan sosok Angin.
“Terima kasih. amu udah mau gantikan posisi Angin untuk Hujan, Sky, dan calon bayinya,” tutur Laila tulus. Xin tersenyum.
“Mom, tidak perlu berterima kasih untuk ini. Kami sudah seperti saudara, bahkan Hujan sudah seperti adik bagiku dan Dave.”
“Dia menitipkan Hujan padamu. Itu pasti membuatmu merasa berat.”
“Apa yang Mom bicarakan? Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan,” jawab Xin cepat.
“Kamu tahu, Angin meninggalkan Jani karena keinginan Mom. Angin juga memilih menetap di Crimea setelah mereka menikah hanya karena dia ingin memberi Mom kesempatan untuk pulang ke kampung halaman. Dia berpikir jika mereka menjauh dari kami, maka adat akan bisa menerima kami,” suara Laila serak karena menahan isak. “Jika saja Mom bisa menyingkirkan keinginan untuk kembali, dia pasti tidak akan mengambil jalan itu.”