Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Kegundahan Jani

Bab 8 Kegundahan Jani

Sebuah rumah yang tak asing bagi mereka, selalu menjadi tempat favorit yang seakan menjadi markas utama lima sahabat tersebut. Xin keluar, setelah membangunkan Jani yang terlelap sebelumnya. Disusul Dave menggendong Sky yang juga masih terlelap nyaman.

Keluar dari mobil, Jani menguar senyum tipis tanpa tahu harus berkata apa. Namun, melihat sambutan hangat dari orang-orang terdekat yang selama dua tahun ini ia rindukan, Jani sekuat tenaga menahan tangisnya. Ia tak boleh terlihat rapuh.

Toh selama ini, hidupnya pun sudah cukup menderita, bukan? Asyriah masih memeluknya hangat. Ia sungguh rindu pada putri semata wayangnya. Bahkan tanpa ragu, wanita setengah baya tersebut menghujani kecupan hangat pada dahi dan pipi Jani. “Akhirnya kamu pulang, Nak,” sahutnya di tengah isak.

Laila yang sejak tadi memperhatikan mereka, melakukan hal yang sama. Menangis, mengingat banyak hal yang terjadi. Sebagai seorang ibu, ia sangat merasa bersalah. Bagaimana bisa, selama ini ia begitu egois, hingga rela mengorbankan kebahagiaan putra-putri mereka?

“Maafkan Mom, Sayang,” pinta Laila lirih, yang hanya terdengar di telinga Jani seorang.

Menggeleng pelan, “Mom, kami yang harus meminta maaf. Karena keegoisan aku dan Angin, Mommy kehilangan kesempatan pulang ke kampung,” jawab Jani dengan suara pelan. Ia menatap Laila, ibu mertua yang juga adalah bibinya. Ah, apa yang sudah ia dan Angin lalukan? Lihatlah sekarang, betapa terlukanya mereka.

“Kita lupakan semua itu. Mom sudah lama belajar untuk tidak memikirkan kampung halaman kita,” ujarnya sedikit tersenyum. Penting bagi mereka untuk membuat Jani tidak terpuruk dalam lingkaran kesedihannya yang lama.

“Hu?” panggil Naina lirih, tapi bibirnya memajang senyum manis, merentangkan tangan untuk memeluk dan merangkul, keduanya bertukar tangis setelah itu. Entah mengapa, tanpa berbicara sepatah kata pun, keduanya seakan memiliki perasaan dan ikatan batin yang sama kuatnya.

“Kakakmu tega, Nai,” isak Jani yang masih menyandarkan dahi pada bahu Naina. “Bagaimana dia bisa pergi di saat seperti ini?”

Naina mengelus lembut punggung Jani yang sedikit bergetar. “Sabar Hu, aku akan selalu ada untuk kamu,” ungkap Naina tulus.

Membiarkan mereka bertukar tangis beberapa saat, para pria hanya bisa menunggu. Mereka kaum pria lebih mudah menekan kesedihan, bersikap kuat sekalipun di dalam mereka sama hancurnya.

“Sebaiknya biarkan mereka masuk,” ujar Carl setelah para perempuan saling melepaskan rangkul.

Mereka masuk, membiarkan Jani dan yang lainnya beristirahat sejenak. Sky yang baru saja terbangun, turun dari ranjang dan berlari memeluk kaki Xin yang tengah bersandar lelah pada sofa ruang tamu.

Terkejut, Xin melihat sosok menggemaskan yang memeluknya. Tersenyum tulus, melihat wajah bangun tidur Sky yang seperti orang melamun. ‘Belum sepenuhnya bangun?’ batin Xin. Meraih Sky dan meletakkan di pangkuan, Xin membiarkan jagoan kecilnya bersandar nyaman pada dada bidangnya.

Tangan mungil Sky memeluk erat tubuh Xin yang tak sanggup digapainya semua. Menempelkan telinganya pada dada Xin, seakan nyaman mendengar detak jantung pria jangkung tersebut. Xin kembali bersandar lelah, sementara tangannya mengelus-elus kepala dan rambut lembut Sky. Merasakan nafasnya kembali teratur.

Jani keluar dari kamarnya, mencari Sky yang tidak ditemuinya setelah mandi. Matanya menangkap momen hangat antara Sky dan Xin. Sejenak, ia terdiam. Bayangan Angin menyeruak ke dalam memorinya, ia yang kerap memanjakan putranya seperti itu. Kenangan yang membuat matanya basah.

Ditahannya air mata itu dan lekas menghampiri kedua laki-laki berbeda usia itu. Jani mengangkat Sky secara tiba-tiba dan meletakkannya pada sofa di sebelah Xin. Karena merasa ada yang merebut Sky dari pangkuannya, Xin membuka mata dan menemukan Jani yang tengah berkutat dengan Sky. Bocah itu menjerit kencang begitu ibunya memindahkan ia dari pangkuan nyaman Xin.

“Tidak mau!” pekik Sky keras kepala, sembari hendak kembali pada pangkuan Xin.

Namun aksinya ditahan oleh Jani yang berperut besar. Sedikit kewalahan, karena tubuh sehat dan aktif Sky yang sulit ditahannya. Xin memperhatikan mereka dengan mengernyitkan dahi tidak paham. Ada apa? batinnya.

“Tidak mau, Mama!” rengek Sky bersikeras.

“Ah, Sky!” bentak Jani lantang, saat kalah menangani putranya sendiri.

Bocah imut itu kembali menempel kuat di pangkuan Xin, layaknya perangko. Mendengus kesal, Jani hendak meraih kembali tubuh Sky. Namun, aksinya tertahan oleh tangan Xin yang menghalangi, kemudian malah memeluk erat tubuh mungil dalam dekapnya.

“Jangan memanjakan dia, Xin!” hardik Jani tidak suka, wajahnya menyala dalam kemarahan yang tidak dipahami Xin.

“Ada apa?” ia bertanya, karena tidak biasanya Jani bersikap seperti ini. Pria itu mengernyit tidak mengerti mengapa Jani melakukan hal ini pada putranya sendiri?

“Dia terlalu manja,” sergah Jani. Xin menggeleng pelan, berusaha menatap Jani yang menghindari matanya.

“Aku tidak memanjakan Sky, Hu. Lagipula, ini hal wajar bagi seorang anak seusia Sky!” bantah Xin dengan nada lebih tegas.

“Sky sudah tidak memiliki ayah, Xin! Aku tidak mau ia tumbuh menjadi anak manja, yang nantinya akan menyusahkanku!” Mata Xin membeliak demi mendengar kalimat tidak masuk akal Jani.

“Cukup, Hu!” sergah Xin. Ia sedikit mulai mengerti mengapa Jani bersikap seperti ini, tapi masih tidak paham mengapa ia melakukannya sekarang.

Mendengar keributan dari pertikaian keduanya, Naina dan Asyriah keluar dari kamar masing-masing. Jani dan Xin terdiam, saat keduanya melempar tatapan bertanya. Memilih bangkit, Xin membawa tubuh mungil Sky berlalu tanpa berkata sepatahpun saat Naina mencoba menghentikannya.

Jani menggigit bibir bawahnya, seakan menahan amarah dan geram. Asyriah menghampirinya, sembari mengelus sayang pada bahu Jani. Namun yang dirangkul malah berlalu dengan sedikit menyentakkan lengan sang ibu.

Naina dan Asyriah bertukar pandangan, seakan meminta pada Naina untuk menyusul sahabat, yang juga kakak iparnya itu. Mengangguk paham, Naina beranjak menyusul langkah Jani yang berakhir di kamar. Terduduk diam, dengan tatapan sebal yang tak dapat diartikan.

Naina masuk secara perlahan, kemudian ikut duduk di samping Jani. Memegang pundaknya Naina mencoba menghibur Jani dengan senyum yang ia harapkan bisa menguatkan. Kehamilan trimester akhirnya mungkin harus ia lewati dengan menghibur Jani.

Naina sungguh tidak ingin, jika Jani dan calon keponakannya mengalami gangguan kesehatan lantaran pikiran Jani yang cenderung tidak stabil saat ini. Tidak baik untuk Jani yang sedikit lagi akan melahirkan. Jika terjadi sesuatu, pasti tak hanya ia yang merasa sedih dan kehilangan. Namun, mereka semua yang sangat menyayangi sosok Jani.

“Kau tahu, kau bisa menceritakan semuanya padaku,” bujuk Naina merangkul bahu kakak iparnya.

Menoleh bimbang, Jani menghela nafas lelahnya. “Aku hanya tidak ingin Sky tumbuh menjadi anak yang manja, Nai. Kamu tahu sendirikan, jika aku sudah menjadi single parents. Dan aku tidak mungkin membiarkan Sky tumbuh menjadi anak yang cengeng, Nai. Apalagi ia akan mempunyai adik nantinya,” ulas Jani panjang lebar.

Mengangguk paham, Naina kembali merangkul hangat bahu Jani yang terlihat rapuh, namun sangat kokoh di dalamnya. Bahkan ia mampu memikul beban hidupnya selama ini, hingga keluar dari lubang hitam yang pernah menjerat Jani.

“Dia masih kecil, Hu. Dan mungkin Sky masih rindu akan sosok Kak Angin. Hu dia juga membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan situasi sekarang. Ia bahkan belum mengerti bahwa ia kehilangan ayahnya,” ujar Naina mencoba menenangkan. “Dan lagi, dia sudah terbiasa seperti itu dengan Xin, Dave atau Drag.”

Mendengar penuturan sahabat sekaligus adik iparnya itu, hati Jani sedikit luluh. Mulai memaklumi posisi putranya. Jangankan Sky, bahkan Jani pun merasa sangat terpuruk akan kepergian Angin. Seakan masih tidak percaya, dengan apa yang sudah terjadi.

“Terima kasih, Nai. Kamu selalu ada untukku,” ungkap Jani. Tersenyum manis, Naina mengecup bahu Jani.

“Kita sudah bersama sejak masih remaja. Kau pasti tahu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, dalam keadaan seterpuruk apa pun, Hu,” ujar Naina tulus.

Mencoba untuk tersenyum, Jani mengangguk lirih. Ia beruntung masih memiliki orang-orang yang sangat memperhatikan serta peduli padanya. Andai saja Angin juga berada di sana, pasti hidupnya akan terasa lebih lengkap.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel